Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kartini Tak Melihat Carut-marut UN dan Kuota 30% Wanita Pemilu 2014

21 April 2013   06:18 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:52 202
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

JIKA hari ini Kartini masih berdiri bersama kita, mungkin Ujian Nasional (UN) tidak akan carut-marut, berkepanjangan dan menampar muka para petinggi negara yang sudah semestinya mempertanggungjawabkan amanah yang ada di pundaknya. Juga angka 30 persen keterwakilan wanita untuk duduk di kursi legislatif takkan menjadi kebingungan Partai Politik dalam menjaringnya. Sehingga ada penyeimbangan “suara” yang diteriakkan mereka di Rumah Rakyat.

Namun pendekar dari kaum wanita kelahiran Jepara, Jawa Tengah itu telah lama tiada. RA Kartini yang tiap tahun kelahirannya diperingati – dengan seremonial para wanita berpakaian adat Indonesia – termasuk oleh anak didik masih belia. Ada semacam penghormatan tidak kecil yang diperoleh spirit penulis buku Habis Gelap Terbitlah Terang (Door Duisternis tot Licht) ini.

Perihal Pendidikan

Selama ini Kartini, lebih dikenal sebagai pembela kaumnya: wanita. Tentang emansipasi dan keluh-kesah dirinya yang terpenjara tidak boleh melanjutkan pendidikan yang lebih dibandingkan dengan kakak lelakinya. Jarang yang berpikir, bahwa ia punya kesadaran tinggi, tentang pendidikan sebagai ujung tombak pendombrakan atas ketertinggalan kaumnya, bukan gelar yang disandangnya, “Kami tidak berhak untuk tinggal bodoh, bagaikan orang-orang yang tidak berarti. Keningratan membawa kewajiban. ”

Kartini yang mendirikan sekolah di lingkungannya, memikirkan bagaimana sesungguhnya dalam beberapa hal tidak perlu dibedakan dengan kaum laki-laki. Sehingga pendidikan, sebagai jalan menuju ke masa terang menjadi sebuah keniscayaan. Maka, jika dalam Undang-undang Pendidikan yang tak lagi bias jender, semestinya perihal UN yang lebih merupakan “teknis” tak perlu terjadi. Sehingga kaum wanita (di beberapa tempat yang “ketinggalan” UN) tak perlu sedu-sedan menanti soal UN yang juga ditunggu dan dialami kaum laki-laki.

Menjadi jelas, bahwa pendidikan layak diperoleh kaum wanita, dan peran Kartini kian nyata. Dalam memperoleh kesempatan – dalam hal ini pendidikan – sebagai makhluk yang setara. Pemikiran yang melompat – di mana Kartini lebih menuliskan dalam Bahasa Belanda – salah satu faktor penting pendobrakan yang dialami sebagai orang Jawa, berbahasa Jawa dan hidup dengan orang-orang Jawa. Ia menjadi menonjol dan memperjelas intelektualitas dirinya. Dan jika bahasa – termasuk bahasa tulis – bagian dari pembelajaran di bangku sekolah, maka Kartini lagi-lagi melompati pagar zamannya. Di samping kehalusan melalui tata bahasa yang sastrawi.

Persoalan pendidikan, selalu bergerak seturut ilmu pengetahuan yang terus bergerak mengalir. Dan pemikiran maju melampaui zamannya itu,seperti mengalami kemunduran pada masa abad yang berlari sekarang ini. Tak cuma mereka yang menjalani UN belakangan, dan menjadi terpecah-pecah: bagi mereka yang tidak siap dan tak jujur mencari bocoran kepada saudara-saudara yang telah menjalaninya.

Keprihatinan Kartini, tentu akan mendalam melihat yang yang tak dialami pada zamannya. Kepahitan yang bukan karena “tradisi” dan kebijakan kultur dalam suatu masa. Namun lebih disebabkan orang-orangnya yang tidak disiplin dan tak jujur.

Suara di Rumah Rakyat

Bersamaan dengan UN – bagian dari sistem pendidikan – yang carut-marut itu, partai politik dipusingkan dengan ketentuan kuota 30 persen dari kaum wanita. Hari-hari ini, belum banyak masuk daftar calon sementara (DCS) dari parpol ke KPU sebagai penyelenggara dalam berdemokrasi bernama Pemilu. Satu di antara yang menghambat, dengan keterwakilan DCS dari perempuan. Di mana jika jumlah kaum perempuan negeri iniseparo dari 250 juta jiwa, semestinya tidaklah sulit untuk memenuhi seperti hasrat kaum laki-laki untuk duduk di parlemen. Apakah ini lagi-lagi kultur? Bisa banyak kajian untuk membuktikan.

Apabila Kartini ada saat ini, mungkin mampu menggerakkan kemujudan ini. Inilah saatnya untuk bisa berbicara, dan memperjuangkan hak-hak sebagai kaum yang setara dengan laki-laki. Paling tidak angka 30 persen bukan hal memberatkan, setidaknya mendekati dengan Skandinavia 40 persen yang punya perwakilannya di lembaga itu.

Kartini yang terpesona dengan semboyan Perancis: Liberte, Egalite, Fraternite (Kemerdekaan, Persamaan, Persaudaraan), menyebutkan dalam tulisannya kepada Stella sahabat yang Belanda itu, “Peduli apa aku dengan segala tata cara itu … segala peraturan-peraturan, semua itu bikinan manusia, dan menyiksa diriku saja!”

Spirit paling mendasar yang dicuatkan Kartini, menjadi relevan saat ini. Jika mengacu pada kasus UN dan 30 persen kuota perempuan di DPR(D) ada semacam pertanyaan mendasar: bahwa bangsa ini belum maju dan mencapai titik terang seperti yang digagas oleh pendekar kaum wanita yang satu ini – mengingat pejuang wanita selain Kartini bisa dihitung lagi: Tjoet Nyak Dhien, Dewi Sartika, Marthina C. Tiyahahu, Nyi Achmad Dahlandan seterusnya.

Artinya, ada sebuah gugatan (ulang), bahwa pemikiran – untuk tidak menyebut perjuangannya – Kartini masih tetap aktual. Dan jika kisruh UN serta kebingungan parpol menyaring kaum perempuan itu berlangsung hari-hari ini, maka akan menjadi pertanyaan bersama: apa kita bisa? ***

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun