Mohon tunggu...
Okti Li
Okti Li Mohon Tunggu... Freelancer - Ibu rumah tangga suka menulis dan membaca.

"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Meski Tanggal Merah, Guru-guru di Pakidulan Ini Tetap Masuk Kelas

25 Mei 2017   10:39 Diperbarui: 25 Mei 2017   15:49 848
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Meski Tanggal Merah Guru-guru di Pakidulan ini Tetap Masuk Kelas Mengikuti Pelatihan Kurtilas

Mungkin hanya di Cianjur Selatan saja para guru tetap "belajar" meski Kamis, 25 Mei ini jelas-jelas tanggal merah alias Hari Libur Nasional? Rajin amat ya bapak-bapak serta ibu-ibu honorer dan PNS ini.

Masih untung (mungkin) guru-guru yang diharuskan "belajar" itu di KTP nya tercantum agama: Islam. Dan mayoritas peserta pelatihan Kurtilas itu sepertinya memang Muslim. Coba kalau ada yang non muslim dan merayakan Hari Kenaikan Isa Almasih, apakah harus mengorbankan hari sakral itu hanya demi pemadatan pelatihan supaya saat bulan puasa nanti semua pelatihan itu selesai dan tinggal bernafas lega?

Di saat mayoritas pegawai negeri sipil menikmati masa libur tanggal merah, tidak demikian bagi sebagian Guru PNS dan honorer di Cianjur Selatan, karena Kamis 25  Mei 2017 ini yang bertepatan dengan Hari Libur Nasional Kenaikan Isa Almasih tetap diharuskan ikut pelatihan Kurtilas dengan lokasi yang cukup berjauhan (bukan di sekolah tempat mengajar).

Padahal tahu sendiri jarak antar kecamatan di Cianjur selatan, dengan jalan dilalui kendaraan saja itu minimal butuh waktu setengah jam. Bayangkan jika jalannya jago alias kependekan jalan gobet (jelek), dan lokasi sekolah berada jauh di pedalaman. Tidak heran meski orang-orang pada santai liburan (atau papajar/munggahan) jelang Bulan Ramadhan seperti kebiasaan pada umumnya warga masyarakat di Tatar Sunda, seentara para guru yang ikut pelatihan Kurtilas ini mulai subuh sudah pada berangkat menuju sekolah dimana pelatihan diadakan.

Contoh yang saya lihat sebagian guru-guru dari Kecamatan Pasirkuda (perbatasan Kab. Bandung dengan Kab. Cianjur) setelah subuh segera meluncur menuju SMPN 3 Sukanagara, yang berada di Pasirnangka dengan jarak tempuh sekitar 1,5 jam kendaraan. Bahkan ada guru dari Pasirkuda yang mengikuti pelatihan Kurtilas yang sesuai mata pelajarannya bertempat di Kecamatan Sindangbarang, lebih jauh lagi daripada ke Sukanagara. Pulangnya? Saat bubar pelatihan jam 4 sore, tidak sedikit guru-guru yang sampai rumahnya menjelang magrib bahkan lebih.

Saya sendiri heran, ini pemerintah dinas terkait kok bisa ya menggunakan hari libur nasional sebagai hari pelatihan? Full Day lagi. Apakah karena kejar target menjelang bulan Ramadhan sehingga saat puasa nanti pelatihan ini sudah selesai? Lagian Kurtilas (Kurikulum Tahun 2013) baru "diajarkan" kepada guru-guru pemegang mata pelajaran baru tahun ini, 2017, empat tahun tertinggal gitu lho! Yah maklum ke daerah kali...

Kalau kita amati, mungkin kita berpikir segitu rajin dan giatnya ya mereka para guru di daerah ini demi menjalani profesi tenaga pengajar yang berkualias. Padahal, tidak sedikit dari mereka sering mengeluh dan merasa tidak nyaman dengan posisi yang tidak enak di lingkungan yang tidak cocok dengan hati nurani.

Seorang guru curhat ke saya, katanya "Di Cianjur Selatan saat ini guru lagi digodok buat kurtilas selama seminggu. Tanggal merah pun tetap pelatihan. Apa-apaan coba sampai merampas hak hari libur nasional jadi hari "belajar"? Padahal gaji honor teramat kecil, habis sudah dipakai ongkos pulang pergi."

Terkait gaji honorer guru di Cianjur yang sangat kecil memang sudah jadi rahasi umum. Beberapa teman saya yang jadi tenaga guru honorer sering bilang gaji yang diterima cuma seratus ribu rupiah per bulan, sementara di kwitansi yang ditanda-tangan tertera nominal minimal Rp. 500.000. Saat saya sarankan untuk berontak, teman-teman honorer tidak berani. Karena alasannya kalau ketahuan dia akan dipecat dan mungkin tidak akan bisa mengajar lagi ke sekolah manapun di sekitar tempat tinggal karena sesama kepala sekolah sudah saling menginformasikan, mana guru (honorer) yang "patuh" dan mana yang "pemberontak". Jadi para honorer itu memilih diam meski cuma dapat bayaran disunat besar-besaran secara masal oleh oknum pihak sekolah.

Sepertinya dana bantuan operasional siswa (BOS) dari pemerintah kepada pihak sekolah di tempat saya itu masih jadi lahan basah bagi sebagian oknum untuk pemenuhan kepentingan pribadi. Buktinya dalam laporan kertas untuk pemerintah nilai pengeluaran segala macam sangat fantastis termasuk pengeluaran biaya (gaji) tenaga guru honorer. Tapi kenyataannya honorer menjerit, tidak bisa berontak. Yang mengajar di swasta mending dapat tunjangan profesi yang dibayarkan setahun sekali. Lah yang jadi honorer di sekolah negeri? Gigit jari dan makan hati!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun