Mohon tunggu...
Taufiq Rahmat H
Taufiq Rahmat H Mohon Tunggu... Wiraswasta - Pengamat Sosial

Fokus dan Tenang

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Etika Komunikasi dan Teori Tindakan Komunikatif

8 Desember 2012   13:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:59 18760
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_228349" align="aligncenter" width="721" caption="TNJN/Moser, Benjamin - tnjn.com"][/caption]

Kata komunikasi secara etimologis berasal dari kata communicatio yang merujuk pada kata communis yang artinya ‘sama’. Sama yang dimaksud adalah ‘sama maksud atau sama arti’. Maka sederhananya, komunikasi dapat terjadi apabila terdapat kesamaan makna mengenai suatu pesan yang disampaikan oleh komunikator dan mampu diterima oleh komunikan. Dengan kata lain, komunikasi tidak dapat terjadi jika tidak ada kesamaan makna diantara komunikator dan komunikan (situasi tidak komunikatif). Hakikat komunikasi adalah proses pernyataan isi pikiran atau isi perasaan seseorang kepada orang lain dengan menggunakan medium bahasa. Komunikasi berati juga penyampaian pesan oleh komunikator kepada komunikan. Pesan tersebut terdiri dari aspek isi pesan (the content of the massege) dan lambang (symbol). Isi pesan dimediasi oleh pikiran atau perasaan dan lambang dimediasi oleh bahasa. Studi tentang komunikasi semakin berkembang ketika zaman mulai maju dan mulai munculnya teknologi sebagai sarana komunikasi massive. Tulisan ini membahas komunikasi dalam perspektif etika pada kondisi sosial masyarakat yang dikendalikan oleh suatu pemerintahan. Komunikasi yang terjadi antara pemerintah, media jurnalistik, dan masyarakat umum akan dikaji sesuai teori komunikasi dan filsafat komunikasi.

ETIKA KOMUNIKASI

Dalam skema besar filsafat, etika terletak pada aspek aksiologi. Etika komunikasi dengan sendirinya merupakan bagian dari etika. Maka dalam hubungannya dengan filsafat komunikasi, aksiologi merupakan suatu kajian terhadap nilai-nilai dan kajian terhadap cara mengekspresikan dan melembagakan nilai-nilai tersebut. Stephen little John menelaah teori dan proses komunikasi dengan membagi tiga tahap komunikasi dan empat tema komunikasi, sebagai berikut:

Tiga tahapan komunikasi:

1.Tahap Metatheoricritical

Tahap ini mempunyai beberapa pengertian mendasar, yaitu: berubah dalam posisi (chaged in position); berada diseberang, diluar, atau melebihi (beyond); diluar pengertian dan pengalaman manusia (trancending); dan bersifat lebih tinggi (higher).

2.Tahap Hipotetikal

Tahap ini merupakan tahap teori yang menampakkan gambaran realitas dan pembinaan kerangka kerja pengetahuan.

3.Tahap Deskriptif

Tahap deskriptif meliputi pernyataan-pernyataan aktual kegiatan dan penemuan-penemuan yang berkaitan dengannya.

Empat tema komunikasi:

1.Tema Ontologi

Ontologi adalah cabang filsafat mengenai sifat wujud ‘ada’ (nature of being) atau sifat fenomena yang ingin kita ketahui, jika dalam sosiologi berkaitan dengan sifat interaksi sosial.

Dalam teori komunikasi ontologi tampak berbagai posisi ontologis, tetapi dapat dikelompokan menjadi dua posisi yang saling berlawanan :

1.Teori Aksional (actional theory)

Bahwa orang menciptakan makna, mereka mempunyai tujuan, mereka menentukan pilihan nyata. Berpijak pada landasan teleologis yang menyatakan bahwa orang mengambil keputusan yang dirancang untuk mencapai tujuan.

2.Teori Non-aksional (nonactional theory)

Bahwa perilaku pada dasarnya ditentukan oleh dan responsive terhadap tekanan-tekanan yang lalu. Pada tradisi ini teori ini, dalil-dalil tertutup biasanya dipandang tepat, interpretasi aktif seseorang hanya dipandang sebelah mata.

2.Tema Epistemologi

Epistemologi meru[akan cabang filsafat yang menyelidiki asal, sifat, metode, dan batasan mengenai pengetahuan manusia. Pengetahuan konvensional telah dirumuskan oleh para ahli dengan mengelompokkannya dalam aliran rasionalisme, empirisme, konstruksivisme, dan konstruksivisme sosial.

3.Tema Aksiologi

Aksiologi merupakan cabang Filsafat yang mengkaji nilai-nilai. Bagi pakar komunikasi, ada tiga persoalan aksiologis :

1.Apakah teori bebas nilai?

Ilmu klasik menganggap teori dan penelitian bebas nilai. Ilmu pengetahuan bersifat netral, berupaya memperoleh fakta sebagaimana tampak dalam dunia nyata. Jika ada pendirian ilmu pengetahuan tidak bebas nilai, haltersebut karena karya peneliti dipandu oleh suatu kepentingan dalam cara-cara tertentu dalam melaksanakan penyelidikan. Filsuf yang mengatakan ilmu pengetahuan itu sarat nilai salah satunya adalah Habermas.

2.Sejauh mana pengaruh praktek penyelidikan terhadap obyek yang dipelajari?

Titik pandang ilmiah menunjukan bahwa para ilmuwan melakukan pengamatan secara hati-hati, tetapi tanpa interferensi dengan tetap memelihara kemurnian pengamatan. Beberapa kritikus berpendapat bahwa teori dan pengetahuan mempengaruhi kelangsungan hidup manusia.

3.Sejauh mana ilmu berupaya mencapai perubahan sosial?

Apakah para ilmuwan akan tetap objektif atau akan berupaya membantu perubahan sosial dengan cara-cara yang positif? Peranan ilmuwan adalah menghasilkan ilmu, sarjana bertanggungjawab berkewajiban mengembangkan perubahan yang positif.

Maka secara keseluruhan, jika dirangkum dalam proposisi umum persoalan aksiologis ini mengandung dua prosposisi:

1.Ilmu yang sadar nilai (value-conscious) mengakui pentingnya nilai bagi penelitian dan teori secara bersama berupaya untuk mengarahkan nilai-nilai kepada tujuan positif.

2.Ilmu yang bernilai netral (value-neutral) percaya bahwa ilmu menjauhkan diri dari nilai-nilai, dan bahwa para cendikiawan mengontrol efek nilai-nilai.

4.Tema Perspektif

Perspektif berkorelasi dengan epistemologi dan ontologi yang disebabkan bagaimana teoritisi memandang pengetahuan dan bagaimana pengaruhnya terhadap perspektif teori. Teori komunikasi menyajikan perspektif khusus bagaimana prosesnya dapat dipandang. Suatu perspektif adalah sebuah sudut pandang, suatu cara mengkonseptualisasi suatu bidang studi. Perspektif memandu seorang teoritikus dalam memilih apa yang akan dijadikan fokus dan apa yang akan ditinggalkan, bagaimana menerangkan prosesnya, dan bagaimana mengkonseptualisasikan apa yang diamati.

Empat perspektif yang dinilai memadai dalam pembahasan perspektif yaitu:

1.Perspektif Behavioristik (behavioristic perspective)

Timbul dari psikologi mazhab perilaku atau behavioral, menekankan pada rangsangan dan tanggapan (stimulus dan response) yang cenderung menekankan pada cara bahwa orang dipengaruhi oleh pesan.

2.Perspektif Transmisional (transmissional perspective)

Memandang komunikasi sebagai pengiriman informasi dari sumber kepada penerima, menggunakan gerakan model linier dari suatu lokasi ke lokasi lain. Menekankan pada media komunikasi, waktu dan unsur-unsur konsekuensial.

3.Perspektif Interaksional (interactional perspective)

Mengakui bahwa para pelaku komunikasi secara timbal balik menanggapi satu sama lain. Umpan balik dan efek bersama merupakan kunci konsep.

4.Perspektif Transaksional (Transactional perspective)

Menekankan kegiatan saling beri. Memandang komunikasi sesuatu di mana pesertanya terlibat secara aktif, menekankan konteks, proses dan fungsi. Komunikasi dipandang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dan sosial.

Komunikasi antarmanusia (antarsubjek) tidak selamanya mengalami kelancaran. Komunikasi yang gagal menunjukkan adanya evasi komunikasi (hambatan komunikasi). Hambatan tersebut terdiri dari dua jenis yaitu:

1.Hambatan objektif, berupa gangguan dan halangan terhadap jalannya komunikasi yang tidak disengaja, dibuat oleh pihak lain, atau mungkin disebabkan oleh keadaan yang tidak menguntungkan.

2.Hambatan subjektif, berupa ketidaksengajaan yang dibuat oleh orang lain.

Evasi komunikasi dapat terlihat dalam gejala mencemooh dan mengelakan suatu komunikasi untuk mendeskreditkan atau menyesatkan pesan komunikasi; Mencacatkan pesan komunikasi (message made invalid) atau kebiasaan mencacatkan pesan komunikasi dengan menambah-nambah pesan yang negatif; Mengubah kerangka referensi (changing frame of reference) atau kebiasaan mengubah kerangka referensi menunjukkan seseorang yang menanggapi komunikasi dengan diukur oleh kerangka referensi sendiri.

Jalannya komunikasi memerlukan suatu proses. Proses tersebut biasanya diandaikan ada begitu saja tanpa disadari sebagai suatu proses yang perlu diabstraksikan dan diselidiki oleh komunikator dan komunikan. Setidaknya ada dua perspektif tentang proses komunikasi. Pertama, proses komunikasi dalam perspektif psikologis. Dalam perspektif ini komunikasi terjadi pada diri komunikator dan komunikan, yang menunjukkan terjadinya suatu proses komunikasi (isi pesan berupa pikiran dan lambang umumnya bahasa). Proses ‘mengemas’ atau ‘membungkus’ pikiran dengan bahasa yang dilakukan komunikator, yang dinamakan encoding. Sedangkan proses dalam diri komunikan disebut decoding(seolah-olah membuka kemasan atau bungkus pesan). Kedua, proses komunikasi dalam perpektf mekanistis. Proses ini berlangsung ketika komunikator mengoper atau “melemparkan” dengan bibir kalau lisan, atau dengan tangan kalau tulisan. Penangkapan pesan tersebut dapat dilakukan dengan indera telinga atau indera mata, atau indera-indera lainnya. Ada kalanya komunikasi tersebar dalam jumlah relatif banyak, sehingga untuk menjangkaunya diperlukan suatu media atau sarana, dalam situasi ini dinamakan komunikasi massa.

Etika komunikasi merupakan bagian dari upaya untuk menjamin otonomi demokrasi. Etika komunikasi tidak hanya berhenti pada masalah prilaku aktor komunikasi (wartawan, editor, agen iklan, dan pengelola rumah produksi). Etika komunikasi berhubungan juga dengan praktek institusi, hukum, komunitas, struktur sosial, politik dan ekonomi. Lebih dari itu, etika komunikasi selalu dihadapkan dengan berbagai masalah, yaitu antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab terhadap pelayanan publik. Etika komunikasi memilik tiga dimensi yang terkait satu dengan yang lain, yaitu:

1.Aksi Komunikasi

Aksi komunikasi merupakan dimensi yang langsung terkait dengan perilaku aktor komunikasi. Perilaku aktor komunikasi hanya menjadi salah satu dimensi etika komunikasi, yaitu bagian dari aksi komunikasi. Aspek etisnya ditunjukkan pada kehendak baik yang diungkapkan dalam etika profesi dengan maksud agar ada norma intern yang mengatur profesi. Aturan semacam ini terumus dalam deontologi jurnalisme. Mudah sekali para aktor komunikasi mengalihkan tanggung jawab atau kesalahan mereka pada sistem ketika dituntut untuk mempertanggungjawabkan elaborasi informasi yang manipulatif, menyesatkan publik atau yang berbentuk pembodohan.

2.Sarana

Pada tingkat sarana, analisis yang kritis, pemihakan kepada yang lemah atau korban, dan berperan sebagai penengah diperlukan karena akses ke informasi tidak berimbang, serta karena besarnya godaan media ke manipulasi dan alienasi. Dalam masalah komunikasi, keterbukaan akses juga ditentukan oleh hubungan kekuasaan. Pengunaan kekuasaan dalam komunikasi tergantung pada penerapan fasilitas baik ekonomi, budaya, politik, atau teknologi (bdk. A. Giddens, 1993:129). Semakin banyak fasilitas yang dimiliki semakin besar akses informasi, semakin mampu mendominasi dan mempengaruhi perilaku pihak lain atau publik. Negara tidak bisa membiarkan persaingan kasar tanpa bisa membiarkan persaingan kasar tanpa penengah diantara para aktor komunikasi maupun pemegang saham. Pemberdayaan publik melalui asosiasi warga negara, class action, pembiayaan penelitian, pendidikan untuk pemirsa, pembaca atau pendengar agar semakin mandiri dan kritis menjadi bagian dari perjuangan etika komunikasi.

3.Tujuan

Dimensi tujuan menyangkut nilai demokrasi, terutama kebebasan untuk berekspresi, kebebasan pers, dan juga hak akan informasi yang benar. Dalam negara demokratis, para aktor komunikasi, peneliti, asosiasi warga negara, dan politisi harus mempunyai komitmen terhadap nilai kebebasan tersebut. Negara harus menjamin serta memfasilitasi terwujudnya nilai tersebut.

TEORI TINDAKAN KOMUNIKATIF HABERMAS

[caption id="attachment_228350" align="alignleft" width="300" caption="Habermas"]

1354974750684158139
1354974750684158139
[/caption]

Habermas adalah filsuf yang banyak mencurahkan perhatian pada persoalan agama, masyarakat sosial, kebudayaan, dan problematika politik. Ia lahir 18 Juni 1929 di Dusseldorf, Jerman. Pemikiran filsafat politik dan teori tindakan komunikatif Habermas dibangun guna menjelaskan bagaimana suatu masyarakat kompleks dewasa ini menghasilkan produk hukum yang legitim. Gagasannya tentang tindakan komunikatif sangat erat hubungannya dengan situasi demukratif yang merindukan suatu konsensus dalam diskursus tertentu.

Dalam rangka mengatasi kompleksitas pada masyarakat modern yang memiliki kemajemukan gaya hidup dan orientasi nilai, Habermas mempunyai keyakinan bahwa melalui tindakan komunikatif masyarakat modern dengan segala kompleksitasnya dapat diintegrasikan. Tindakan komunikatif adalah tindakan yang mengarahkan diri pada konsensus. Artinya, setiap tindakan menjadi tindakan rasional yang berorientasi kepada kesepahaman, persetujuan dan rasa saling mengerti. Konsensus semacam itu, bagi Habermas, hanya dapat dicapai melalui diskursus praktis yang tidak lain adalah prosedur komunikasi. Diskursus praktis adalah suatu prosedur (cara) masyarakat untuk saling berkomunikasi secara rasional dengan pemahaman intersubjektif. Dalam tipe diskursus ini anggota masyarakat mempersoalkan klaim ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.

Untuk mencapai konsensus rasional yang diterima umum, Habermas mengajukan tiga prasyarat komunikasi sebagai berikut: Pertama keikutsertaan di dalam sebuah diskursus hanya mungkin, jika orang mempergunakan bahasa yang sama dan secara konsisten mematuhi aturan-aturan logis dan semantis dari bahasa tersebut. Kedua, kesamaan dalam memperoleh kesempatan dalam diskursus hanya dapat terwujud, jika setiap peserta memiliki maksud untuk mencapai konsensus yang tidak memihak dan memandang para peserta lainnya sebagai pribadi-pribadi otonom yang tulus, bertanggungjawab sejajar dan tidak menganggap mereka ini hanya sebagai sarana belaka. Ketiga, harus ada aturan-aturan yang dipatuhi secara umum yang mengamankan proses diskursus dari tekanan dan diskriminasi. Aturan-aturan tersebut harus memastikan bahwa orang mencapai konsensus berkat “paksaan tidak memaksa dari argumen yang lebih baik”. Melalui diskursus praktis dengan prosedur komunikasi yang rasional, Habermas yakin bahwa risiko ketidaksepakatan yang menggiring masyarakat pada disintegrasi dapat dibendung.

Bagi Habermas, pluralitas yang banyak dipahami masyarakat sebagai sumber perpecahan justru berfungsi sebagai kontribusi dalam proses pembentukan opini dan aspirasi publik. Komunikasi politis pada diskursus praktis dengan argumen rasional dapat menghasilkan hukum yang legitim. Masyarakat yang membudayakan proses legislasi hukum secara demokratis akan dirangsang untuk memobilisasi solidaritas sosial yang makin meninggalkan perspektif etnosentris para anggotanya, karena dalam setiap komunikasi autentik para partisipan dapat mencapai saling pemahaman dengan cara mengambil alih perspektif partner komunikasinya. Teori tentang demokrasi deliberatif adalah suatu upaya untuk merekonstruksi proses komunikasi dalam konteks negara hukum demokratis.

Demokrasi Deliberatif

Kata deliberatif berasal dari kata Latin deliberatio atau deliberasi (Indonesia) yang artinya konsultasi, musyawarah, atau menimbang-nimbang. Demokrasi bersifat deliberatif jika proses pemberian alasan atas suatu kandidat kebijakan publik diuji lebih dahulu lewat konsultasi publik, atau diskursus publik. Demokrasi deliberatif ingin meningkatkan intensitas partisipasi warga negara dalam proses pebentukan aspirasi dan opini agar kebijakan-kebijakan dan undang-undang yang dihasilkan oleh pihak yang memerintah semakin mendekati harapan pihak yang diperintah. Intensifikasi proses deliberasi lewat diskursus publik ini merupakan jalan untuk merealisasikan konsep demokrasi, Regierung der Regierten (pemerintahan oleh yang diperintah). Demokrasi deliberatif memiliki makna tersirat yaitu diskursus praktis, formasi opini dan aspirasi politik, serta kedaulatan rakyat sebagai prosedur.

Menurut Reiner Forst, “Demokrasi deliberatif berarti bahwa bukan jumlah kehendak perseorangan dan juga bukan kehendak umum yang menjadi sumber legitimasi, melainkan proses pembentukan keputusan politis yang selalu terbuka terhadap revisi secara deliberatif dan diskursif-argumentatif.” Dengan demikian, demokrasi deliberatif dapat dipahami sebagai proseduralisme dalam hukum dan politik. Demokrasi deliberatif merupakan suatu proses perolehan legitimitas melalui diskursivitas. Agar proses deliberasi (musyawarah) berjalan fair, terlebih dahulu diperlukan pengujian secara publik dan diskursif. Habermas menekankan adanya pembentukan produk hukum dengan cara yang fair agar dapat mencapai legitimitas.

Dalam demokrasi deliberatif, keputusan mayoritas dapat dikontrol melalui kedaulatan rakyat. Masyarakat dapat mengkritisi keputusan-keputusan yang dibuat oleh para pemegang mandat. Jika masyarakat sudah berani mengkritisi kebijakan pemerintah, maka secara tidak langsung mereka sudah menjadi masyarakat rasional, bukan lagi masyarakat irasional. Opini publik atau aspirasi berfungsi untuk mengendalikan politik formal atau kebijakan-kebijakan politik. Jika tidak ada keberanian untuk mengkritik kebijakan politik, maka masyarakat sudah tunduk patuh terhadap sistem.

Ruang Publik

Habermas menegaskan bahwa ruang publik memberikan peran yang penting dalam proses demokrasi. Ruang publik merupakan ruang demokratis atau wahana diskursus masyarakat, yang mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka secara diskursif. Ruang publik harus bersifat otonom, tanpa intervensi dari pemerintah. Ruang publik merupakan sarana warga berkomunikasi, berdiskusi, berargumen, dan menyatakan sikap terhadap problematika politik. Ruang publik tidak hanya sebagai institusi atau organisasi yang legal, melainkan adalah komunikasi antar warga itu sendiri.

Habermas membagibagi ruang publik, tempat para aktor-aktor masyarakat warga membangun ruang publik, sebagai pluralitas (keluarga, kelompok-kelompok informal, organisasi-organisasi sukarela, dst.), publisitas (media massa, institusi-institusi kultural, dst.), keprivatan (wilayah perkembangan individu dan moral), dan legalitas (struktur-struktur hukum umum dan hak-hak dasar). Dengan demikian, maka ruang publik begitu banyak terdapat ditengah-tengah masyarakat warga. Ruang publik tidak dapat dibatasi. Dimana ada masyarakat yang berkomunikasi, berdiskusi tentang tema-tema yang relevan, maka disitulah akan hadir ruang publik. Ruang publik berifat bebas dan tidak terbatas. Ia tidak terikat dengan kepentingan-kepentingan pasar ataupun kepentingan-kepentingan politik.

Relasi Demokrasi Deliberatif dan Ruang Publik

Masyarakat kompleks terdiri dari jaringan-jaringan aneka bentuk komunikasi yang saling tumpang tindih dan terkait dengan berbagai kepentingan, gaya hidup dan orientasi nilai kultural, sosial, serta religius. Identitas antara kehendak pemerintah dan rakyatnya sulit dicapai. Kedaulatan rakyat tidak bisa dibayangkan secara konkrit. Kedaulatan rakyat dalam masyarakat kompleks cukup dibayangkan sebagai “kontrol atas pemerintah melalui opini publik”. Maka, kedulatan rakyat bukanlah bentuk demokrasi langsung, melainkan demokrasi perwakilan plus vitalisasi ruang publik politis.Bagi Habermas, suatu negara dapat disebut berdaulat ketika negara (pada lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dapat tersambung secara diskursif dengan proses pembentukan aspirasi dan opini dalam ruang publik. Teori demokrasi deliberatif tidak menganjurkan sebuah revolusi, melainkan suatu reformasi negara hukum dengan melancarkan kegiatan diskursus publik di pelbagai bidang sosial-politis-kultural untuk meningkatkan partisipasi demokratis warga negara.

Pada gagasan teori politik demokrasi deliberatif, Habermas optimis bahwa jurang pemisah yang ada antara lembaga pemerintah (legislatif, eksekutif, dan yudikatif) dan lembaga non-pemerintah (para akademisi, pers, cendekiawan, mahasiswa, aktifis LSM, dan sebagainya), dapat terjembatani lewat jalan komunikasi politis. Menurut Habermas, masyaraktat kompleks dapat membendung imperatif-imperatif kapitalisme dan desakan-desakan birokrasi negara dengan cara menyambungkan antara sistem politik demokrasi deliberatif dengan ruang publik.

Diskursus Praktis Sebagai Prosedur Komunikasi

Pluralitas dan segala bentuk perbedaan dalam masyarakat modern tidak dapat dibiarkan begitu saja. Demi mencapai kehidupan bersama yang berorientasi pada kesejahteraan bersama, diperlukan adanya konsensus antarwarga. Konsensus tersebut tidak dapat terjadi begitu saja tanpa melalui proses diskursus. Diskursus merupakan pewacanaan terhadap segala sesuatu yang dianggap relevan untuk dibicarakan. Diskursus dilakukan oleh warga negara dalam rangka merumuskan norma- norma yang dianggap perlu untuk mengatur kehidupan mereka. Diskursus praktis merupakan proses nyata yang harus dillakukan oleh warga negara untuk mencapai konsensus. Diskursus praktis dilakukan oleh setiap peserta (partisipan) yang mempunyai tujuan tertentu dalam merumuskan persoalan-persoalan yang menyangkut norma-norma. Para peserta diskursus praktis dituntut dapat memecahkan persoalan yang menyangkut norma-norma problematis secara kooperatif agar dapat mencapai konsensus. Melalui diskursus praktis, diharapkan konsensus yang dicapai oleh warga negara bersifat intersubjektif dan sesuai dengan kehendak semua peserta. Bersifat intersubjektif mengandung pengertian bahwa konsensus yang dicapai warga negara tidak hanya memuaskan segelintir pihak saja, namun dapat dimengerti oleh semua pihak dan diafirmasi menjadi suatu kesepakatan bersama.

Diskursus praktis bertujuan untuk menciptakan pemahaman timbal-balik atas norma-norma tindakan yang dipatuhi bersama. Konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak secara intersubjektif tanpa suatu paksaan dapat dianggap rasional. Diskursus praktis pada dasarnya sudah terkandung dalam komunikasi di kehidupan sehari-hari. Diskursus praktis sebagai prosedur komunikasi memerlukan prasyarat-prasyarat tertentu yang memungkinkan semua peserta menganggap sah konsensus yang dihasilkan.

Prasyarat-prasyarat komunikasi menurut Habermas, termuat dalam konsep idealisasi (Idealisireung). Idealisasi dalam komunikasi merupakan suatu proses memikirkan proses-proses komunikasi sedemikian rupa seolah-oleah proses-proses tersebut berlangsung dalam kondisi-kondisi ideal. Idealisasi komunikasi hanya dapat terwujud melalui diskursus praktis. Diskurusus praktis tidak hanya mengacu pada proses komunikasi yang ideal, melainkan juga pada aturan-aturan komunikasi yang ideal dan diformalisasikan dari proses komunikasi ideal. Tepat tidaknya tujuan komunikasi tergantung pada ideal atau tidaknya proses-proses komunikasinya. Sesuatu dapat disebut ideal jika sesuatu tersebut dapat dipahami oleh banyak orang. Misalnya, pembahasan mengenai simbol-simbol seperti lingkaran atau segi tiga pada matematika yang dapat diandaikan sebagai idealisasi terhadap bentuk permukaan benda-benda yang ada di dunia. Idealisasi semacam itu juga terdapat dalam komunikasi warga negara di kehidupan sehari-hari. Jika kita mengandaikan bahwa kata-kata yang kita pakai untuk berkomunikasi memiliki arti yang bersifat umum dan dapat dimengerti olehorang lain, maka kata-kata yang kita pakai tersebut mengandung konsep ideal, dan proses tersebut dapat dipahami sebagai idealisasi.

Diskursus praktis pada dasarnya merupakan cara praktis dalam berkomunikasi yang dilakukan masyarakat. Diskursus praktis memerlukan suatu prasyarat-prasyarat komunikasi yang bersifat inklusif, egaliter, dan bebas dominasi. Prasyarat-prasyarat tersebut sudah dijelaskan pada bab sebelumnya. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pada dasarnya diskursus praktis berlaku sebagai prosedur komunikasi dalam rangka mencapai konsensus intersubjektif.

Komunikasi Naif dan Tindakan Komunikatif

Dalam kehidupan sehari-hari kita selalu berjumpa dengan orang lain. Perjumpaan itu bukanlah perjumpaan kosong yang tanpa makna, melainkan perjumpaan yang membuat kita berpikir tentang orang yang kita jumpai atau perjumpaan yang menuntut kita membicarakan permasalahan tertentu dengan orang yang kita jumpai. Perjumpaan antar manusia seringkali memunculkan proses komunikasi. Komunikasi yang terjadi dapat berupa percakapan formal, atau percakapan informal. Parcakapan formal merupakan percakapan yang merujuk pada referensi baku dan dapat dipahami oleh para pelaku komunikasi sebagai tindak bahasa yang ilmiah. Percakapan informal merupakan percakapan dalam kehidupan sehari-hari yang seringkali lebih mengedepankan ekspresi daripada referensi.

Dewasa ini pengertian komunikasi mengalami banyak pergeseran. Dahulu orang menganggap komunikasi sebagai suatu percakapan antar manusia baik lisan maupun tulisan yang harus memenuhi syarat waktu dan tempat tertentu. Namun pada masa sekarang ini komunikasi dapat dilakukan secara tidak langsung atau melalui media-media komunikasi. Dalam tulisan ini komunikasi yang dimaksud difokuskan pada komunikasi langsung antar manusia. Sebab, hanya pada komunikasi langsung lah prasyarat-prasyarat komunikasi dapat dipenuhi.

Komunikasi yang kita lakukan dengan orang lain dalam kehidupan sehari-hari adalah komunikasi langsung. Dalam berkomunikasi seringkali kita tidak menganggap benar-benar serius sesuatu yang kita perbincangkan. Kita membicarakan sesuatu pada saat itu saja, dan hanya dapat dipahami maknanya pada saat itu juga. Jenis komunikasi semacam ini dapat kita sebut sebagi komunikasi naif. Artinya, kita menaifkan pembicaraan dalam komunikasi. Perkara nilai kebenaran dan implikasi-implikasi etis tidak kita perhitungkan. Komunikasi naif dapat kita nggap sebagai komunikasi alamiah yang tidak mengandung wacana dan kepentingan politis.

Orang yang melakukan sembarang proses komunikasi belum tentu dapat dikatakan sebagai orang yang melakukan tindakan komunikatif. Tindakan komunikatif adalah suatu tindak komunikasi yang mengarahkan diri pada konsensus. Komunikasi yang dimaksud pada dasarnya dimulai dari komunikasi pada kehidupan sehari-hari, namun bukan hanya pada komnikasi naif. Orang dapat mencapai konsensus dalam berkomunikasi ketika dia mampu memahami maksud dan kepentingan lawan bicara, juga menyampaikan maksud dan kepentingannya, kemudian menentukan argumen yang memungkinkan untuk dapat diterima oleh kedua belah pihak.

Didalam komunikasi tersebut masyarakat harus membuat lawan bicaranya memahami maksudnya dengan berusaha mencapai klaim-klaim kesahihan(validity claims). Klaim inilah yang dipandang rasional dan akan diterima tanpa paksaan sebagai hasil konsensus. Sebagaima disebutkan oleh Hardiman, F.B. (1993: xxii), Habermas membagi klaim menjadi empat macam sebagai berikut:

1.Klaim kebenaran (truth): ketika kita bisa sepakat tentang dunia alamiah dan subjektif.

2.Klaim ketepatan (rightness): ketika kita sepakat tentang pelaksanaan norma-norma dalam dunia social.

3.Klaim autentisitas atau kejujuran (sincerety): ketika sepakat tentang kesesuaian antara dunia batiniah dan ekspresi seseorang.

4.Klaim komperehensibilitas (comprehensibility): ketika kita dapat menjelaskan macam-macam klaim itu (3 klaim sebelumnya) dan mencapai kesepakatan atasnya.

Setiap komunikasi yang efektif harus mencapai klaim keempat, dan orang-orang yang mampu berkomunikasi, dalam arti menghasilkan klaim-klaim itu, disebut Habermas sebagai orang yang memiliki kompetensi komunikatif.

Menurut Habermas, argumentasi dapat dibedakan dalam dua macam: pertama, argumentasi yang disebut sebagai diskursus (discours), dan yang kedua, argumentasi yang disebut sebagai kritik. Diskursus secara sederhana dapat diartikan sebagai perbincangan atau pewacanaan terhadap problem tertentu secara rasional dan reflektif. Diskursus dilakukan guna memenuhi kemungkinan terjadinya konsensus (kesepahaman). Diskursus untuk mencapai konsensus atas klaim kebenaran disebut diskursus teoritis, sedangkan untuk mencapai konsensus atas klaim ketepatan disebut diskursus praktis. Sementara diskursus untuk mencapai konsensus atas klaim komprehensibilitas disebut diskursus eksplanatif.

Negara Hukum Demokratis

Negara hukum demokratis adalah negara yang dasar-dasar hukumnyabersumber dari rakyat. Rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi negara. Aspirasi rakyat berperan penting dalam perumusan norma dan dasar seluruh penyelenggaraan kehidupan bernegara dalam berbagai aspek. Negara yang menggunakan sistem pemerintahan demokratis dengan sendirinya merupakan negara hukum. Cita-cita demokrasi baru dapat terwujud ketika negara dapat menegakkan hukum.

Kata demokrasi berasal dari bahasa Yunani, demokratia dari akar kata demos yang berarti rakyat, dan kratein atau kratos yang berarti kekuasaan atau pemerintahan. Secara etimologis demokrasi dapat diartikan sebagai kekuasaan rakyat, atau pemerintahan oleh rakyat (government by the people). Jika negara menggunakan sistem demokrasi, maka para pemimpin negara dan wakil rakyat dipilih dari kalangan rakyat, oleh rakyat, dan untuk bekerja bagi rakyat.

Secara sederhana hukum dapat disebut sebagai aturan. Hukum pada dasarnya berupa kumpulan berbagai aturan yang berfokus pada pengendalian kehidupan sosial individu dalam masyarakat. Aturan-aturan yang dilegitimasi sebagai hukum menuntut masyarakat dapat mematuhinya. Hukum bersifat mengikat. Hukum memiliki mekanisme tersendiri di dalam mengendalikan masyarakat. Hubungan masyarakat dengan hukum adalah sebagai subjek-objek dan objek-subjek. Ada timbal balik antara hukum dan masyarakat. Hukum mengendalikan masyarakat dan masyarakat mematuhi hukum. Hukum berfungsi mengendalikan konflik yang sedang mengancam kehidupan masyarakat.

Negara hukum demokratis terbentuk atas perumusan hukum oleh warga negara. Hukum yang dirumuskan dapat berbentuk hukum tidak tertulis dan hukum tertulis. Hukum tidak tertulis dapat berupa hukum kebiasaan atau hukum adat yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Sementara hukum tertulis dapat berupa peraturan perundang-undangan yang bersifat legislatif maupun bersifat administratif.

Indonesia Sebagai Negara Hukum Demokratis

Indonesia dapat disebut sebagai negara hukum demokratis. Pembentukan hukum di Indonesia berjalan perlahan seiring sejarah diproklamasikannya negara Indonesia. Menurut Idrati S., M.F. (2007: 14) “Secara vertikal di Indonesia dikenal adanya tiga lapis hukum yang berlaku secara bersamaan, yaitu hukum bagi masyarakat golongan Eropa, hukum bagi masyarakat golongan Bumiputra, dan hukum bagi masyarakat golongan Timur Asing. Secara horizontal diakui adanya 19 lingkung laku aneka hukum adat (rechtskringen) yang beberapa diantaranya dan sisanya menerima hukum Islam sebagai hukumnya sendiri baik melalui teori receptio atau receptio in complexu”

Hukum tidak tertulis (ongeschreven recht) disebut juga sebagai hukum kebiasaan (gewoonte recht) yang di Indonesia sering disebut sebagai hukum adat. Adat dapat diartikan sebagai suatu kebiasaan atau perbuatan tertentu yang di ulang-ulang dengan cara dan bentuk yang sama. Hukum tertulis dapat berlaku umum (algemeen geldend) dan mengikat banyak orang (algemeen bindend) serta mempunyai lingkup laku wilayah manusia (personengebied), wilayah ruang (ruimtegebied) dan wilayah waktu (tijdsgebied) yang lebih luas. Hukum tertulis belum tentu mempunyai kedudukan yang lebih tinggi daripada hukum tidak tertulis. Hukum tertulis berfungsi sebagai wahana bagi hukum baru yang dibentuk setelah Indonesia merdeka dalam rangka mengatasi berbagai konflik dan persoalan yang muncul pada masyarakat. Hukum tertulis dapat menjembatani persoalan antarlingkup laku aneka adat dan hukum tidak tertulis dalam suatu masyarakat.

Sebagai negara hukum demokratis, Indonesia mencoba menerapkan asas-asas demokrasi dalam rangka mengatasi berbagai persoalan yang ada. Hukum sebagai aturan senantiasa berusaha ditegakkan melalui perumusan-perumusan kebijakan yang melibatkan rakyat. Setiap undang-undang yang dihasilkan merupakan hasil kesepakatan dari tindak komunikasi antara berbagai pihak yang berkepentingan.

Komunikasi Diskursif Sebagai Prosedur Praktis

Segala bentuk perumusan hukum ataupun undang-undang baik tertulis maupun tidak tertulis, pada dasarnyatidak dapat terlepas dari proses-proses komunikasi. Komunikasi yang dibutuhkan dalam perumusan hukum bukan hanya komunikasi naif yang tidak mengarah pada kesepahaman dan wacana yang bermanfaat bagi partisipan, namun berupa komunikasi diskursif yang mengarahkan diri pada konsensus. Konsensus (kesepakatan) yang dihasilkan selanjutnya dapat diproses dan dikemas rapi menjadi aturan hukum positif yang pada akhirnya dapat dipatuhi oleh warga negara.

Komunikasi diskursif pada negara hukum demokratis dapat disebut sebagai prosedur praktis dalam rangka merumuskan konsensus. Komunikasi antarwarga menuntut adanya tindakan komunikatif yang berorientasi pada persetujuan dan kesepahaman intersubjektif. Inspirasi warga negara dalam melakukan tindakan komunikasi tidak jauh-jauh dari konflik dan persoalan dalam kehidupan sehari-hari. Warga mewacanakan konflik yang terjadi kemudian mengkomunikasikan konflik tersebut dalam ruang publik yang mereka anggap paling relevan. Tindakan tersebut bersifat praktis dan tidak membutuhkan banyak pertimbangan teoritis. Warga negara yang mengalami permasalahan secara otomatis dapat membicarakan permasalahan tersebut kepada warga negara yang lain. Proses ini senantiasa tidak disadari sebagai tindakan komunikasi yang penting, namun pada kenyataanya proses tersebut justru sangat penting dalam proses pembentukan opini publik dalam perumusan hukum dan undang-undang.

Etika Komunikasi dalam Negara Hukum Demokratis

Negara hukum demokratis merupakan suatu kesatuan konstitutif adminiatratif dan kewilayahan yang pembentukan kebijakan dan dasar hukumnya dirumuskan melalui proses-proses komunikasi. Komunikasi menjadi titik sentral dan dasar berpijak dari keseluruhan transaksi etis maupun transaksi politis antarwarga. Negara sebagai kesatuan yuridis harus memfasilitasi komunikasi warganegara dengan menyediakan ruang publik politis. Masyarakat juga tidak boleh hanya bergantung dan menutup diri terhadap kemungkinan terbukanya ruang publik baru yang dapat dijadikan sebagai sarana penyaluran aspirasi dan diskursus konflik-konflik. Negara harus menindaklanjuti diskursus masyarakat dan mempertimbangkan diskursus tersebut sebagai referensi dalam perumusan kebijakan dan hukum yang baru. Komunikasi diskursif pada dasarnya merupakan prosedur praktis yang kelihatanya sepele dan diandaikan berjalan begitu saja dalam kehidupan sehari-hari. Komunikasi diskursif yang diiringi rasionalitas dan kesadaran warga negara akan pentingnya penegakan hukum dan kesepahaman bersama dapat disadari ketika warga negara mampu menerapkan prasyarat-prasyarat komunikasi.

Mayarakat modern yang heterogen dan mempunyai perbedaan orientasi nilai tidak dapat terjembatani hasrat dan kepentingannya dalam kehidupan bernegara, kecuali dengan melakukan tindakan komunikasi. Tindakan komunikasi yang mereka lakukan juga bukan sembarang tindakan komunikasi sebagaimana komunikasi naif, namun berupa tindakan komunikasi yang bersifat diskursif. Masyarakat yang mampu berkomunikasi secara diskursif dapat disebut sebagai masyarakat komunikatif. Masyarakat komunikatif diharapkan dapat mengatasi berbagai konflik dan persoalan pluralitas yang dewasa ini sering terjadi dalam kehidupan. Ketika masyarakat komunikatif mampu berpikir dewasa dan rasional, konflik-konflik yang terjadi dalam negara hukum demokratis berangsur-angsur dapat diatasi. Cara mengatasi konflik dan persoalan tersebut adalah dengan menkomunikasikan diskursus terhadap ruang publik, baik ruang publik yang secara resmi dilegitimasi oleh negara maupun ruang publik tidak resmi yang sengaja dibuat sendiri oleh masyarakat sebagai reaksi dari konflik-konflik yang sedang terjadi.

TENTANG DISTORSI DAN PROBLEM ETIKA KOMUNIKASI DI INDONESIA

Etika komunikasi bukan merupakan kajian filsafat yang mengawang-awang dan sulit dibumikan. Kajian etika komunikasi masuk dalam kajian etika terapan yang bersifat empiris dan bersumber dari fenomena yang benar-benar terjadi disekitar kita. Penulis akan mengambil kasus tentang wacana bakal dinaikkannya harga BBM oleh pemerintah Indonesia sebagai suatu komunikasi dari pemerintah terhadap masyarakat warga.

Bom Waktu BBM Subsidi

Rabu, 28 November 2012 00:01 WIB - Editorial Media Indonesia

TUGAS utama pemerintahan ialah menyejahterakan rakyatnya. Karena itu, segala kebijakan yang lahir dari tangan pemerintah mestinya dimaksudkan untuk menyejahterakan rakyat, bukan yang lain. Namun, apa yang kita saksikan terkait dengan beleid soal bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi kian terasa jauh dari tugas mulia itu. Yang terjadi justru dalam tiga tahun terakhir kebijakan soal BBM subsidi lebih kental dengan nuansa mempertahankan popularitas demi citra politik. Itu bisa kita lihat ketika pemerintah selalu maju-mundur menerapkan kebijakan pengetatan konsumsi BBM bersubsidi dan sama sekali ogah memilih menaikkan harga. Padahal, momentum terbaik untuk menaikkan harga BBM tersedia pada 2010-2011 lalu. Ketika itu, tingkat inflasi relatif rendah dan harga minyak dunia relatif stabil. Selain itu, kebijakan menaikkan harga BBM pada tahun-tahun itu belum mensyaratkan keharusan persetujuan DPR. Namun, momentum itu dibiarkan berlalu karena pemerintah takut menanggung risiko tergerusnya popularitas. Untuk jangka pendek, citra pemerintahan prorakyat terjaga, tapi jangka panjang sama dengan menanam bom waktu.

Salah satu bom waktu itu meledak di awal 2012, ketika pemerintah berniat menaikkan harga BBM karena harga minyak dunia terus membubung. Namun, upaya yang terlambat itu kandas karena tidak mendapatkan restu DPR sebagaimana syarat yang ditentukan dalam Undang-Undang APBN 2012. Keputusan itu harus dibayar mahal, yakni kian meledaknya subsidi di APBN. Pagu subsidi sebesar Rp137,4 triliun di APBN-P 2012 amat mungkin meroket hingga Rp213 triliun demi mengongkosi kebijakan 'populis' itu. Kini, di penghujung 2012, bom waktu kedua terkait dengan BBM bersubsidi meledak lagi. Sumbunya ialah ancaman overkuota konsumsi yang bisa mencapai 1,25 juta kiloliter di atas target.

Pada awalnya, kuota BBM bersubsidi sudah ditetapkan sebesar 40,04 juta kiloliter. Namun, itu sebenarnya angka yang mustahil bisa dicapai mengingat overkuota yang juga terjadi pada tahun-tahun sebelumnya. Lalu, atas persetujuan DPR, pemerintah memutuskan menambah kuota 4 juta kiloliter sehingga total kuota mencapai 44,04 juta kiloliter. Tambahan itu hampir pasti tidak mencukupi hingga akhir tahun. Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) memerintahkan Pertamina memperketat distribusi BBM subsidi dengan mengurangi pasokan ke SPBU demi mengamankan kuota. Maka, yang kita saksikan ialah masyarakat dan Pertamina sebagai operator harus menanggung beban atas kebijakan 'populis' itu. Akibat pembatasan, antrean di SPBU sangat panjang dan menimbulkan gesekan. Di Kutai Barat, Kalimantan Timur, gesekan berubah menjadi konflik horizontal. Di Flores, Nusa Tenggara Timur, warga kesulitan menuju rumah sakit karena tidak ada angkutan yang membawa mereka akibat tak mendapatkan BBM.

Kita tidak ingin ada bom waktu lainnya terkait dengan BBM bersubsidi. Namun, sayangnya kita juga tidak punya cukup stok optimisme bahwa pemerintah bisa mengatasi keadaan, selama kebijakan soal harga BBM masih berujung pada pencitraan dan mempertahankan popularitas yang sudah redup. Jalan kekuasaan memang sangat terjal dan penuh duri, tapi justru itu harus dilalui. Namun sayang, pemerintah memilih menghindari jalan itu dan memilih bertahan di zona nyaman yang menyimpan bom waktu.

Kasus diatas berkaitan dengan etika komunikasi. Wacana naiknya BBM (bahan bakar minyak) di Indonesia (sebagai negara hukum demokratis) sering mengalami kegagalan karena adanya distorsi komunikasi antara pemerintah dengan masyarakatnya. Cara-cara komunikasi pemerintah yang tiga tahun belakangan ini terjadi disinyalir mengandung muatan politis bagi pihak penguasa, bukan demi kesejahteraan rakyat. Subsudi BBM bukan dilakukan guna mempertimbangkan kepentingan negara, namun demi citra politik. Momentum naiknya harga BBM yang harusnya terjadi antara tahun 2010-2011 lalu justru dilewatkan begitu saja, dan baru sekarang pemerintah menciptakan wacana menaikkan harga BBM lagi.

Kasus ini menjadi menarik karena berkaitan dengan etika komunikasi. Jika pada teori tindakan komunikatif Habermas kita melihat bahwa kesetaraan dan egaliter sebagai prasyarat komunikasi, maka pada level ini pemerintah tidak mampu menciptakan situasi egaliter antara pemerintah dengan masyarakat. Memang kesetaraan menjadi pengandaian ideal karena pluralitas adalah faktisitas. Tetapi dalam bermasyarakat dan bernegara, pengandaian tentang eksistensi kesetaraan harus tetap ada guna mencapai konsensus rasional yang tidak merugikan berbagai pihak. Andaikata suatu keputusan tidak adil secara menyuluruh, setidaknya keputusan tersebut tetap rasional diambil dan dapat dipertanggungjawabkan bersama sebagai konsensus. Keputusan pelik tentang naik-tidaknya BBM, atau tentang penghapusan subsidi bagi rakyat miskin harus melibatkan komunikasi diskursif dengan masyarakat yang bersangkutan. Pemerintah tidak dapat mempertimbangkan satu aspek saja (tentang harga minyak dunia yang melambung tinggi misalnya), tetapi harus mengkomunikasikan persoalan tersebut kepada warga negara melalui diskursus-diskursus di ruang publik. Aspek penting dalam etika komunikasi tentang penyampaian wacana kenaikan BBM setidaknya harus menyertakan latar belakang dan implikasi-implikasi etis jika suatu keputusan sudah diambil.

Jika keputusan pemberian subsidi bukan atas dasar konsensus rasional tetapi hanya atas dasar pencitraan terhadap publik, sementara masyarakat mengafirmasi keputusan tersebut tanpa kembali memperhatikan diskursus tentang latar belakang kenapa BBM harus naik beserta implikasi-implikasi etisnya, maka distorsi komunikasi sedang bekerja. Salah satu pihak tidak menerima fakta maupun informasi yang sebenarnya dengan terbuka. Komunikasi yang terjadi menjadi berat sebelah, menguntungkan satu pihak saja. Komunikasi yangterjadi bukan sebagai komunikasi berperspektif transaksional yang menekankan kegiatan saling memberi. Komunikasi dalam kasus tersebut tidak memandang komunikasi yang melibatkan peserta secara aktif, menekankan konteks, proses dan fungsi. Harusnya komunikasi dipandang situasional dan sebagai proses dinamis yang memenuhi fungsi-fungsi individual dan fungsi-fungsi sosial. Pencapaian komunikasi traksaksional selalu memuat adanya saling pengertian dalam wacana yang ada demi konsensus paling rasional dan kesejahteraan bersama.

DAFTAR PUSTAKA

Budi Hardiman, F., 2009, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius.

_______________, 2010, Etika Politik Habermas, (Makalah), Jakarta: Salihara.

_______________, 2007, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kanisius.

_______________, 2009, Menuju Masyarakat Komunikatif, Yogyakarta: Kanisius.

_______________, 2010, Ruang Publik. Yogyakarta: Kansius.

_______________, 2008, Teori Diskursus dan Demokrasi, (Makalah), STF Driyarkara: Diskursus.com.

Indriati S., M.F., 2007, Ilmu Perundang-undangan, Yogyakarta: Kanisius.

Tim Redaksi Driyakara, peny. 1993, Diskursus Kemasyarakatan dan Kemanusiaan, Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

F. Budi Hardiman, Teori Diskursus dan Demokrasi, (makalah), STF Driyarkara: Diskursus.com, 2008, Hlm. 10.

F. Budi Hardiman, Etika Politik Habermas, (Makalah), Jakarta: Salihara, 2010, Hlm. 5.

Ibid., Hlm. 5.

F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 126.

Ibid., Hlm. 126.

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128.

Reiner Forst, Kontexte der Gerechtigkeit, Frankfrurt a.M., 1994, Hlm. 192.

F. Budi Hardiman, Filsafat Fragmentaris, Yogyakarta: Kansius, 2007, Hlm. 127.

F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif, Yogyakarta: Kanisius, 2009, Hlm. 128.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun