Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Catatan Mudik (1): Sang Pejuang

28 Juli 2017   11:53 Diperbarui: 7 Agustus 2017   13:57 564
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Memunguti kisah-kisah yang tercecer di jalanan sepanjang pantura, lalu menyimpannya dalam catatan pribadi, sungguh merupakan pengalaman yang tak akan pernah saya lupa. Belum pernah, sepanjang hampir umur saya yang mendekati 50, melakukan perjalanan hampir sejauh 1900 kilometer pulang pergi Jakarta -- Surabaya mengendarai motor.

Lelah? Ya, itu pasti. Melakukan perjalanan sejauh itu dengan motor sangatlah melelahkan. Apalagi ditambah usia saya yang sudah tidak muda lagi. Namun, rasa lelah saya itu pun terbayar lunas. Saya berhasil menyelesaikan satu tugas kecil: melakukan perjalanan jurnalistik dan berbagi sedikit rejeki dengan cara yang tidak biasa. Sejak sebelum mudik, saya memang sudah membulatkan niat untuk merampungkan pekerjaan itu. Mudik tahun depan, saya hampir pasti tidak akan melakukan perjalanan mudik dengan sepeda motor lagi.     

Minggu malam, 2 Juli 2017, menghadap balkon, saya duduk di kursi di kosan saya di kawasan segitiga emas Setiabudi, Jakarta Selatan. Saya membuka catatan. Ternyata, ada banyak kisah yang berhasil saya rangkum. Saya senang. Bagi saya, pemandangan jalanan di Pantura pada waktu mudik kemarin tak hanya sekedar cerita soal pembangunan infrastruktur atau angka-angka asumsi yang bakal dibuat oleh pemerintah, tetapi juga menyisakan kepingan kisah sedih dan gembira.  

"Rahmat, pak" begitu salah satu pemudik motor mengenalkan namanya. Saat itu, kami sedang bersama-sama melepas penat di emperan sebuah toko yang sudah tutup, di daerah Medono, Pekalongan, Jawa Tengah. Emperan toko yang kami duduki sedikit berdebu.   

"Kami berangkat dari Jakarta jam 9 kemarin malam, Pak. Ini mau pulang ke Ambarawa...." Kaki kanannya menyilang, berpangku di atas kaki kiri. Tangannya mengibas-ngibaskan Koran terbitan Jakarta yang kerap memuat berita kriminal, mengipasi anaknya yang tampak kegerahan.

Menurut cerita pak Rahmat, kisah hidup dia dan keluarganya di Jakarta selama ini, hampir membuatnya mati lemas. Ia sempat terpuruk, menganggur selama hampir 6 bulan lamanya. Ia, menurut pengakuannya, sudah tak ingat lagi berapa kali harus bolak-balik pergi ke tukang foto copy untuk memperbanyak salinan ijasah sarjananya, mengangkat telpon dan datang interview di gedung-gedung gagah menjulang dengan kemeja lengan panjang paling rapi. Ia pun tak ingat lagi sudah berapa kali ia mendengarkan suara merdu perempuan muda di ujung handphone "Mohon ditunggu ya Pak. Nanti kami akan kabari...". Lalu klik! Terdengar gagang telpon ditutup.

Setelah lebih dari 6 bulan, malang tak dapat ditolak, ternyata tidak ada satupun perusahaan yang memerlukan tenaganya. Jika ia mengingat kejadian belasan tahun silam, saat ayahnya mengambil buku raport, ia mengaku nyaris tidak memercayai akan mendapati kenyataan seperti itu. Kesal setelah lama menganggur, ia akhirnya hanya bisa pasrah menekuni pekerjaan sebagai tukang sortir barang-barang ekspedisi, sebelum akhirnya menjadi pengemudi ojek online sepeda motor. 

"Tidak tentu pak. Kadang-kadang, saya hanya mendapat 100-an ribu setiap hari.." katanya, saat saya menanyakan pendapatannya sehari. Dengan hanya 100-an atau 150 ribu setiap hari, saya bisa  membayangkan, pak Rahmat pasti sangat kelelahan menghidupi dirinya dan keluarganya.   

Mau tidak mau, suka tidak suka,  pak Rahmat tidak punya pilihan. Ia pasrah menjadi tukang ojek. Meski berbeda profesi, ceritanya hampir mirip dengan cerita dari belasan orang-orang yang berhasil saya rayu untuk mau bercerita, di sepanjang jalanan Pantura pulang-pergi. Adalah kenyataan, bahwa mendapatkan pekerjaan yang layak bagi lulusan perguruan tinggi, sangatlah sulit untuk orang-orang seperti pak Rahmat yang tidak mempunyai saudara atau teman pengusaha atau bos yang bisa disambati. Saya meyakini, pasti ada ribuan kisah serupa di Jakarta saat ini. Pak Rahmat hanya bisa menyimpan Ijasah sarjananya di lemari kayu kontrakannya di bilangan Cinere. Entah sudah berapa puluh kali kertas itu di foto kopinya.  

Sambil sibuk menawariku kacang, ia kemudian bercerita penuh semangat tentang cita-citanya. "Dulu, ketika masih mahasiswa, banyak yang ngomong saya termasuk mahasiswa idealis. Saya berbicara kepada banyak orang tentang apa saja. Tentang segala hal. Saya kerap meng-kritik teman-teman saya yang tak mau berkompetisi. Mereka-mereka yang bekerja di tempat elit karena bantuan teman atau saudaranya yang sudah sukses, adalah orang yang takut berkompetisi..."

"Saya tidak menyukai hal-hal yang saya anggap menyimpang dari kondisi ideal," saya mengangguk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun