Mohon tunggu...
Taufik Uieks
Taufik Uieks Mohon Tunggu... Dosen - Dosen , penulis buku travelling dan suka jalan-jalan kemana saja,

Hidup adalah sebuah perjalanan..Nikmati saja..

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menari dan Menjadi Kepala Suku Maasai di Kenya

13 Maret 2013   16:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   16:50 1360
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

“Perjalanan ke Maasai Village dimulai pukul 10”, demikian jawab Joice, gadis suku Maasai yang bekerja sebagai resepsionis di Ilkeliani Camp, di Maasai Mara, di pedalaman hutan Afrika Timur perbatasan Kenya dan Tanzania ini.

13631915511093869962
13631915511093869962

Setelah selesai dengan “game drive”, atau safari di pagi hari melihat berjenis-jenis kekayaan fauna Afrika yang eksotis, tepat pukul sepuluh saya sudah siap kembali di tenda tempat Joice bertugas. Seorang pemuda suku Maasai dengan pakaian tradisional yang berwarna-warni tampak sudah menanti.

“Nama saya Joel”, demikian pemuda itu memperkenalkan diri dengan bahasa Inggris yang fasih. Dia menjelaskan bahwa dia akan menjadi pemandu saya menuju ke Maasai Village. Ternyata saya menjadi satu-satunya turis pagi itu dan kami akan berjalan kaki ke perkampungan yang letaknya kira-kira satu kilometer dari camp kami.

13631921081777479666
13631921081777479666

Segera saya dan Joel berjalan perlahan menembus padang savanna yang luas. Di dekat gerbang camp, saya diperlihatkan dengan tiga buah tengkorak hewan yang khas Afrika, yaitu, buffalo atau banteng Afrika, gajah, dan warthog, sejenis babi hutan yang liar.

13631931021504579098
13631931021504579098

Sepanjang perjalanan saya pun diperkenalkan dengan pepohonan khas yang daunnya bisa digunakan untuk bermacam-macam keperluan. Salah satunya adalah daun yang sangat lembut bernama “forrest Donbeya” yang dapat dipergunakan sebagai “toilet paper” oleh suku Maasai. Sebuah pohon lagi batang dan kulit daunnya dapat digunakan untuk membangun rumah tradisional. Sedangkan sebuah pohon yang namanya “Evergreen” , dapat digunakan untuk mengetes kekuatan gigi kita. Sambil berjalan kami mengunyah batang pepohonan tadi dan sekaligus membersihkan gigi.

13631921621274586717
13631921621274586717

Tidak terasa, kami pun tiba di pintu gerbang perkampungan. Dua orang berpakaian tradisonal menyambut kami. Salah satunya adalah ketua kampung. “Sopa”, demikian tegur kedua orang tadi dengan ramah, dan saya pun menjawab juga dengan “ Sopa” yang artinya Hello. Kata ini memang sudah diajarakan Joel kepada saya sebelumnya. Sedangkan dalam bahasa Swahili kata yang sama adalah Jambo.

Ketua kampung mengucapkan selamat datang, dan saya kemudian memperkenalkan diri dan membayar uang sebesar 2000 Shilling sebagai tiket masuk.Menurut ketua kampung yang bernama James ini, uang tadi akan digunakan sebagai sumbangan bagi kesejahteraan penduduk suku Maasai. Sebagai ucapan selamat datang saya diberikan sebuah tongkat kecil yang terus saya pegang selama berkunjung ke kampung ini.

136319219833820774
136319219833820774

Acara pertama adalah tarian khas suku Maasai yang dibawakan oleh sekelompok pemuda. Tarian ini adalah tarian perang yang digunakan untuk menyambut tamu agung. Wah!.Pagi itu Saya menjadi tamu agung rupanya. Tariannya dilaksanakan pemuda-pemuda tadi sambil berbaris rapih dan secara bergantian seorang demi seorang melakukan lompatan yang cukup tinggi. Saya pun diminta untuk ikut serta menari dan bahkan diberi mahkota sebagai kepala kampung.

13631925571250878562
13631925571250878562

Perjalanan dilanjutkan dengan memasuki perkampungan. Kampung suku Maasai berbentuk lingkaran dan dikeililingi pagar dari pepohonan. Ada sekitar dua puluh buah rumah tradisional yang bentuknya serupa dan dindingnya terbuat dari kotoran sapi yang dikeringkan. Di tengahnya terdapat lapangan terbuka yang dipenuhi kotoran sapi dimana anak-anak bermain dengan gembira.

13631925821566381198
13631925821566381198

Kali ini giliran para wanita setengah baya yang membentuk barisan dan juga kemudian menari. Lagunya dinyanyikan saja tanpa diiringi alat musik. Nadanya terdengar gembira dan salah seorang dari mereka bahkan menari sambil menggendong seorang anak kecil . Joel bercerita bahwa isi nyanyian ini berupa sebuah doa supaya turun hujan dan juga semoga mereka dikarunia banyak anak.

13631929341126515150
13631929341126515150

Mereka menari sambil berbaris dan kemudian mendekat ke saya dimana kami pun bertegur sapa sambil menepukan telapak tangan. Saya kemudian sempat sejenak diajak menari bersama mereka dan dua orang turis wanita berkulit putih juga ikut menari bersama.

1363192965343767586
1363192965343767586

Selesai menari, saya diperlihatkan cara suku Massai membuat api. Sebatang ranting diputar dengan landasan sejenis kayu sehingga gesekannya menghasilkan panas yang kemudian dimasukan kedalam ranting yang kering. Setelah beberapa saat ditiup kemudian timbul asap dan akhirnya menjadi api.

1363192838686224997
1363192838686224997

Akhirnya saya pun diundang untuk melihat interior rumah tradisional suku Massai. Rumah yang tampak kecil , kumuh dan hanya memiliki pintu kecil ini memang pengap. Di dalamnya terdapat ruang untuk masak berupa sebuah dapur kecil dan ruang tidur, Bahkan terdapat juga sebuah ruang khusus untuk anak sapi.

Kunjungan saya pun kemudian diakhiri dengan berkunjung ke toko souvenir berupa lapak-lapak terbuka yang menjajakan berbagai kerajinan tangan suku Masaai yang khas. Wanita tua dan anak-anak sibuk berjualan barang dagangannya sambil tersenyum ramah dan menunjukan deretan giginyayang putih.

Sebuah kunjungan sekitar dua jam di perkampungan suku Maasai, yang tidakmudah dilupakan.

Maasai Mara. Perbatasan Kenya dan Tanzania

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun