Mohon tunggu...
Taufiq Rahman
Taufiq Rahman Mohon Tunggu... Administrasi - profesional

Menyukai sunyi dan estetika masa lalu | Pecinta Kopi | mantan engineer dan titik titik...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Catatan Mudik (3): PR untuk Pakdhe Jokowi

7 Agustus 2017   11:04 Diperbarui: 9 Agustus 2017   08:47 535
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak sebelum mudik, seperti yang pernah saya tulis di artikel Catatan mudik (1), saya sudah membulatkan niat untuk merampungkan pekerjaan kecil: melakukan perjalanan jurnalistik tahun ini. Di sepanjang jalanan, selain saya bisa memunguti kisah-kisah para pemudik dan mengabadikan di catatan pribadi, saya juga sekaligus melakukan 'riset' kecil, menggali informasi dengan cara saya sendiri. Saya ingin tahu bagaimana pendapat orang-orang perantau tentang isu-isu terkini. Agar tidak kentara dan membuat orang marah, saya harus mengemas pertanyaan-pertanyaan saya terlebih dahulu dan menyampaikannya dengan bahasa yang santun. Saya biasa mendahuluinya dengan bertegur sapa, berbasa-basi dahulu, sebelum kami bertukar cerita. Mereka sangat terbuka, karena merasa sama-sama pemudik motor.  

Maka, berbekal nekat dan mengabaikan saran keluarga yang kuatir tentang keselamatan saya di jalan, saya akhirnya menempuh perjalanan Jakarta -- Surabaya sejauh 1900 kilometer pulang-pergi. Saat melepas penat, di emperan toko-toko yang agak lusuh, di masjid-masjid atau di halaman-halaman SPBU, sambil membagikan sedikit rejeki, saya berhasil merayu puluhan orang untuk berbagi cerita. Di tengah-tengah obrolan itu, saya sisipkan pertanyaan-pertanyaan tentang politik.

"Toko tempat saya bekerja sepi pembeli akhir-akhir ini, mas" kata Bapak agak gemuk itu. Suaranya agak sewot. "Bos mengatakan, ia tidak sanggup lagi menggaji kami."

Ia mengaku, sekarang ia harus beralih profesi menjadi sopir, karena bos pemilik toko tempatnya bekerja selama ini terpaksa harus mengurangi karyawan. "Kata bos saya, permintaan sekarang lesu. Pembelinya sepi," ujarnya. Saya diam. Sejak awal, saya memang berniat tak mau berdebat.  

Kisah dan keluhan Bapak itu, hampir mirip dengan kisah dari belasan orang-orang yang saya tanyai, di sepanjang jalan Pantura Jakarta -- Surabaya pulang pergi itu. Hampir 40 persen orang kecewa dengan pemerintah saat ini. Saya menyayangkan angka 40 persen ini.  

Sejak dahulu, yang selalu ada di otak kepala saya adalah, bahwa salah satu sebab mengapa begitu banyak pikiran-pikiran negatif orang-orang tentang apa yang dilakukan pemerintah saat ini adalah komunikasi. Ini menjadi salah satu pekerjaan rumah Pemerintah. Saya melihat, pemerintah seperti tidak memiliki media kuat yang bisa dijadikan wadah untuk berbagi cerita kepada rakyatnya tentang apa yang sesungguhnya terjadi, dengan bahasa yang mudah dimengerti rakyat. Bukan dengan bahasa ilmiah yang berbelit-belit yang kerap digunakan untuk disertasi mahasiswa program doktor, atau hanya sekedar menyodorkan angka-angka, grafik dan asumsi-asumsi linier yang kerap dibuat oleh petugas sensus.

Contohnya ya, seperti cerita diatas itu. Saya sebenarnya meragukan bahwa daya beli masyarakat saat ini sedang melemah, yang membuat Bapak itu sewot. Bahwa, yang sesungguhnya terjadi adalah, meminjam istilah Rhenald Kasali, sedang terjadi perpindahan atau shifting.

Bagi saya, seharusnya sangat mudah untuk memahami dan mencari jawab mengapa daya beli melemah. Dengan logika gampangan, bagaimana orang membuat kesimpulan fakta keuangan keluarga pak Iwan ini (sekedar contoh). Misalnya, pada 2016, pak Iwan hanya menganggarkan 4 juta setiap bulannya untuk belanja keluarganya. Lalu, pada tahun 2017 ini, pak Iwan menaikkan belanjanya menjadi 5 juta setiap bulannya. Karena sepatu putrinya masih bagus, dan kebetulan anaknya itu sudah duduk di kelas VI, maka sang ayah urung membelikan sepatu baru (yang biasanya rutin ia belikan setiap tahun ajaran baru), dan membelanjakan hampir separo belanja rutin bulannya untuk mendaftar di lembaga pendidikan, untuk persiapan ujian. Nah, bisakah pemilik toko sepatu langganan yang biasanya mendapatkan uang dari pak Iwan rutin setiap tahunnya, mengatakan daya beli sedang melemah? Bukankah, yang terjadi sesungguhnya adalah, uang sedang berpindah dari tukang sepatu ke tukang les/pemilik lembaga pendidikan? Saya malah mengatakan, daya beli sekarang sedang meningkat. Bukankah, pak Iwan membelanjakan uang lebih banyak dari pada tahun kemarin? 

Seorang pemudik lain yang saya temui, meski dengan kalimat yang berbeda juga mengungkapkan kekesalannya. "Dulu, saya membayar listrik tak lebih dari 120 ribu sebulan. Sekarang, saya harus merogoh 200 ribu sebulan."

Saya meyakini, pada saat semua informasi yang ada di dunia bisa dirangkum hanya di benda seukuran 4 inchi, maka informasi-informasi simpang siur bakal mudah dipelintir oleh orang yang tidak suka menjadi informasi liar. Mesin android saya juga kerap diserbu informasi-informasi yang tidak utuh lagi. Orang-orang gampang memotong pernyataan, me-tag dengan kalimat sangat emosional, dan menekan 'send'. Maka, hanya perlu hitungan menit, berita pelintiran itu akan beranak pinak ribuan kali. Pemerintah masih terlalu 'biasa-biasa' saja ketika melihat banyak akun berseliweran menyampaikan informasi dan permasalahan yang sesat. Serangan udara itu begitu dahsyat. Pilihan kata-katanya sanggup membuat siapa saja yang membacanya akan langsung percaya pada cerita dan pesan pembuatnya.

Pemerintah harus menyadari bahwa media yang kuat yang mampu menyampaikan apa yang benar ke masyarakat, harus hadir. Saya kadang-kadang merasa malas membaca tumpukan koran langganan kantor, karena membaca judulnya saja, saya langsung merasa mulas. Bau aroma politiknya sangat tajam.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun