Mohon tunggu...
Badrut Tamam
Badrut Tamam Mohon Tunggu... Dosen - Nikmati tiap jengkal di mana kakimu berpijak, karena di atasnya ada langit yang harus engkau junjung

Nikmati tiap jengkal di mana kakimu berpijak, karena di atasnya ada langit yang harus engkau junjung

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Full Day School, 'Agama' Hanya Ekstrakurikuler?

11 Agustus 2017   15:13 Diperbarui: 11 Agustus 2017   15:31 711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Akhmad Muadin adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Samarinda

FDS, 'Agama' Hanya Ekstrakurikuler?

 Studi Analisis Pasal Pemendikbud 23/2017

Oleh: Akhmad Muadin 

PERATURAN Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23/2017 Tentang Hari Sekolah masih harus dikaji operasionalnya. Pasal 2 mengatur "Hari Sekolah dilaksanakan 8 jam sehari atau 40 jam seminggu". Ini memicu penolakan sejumlah guru dan siswa bahkan Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menolak Permen dimaksud. Benar saja, jika dianalisa pasal per pasal dapat membebani pengelola sekolah, guru dan siswa. Contohnya Pasal 3, disebutkan "Hari sekolah digunakan guru melaksnakan beban kerja guru".

Redaksi ini jauh dari semangat transformasi pengetahuan, seolah beban kerja guru adalah titik beratnya. Aturan ini mengesankan, Mendikbud Muhadjir Effendy tak rela guru punya luang waktu sedikit santai. Padahal pengetahuan tak diukur lamanya durasi mengajari, melainkan teknik guru mentransformasi. Ini diperkuat pasal 10 ayat (1) "Guru yang belum dapat melaksanakan ketentuan Pasal 2 tetap melaksanakan ketentuan 40 jam seminggu untuk memenuhi beban kerja guru.." ayat (2) "Siswa yang belum dapat melaksanakan ketentuan Pasal 2, tetap melaksanakan ketentuan jam sekolah sesuai beban belajar kurikulum.."

Sepertinya Mendikbud memiliki 'kejar tayang' sampai harus 'memaksa' guru dan siswa. RELIGION 'SECOND' EDUCATION Mendikbud meletakkan pasal krusial karena dapat 'menyinggung' karakter pendidikan keagamaan. Sebab kegiatan keagamaan hanya berkategori ekstrakurikuler, Pasal 5 ayat (7) menyebutkan "Kegiatan ekstrakurikuler keagamaan meliputi madarasah diniyah (Madin), pesantren kilat, katekisasi, retreat, baca tulis Alqur'an dan kitab suci lainnya". Mungkinkah Mendikbud mewujudkan pendidikan karakter, sementara (hanya) menempatkan keagamaan sebagai 'secondline' education saja?

Idealnya, Mendikbud tak tutup mata, bahwa Dirjen Pendidikan Islam (Pendis) Kemenag memiliki 21.521 Pondok Pesantren dan 37.102 Madin. Kolaborasi jam belajar pendidikan formal dan Madin sudah berjalan puluhan tahun dan tak ada masalah. Kini jam sekolah ditambah 8 jam, praktis 'menggerus' jam Madin. Idealnya Mendikbud membuka mata, Madin dan pesantren justru berperan sangat konkrit menguatkan pendidikan karakter. Madin dan pesantren mengajarkan takdhim-ketaatan Kiai, guru dan ustadz, dari cara berujar hingga bertingkah laku, di sekolah apakah mengajarkan itu? Madin dan pesantren mengajarkan skema kemandirian dari bangun tengah malam, qiyamullail,mandi,subuh,ngaji,berangkat sekolah formal, Madin siang, setoran hafalan (sorogan) sore, sholat maghrib berjamaah, ngaji petang, belajar malam, istirahat dan begitu seterusnya.

Gedung FTIK IAIN Samarinda
Gedung FTIK IAIN Samarinda
Apa sekolah punya skema sedetail itu? Madin dan Pesantren mengajarkan karakter kepatuhan, karena tradisi takzir (hukuman) bagi Pelanggar aturan. Apa Mendikbud menyadari itu? Terpenting, Madin dan Pesantren mempunyai guru pengaruh siapa dia, Kiai. Beliau bukan hanya pengajar, melainkan pengasuh. Menguatkan karakter harus melalui pengaruh bukan mengajar. Karakter ditanamkan tak hanya mempelajari tapi mengasuhi. Apa sekolah punya karakter mengasuhi? Karakter sosial bergotong royong (ro'an) juga sudah sejak lama dimiliki Madin dan Pesantren. Tiap sepekan sekali bersama-sama bersihkan halaman,WC,dapur,tempat wudhu,sumur,kamar dan lingkungan.

Mereka tanpa diminta akan secara habbit bergotong-royong. Sementara di sekolah sederet aturan diformalkan tanpa terpatri menjadi habbit (kebiasaan). Lalu soal bakat, keterampilan dan keahlian siswa. Mendikbud harusnya bersyukur, memiliki siswa fasih baca tulis Alquran lengkap dengan metodologi nahwu, shorof dan tafsirnya. Harusnya syukur siswa memiliki kedalaman ilmu hadits, ushul fiqh, tarikh (sejarah) Islam hingga balaghahnya (ilmu bahasa dan sastra).

Harus bangga jika siswa sangat ahli berbahasa Arab dan Inggris, juga harus bangga karena siswa hafal beberapa bahkan 30 juzz Alquran. Pertanyaannya apa sanggup sekolah formal mengajarkan semua itu? karakter macama apa yang Mendikbud kehendaki?

 wallahu a'lamu bishawab.

**Penulis adalah Dosen Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan IAIN Samarinda.

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun