Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puisi Bunga Aprikot

17 Juli 2017   08:55 Diperbarui: 22 Juli 2017   10:33 747
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Farah duduk di belakang. Sambil menggenggam erat tas kresek hitam, tangannya yang kecil memeluk pinggangku. Langit sore yang sedikit mendung bercampur angin, membuatku memacu motor agak cepat. Hujan bisa turun setiap saat.

Aku memarkirkan motor di bawah pohon lamtoro di depan rumah kayu bercat biru kusam. Itu rumah kami. Lengang. Tas kresek hitam berisi sepatu dan kaos olah raga yang kami beli di pasar tadi, aku taruh di kasur kapuk tipis, di atas amben. Secepat kilat Farah membuka tas kresek dan mencoba sepatu barunya. Betapa suka citanya dia.   

Aku sangat menyayanginya, itulah yang selalu kusimpan dalam hati hampir sepanjang tujuh tahun kehadirannya. Meskipun aku jarang pulang, aku tak pernah benar-benar menyia-nyiakan hidupnya. Aku rela bekerja apa saja dan tinggal di kontrakan pengap, karena dia.

Tak kusangka, Rabu minggu lalu, keinginanku menemui pak Darma akhirnya terlaksana. Aku sodorkan kepadanya selembar surat. Ketika suaraku belum lagi keluar, pak Darma sudah mengeluarkan amarahnya. Tarikan alisnya, suara nafasnya, dan gayanya memandang, menunjukkan ia sangat marah dan tidak suka dengan keputusanku mengundurkan diri.

Itulah kemarahan pak Darma terbesar padaku. Kemarahannya semakin menjadi-jadi ketika aku memintanya untuk menandatangani surat pengalaman kerja yang telah aku siapkan sebelumnya. Dengan wajah menahan murka, ia menolak menandatangani dan mengancam akan menahan gaji terakhirku.

Sudah hampir enam tahun aku mengabdi kepadanya dan selalu berusaha membesarkan rasa sabarku. Karena, bukankah banyak orang mengatakan agar kita tak gampang menyerah pada segala kesulitan? Namun, ternyata pengalamanku bekerja sebagai pelaksana di perusahaan kontraktor kecil selama ini benar-benar membuatku hampir mati lemas.  

Walaupun menjadi pelaksana bukan cita-citaku, tetapi aku berusaha menunjukkan dedikasi terbaikku untuk perusahaan. Setiap hari aku berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan pak Darma hari itu juga. Aku tak mau menumpuknya untuk esok hari. Aku sebenarnya ingin pergi meninggalkannya, tetapi aku benar-benar tak punya pilihan. Aku sudah sangat lelah berjalan ke sana kemari menenteng amplop berwarna coklat sebelumnya, sambil mengharap ada perusahaan yang mau menjadikanku sebagai arsitek, sesuai bidang yang kutekuni. Namun sungguh sial, ternyata, tak ada satupun perusahaan yang menerima lamaranku. Mendapati kenyataan itu, saat wawancara terakhir di sebuah ruko di daerah Fatmawati, aku hanya bisa pasrah menerima tawaran pak Darma, menjadi pelaksana sekaligus logistik proyek.

Sungguh! Tak ada bahagia sedikitpun dalam pekerjaanku itu. Aku harus bangun subuh, berangkat kerja sebelum jam 6 pagi, menyusuri jalan kecil dengan pemandangan jemuran baju di halaman depan rumah-rumah mereka, lalu melewati kebun kosong tak terurus, mampir sebentar ke warung mak Ipah untuk sarapan ketan dengan serundeng. Sepuluh menit kemudian, aku sudah duduk di kursi plastik keras kopaja P20. Aku kerap mengutuki diri sendiri, mengapa aku dulu tak pernah menolak diserahi tugas membawa kunci ruangan pimpinan. 

Setiap hari, aku harus datang ke lapangan, mengontrol pekerjaan tukang-tukang dan memberi perintah mandor, mengikuti rapat dan membuat laporan, datang ke toko-toko bangunan lalu meminta diskon, membawa contoh segala macam barang, lalu mensortir puluhan kuitansi setiap hari. Setiap Jumat aku harus rela menerima omelan dari pemilik toko-toko karena tagihannya belum dibayar oleh kasir kantor.

Di depan orang dan petugas sensus, aku kerap berbohong, mengaku bekerja sebagai arsitek perusahaan properti besar dan menerima gaji belasan juta perbulan. Maka, bukanlah salah mereka jika asumsi-asumsi konserfatif yang digunakan berikut hasil-hasil sensus sama sekali tidak mewakili keadaanku yang sebenarnya. Aku tak peduli!

Sekarang, aku merasa aku adalah ayah yang nyaris gagal. Pegawai bagian umum, lulusan perguruan tinggi terkenal dengan nilai bagus, bekerja lebih dari 12 jam sehari, hidup di kontrakan pengap seharga 700 ribu sebulan, dan setiap hari harus duduk di kursi kusam dengan banyak coretan atau jika aku sial, aku harus rela bergantungan di tiang besi karatan dengan tulisan gede di kaca depan "Lebak Bulus-Senin". Secara psikografi, aku bahkan menyebut diriku adalah ayah yang tidak memiliki masa depan. Malah, aku hampir kesulitan mencari definisi dan format masa depanku. Mertuaku pasti sangat cemas dan menghawatirkan nasib putrinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun