Mohon tunggu...
Thamrin Sonata
Thamrin Sonata Mohon Tunggu... Penulis - Wiswasta

Penulis, Pembaca, Penerbit, Penonton, dan penyuka seni-budaya. Penebar literasi.

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Pilihan

Jengkol Hingga Topeng Monyet di Car Free Day Cilegon

4 September 2016   15:43 Diperbarui: 4 September 2016   15:50 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Laura, Tamita, Aru, Isson dan TS (dok.pri)

Ndak terlalu benar namanya Car Free Day, Hari Bebas Kendaraan di hari Minggu di Cilegon ini. Sebab, ia yang menempati dua jalur dengan kerindagan pepohonan itu, adanya di kompleks Krakatau Steel. Persisnya di Krakatau Junction, besebelahan dengan RS Krakatau Steel. Jadi bukan di jalan umum dengan menutup jalan hingga waktu tertentu seperti di Jakarta, Solo, Bandung dan kota-kota lain.

Nah, Minggu pagi tadi (9/4) Kompasianer Laura Irawati menggandeng kami berempat: TS, Isson Khairul, Tamita Wibisono dan Arum. Dari Hotel Mangku Putra Merak dengan mobil yang dikendarai dengan piawai, karena sambil ngakak – eh, Laura cantik-cantik sering ngikik, lho! – ia mengendalikan kemudi di jalan yang rada berkelok-kelok itu. “Sampai jam dua belas bukanya ….,” ujarnya.

Nah, mana ada tuh Car Free Day sampai sesiangan begitu kalau di Kota yang pernah TS kuntiti seperti Bandung, Solo, Bekasi, Jakarta. Bisa-bisa warga lain marah. Tapi ini di Cilegon. Dan …kami segera mendapati kepadatan pengunjung minggu pertama September ini. Walau, tak ada orang-orang jogging, atawa berolahraga sepeda, atau anak-anak bersepatu roda. Dua jalur sepanjang hampir 300 meter – yang diatur oleh Pawon* itu – dipadati makanan dan pakaian atau barang sebagian hasil kerajinan tangan.

“Kita makan dulu,” usul Tamita, dan diiyakan Laura.

cf-kpk-ngamen-57cbddcd04b0bd9d5528c5a3.jpg
cf-kpk-ngamen-57cbddcd04b0bd9d5528c5a3.jpg
Dan Laura sebagai guide di Car Free Day itu menyebutkan sejumlah kudapan yang ada di lokasi yang rindang itu. Namun begitu TS melihat pecel, dan ada tikar digelar, “Situ aja, deh!” dan saya ngglongsor. Takut disergap orang lain. Karena pengunjung masih padat di sekitar pukul 08.50an. main cepete-cepetanlah.

Jadilah pemesanan itu. Selain nasi pecel dengan piring anyaman rotan yang dialasi kertas makanan, ada yang memesan nasi bakar berwarna kuning. “Peyeknya …Bu!”

Beginilah kalau urusan dengan tukang jalan seperti TS dan kawan-kawan Kompasianer dari Jakarta. Mencari menu-menu unik dan khas daerah itu. Maka acara makan di tepian selokan tak berair itu …hm, jangan ngiri, ya! Ditambah minuman segar es. Yang bisa dipesan: es dawet, es puter, es kelapa, es krim dan seterusnya.

Nasi bakar: jahanam. (foto:TS)
Nasi bakar: jahanam. (foto:TS)
cf-kpk-jengkol-57cbde216423bd4c48badc5f.jpg
cf-kpk-jengkol-57cbde216423bd4c48badc5f.jpg
cf-kpk-keong-57cbde84d092730149e1e140.jpg
cf-kpk-keong-57cbde84d092730149e1e140.jpg
“Itu serabinya seperti kayaknya asli dari Solo, Kang TS!” seru Tamita, yang bermukim di Madiun.

Ah, ya. Dari warna dan performannya, meyakinkan. Dan ketikaserabi putih  yang ditaburi nangka atau ketan item, memang rasanya seperti serabi alan Notosuman Solo. Sebagai penutup nasi pecel.

Acara dilanjutkan dengan incognito. Setelah Laura berpamitan untuk melanjutkan acara organisasinya di Hotel Mangku Putri itu, dan meninggalkan kami untuk dijemput kemudian. Ah, Wanita sibuk, wanita karier.

Perdamaian, Perdamaian ….

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun