Mohon tunggu...
Tajudin Buano
Tajudin Buano Mohon Tunggu... -

Pojok Kata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andre Thecher, Menjaga Warisan Sejarah Lewat Kreatifitas Seni

18 Desember 2014   16:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   15:03 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

"Jangan Sampai Sagu Kita Juga Diklaim Malaysia"

Menyebut nama Lopa-Lopa dan Timbil atau Kewano, bagi sebagian besar orang Maluku mungkin tak dikenali lagi. Padahal benda-benda inipunya nilai sejarah yang panjang, karena digunakan masyarakat Maluku pada umumnya dalam kehidupan sehari-hari sejak massa lampu sampai saat ini.

Catatan: TAJUDIN BUANO-AMBON

Lopa-Lopa merupakan kotak kecil yang terbuat dari pelepah tangkai daun rumbia yang dapat digunakan untuk menyimpan tembakau atau rokok. Sedangkan Timbil adalah kerangjang yang terbuat dari kulit dahan rumbia (kulit gaba-gaba) yang digunakan sebagai wadah penyimpanan hasil pertanian, seperti pala dan cengkeh. Dan Kewano adalah tas atau kantong dari pelepah sagu sebagai tempat sirih pinang dan bekal bagi suku Noaulu saat berburuh di hutan.

Benda-benda warisan budaya Maluku ini bahkan disebut sejumlah kalangan sudah mulai hilang termakan zaman. Kurangnya upaya pelestarian dari pemerintah ditambah perkembangan tekhnologi, membuat masyarakat Maluku nyaris telah beralih ke alat-alat modern yang relatif mudah di dapatkan untuk keperluan dan kebutuhan hidup sehari-hari.

Dengan ketekunannya, Andre Thecher (59) mencoba merawatnya dalam bentuk keratifitas seni. Bukan hanya Lopa-Lopa dan timbil, produk kreatif kerajinan tangan (handicraft) lainnya yang bernafas sejarah dan budaya Maluku terawat rapih. Aroma kesejarahan dan kebudayaan tidak terbatas pada motif semata, tetapi juga dari bahannya.

Ditangan pria paru bayah ini ratusan produk kerajinan tangan budaya berbahan bambu, pohon sagu, tanah liat (tanah merah) berhasil diciptakan. Di toko aksesorinya di pusat Ole-Oleh, Tantui, Kecamatan Sirimau Jalan Sultan Hassanudin yang berukuran 3 meter persegi, itu terlihat seperti miniatur museum benda bersejarah asli Maluku tertampung.

Produk lokal bernilai sejarah yang berhasil di buat Andre dengan tangan sendiri dan sebagian dikumpulan dari seluruh daerah Maluku diantaranya, Tagalaya, Timbil (, Gerabah, Saloi, Kamboti, Lopa-Lopa, bakul cengkeh, Tifa, Kewano (tas suku Alifuru), Nani Sagu, Lampu dari Sahane (pelepah) Sagu.

Kemudian, Gae-Gae Cengkeh (pengait cengkeh), Garuru Mayang, Bale-Bale (tempat tidur dari bambu), Ayakan Sagu, Guci, kursi bambu, Kolekta dari tempurung kepala, Lampu Kiming dan beberapa produk bernilai sejarah dari bahan lokal lainnya.

“Kalau tidak salah, Gae-Gae cengkeh (pengait cengkih), pernah ikut pameran berskala besar di Kalimantan tahun 1998 dalam rangka BIM Niaga yang merupakan kerjasama antara Indonesia, Brunnei dan Malaysia,”kata Andre.

Proses kreatifitas Andre yang diakuinya berawal dari hobby, itu dimulai sejak 1994. Saat itu pemerintah menghimbau seluruh masyarakat Indonesia mengibarkan bendera Merah Putih setengah tiang sebagai bentuk penghormatan atas meninggal Istri mantan Presiden Soeharto, Ibu Tien Soeharto.

Andre yang lulusan SMAK 4 tahun 1974 Ambon, menebang satu pohon bambu di Desa Galala, Hative kecil untuk tiang bendera. Sisa potongan bambu itulah yang kemudian dimanfaatkan untuk membuat stand kaki tiga sebagai tempat pajangan pot bunga. Stand kaki yang terdiri dari tiga potongan bambu, itu merupakan hasil kerajinan tangan pertamanya.

Produk kedua yang juga mengikuti pameran dalam kategori kawasan Asia adalah dari kayu kelapa. Kayu kelapa tersebut sempat diminta secara langsung oleh salah satu pengusaha Uni Soviet, Ovesta yang saat itu bertemu dengan Andre di Jakarta pada acara Pameran Produk Indonesia (PPI) dan Pameran Produk Ekspor (PPE), 2003.

Di Jakarta, Andre membawa potongan kayu kelapa dan Gaba-Gaba (jagar pohon Sagu) seukuran 50 centi meter sebagai produk pameran. Bahkan, kayu kelapa yang dibawakannya punya kualitas nomor satu di dunia berdasarkan penelitian dari Universitas Pattimura. Untuk mendapatkan kualitas kayu kepala yang baik, pengambilannya harus dari ujuang pohon dengan umur pohon sekitar 60 tahun.

Dengan ketekunan dan kegigihannya menciptakan karya seni berlatar belakang budaya dan sejarah, membuat Andres sering mengikuti pameran. Pada 3 Desember 2014, salah satu produk andalannya, yakni Lampu Kiming Kelapa yang dibawa pada pameran di Batam dalam rangka ulang tahun Kementrian Pekerjaan Umum.

Selain melestarikan nilai-nilai budaya yang terdapat pada setiap produk, pekerjaan ini juga memberikan manfaat ekonomi bagi keluarga. Lampu hias dinding dari Kiming kelapa jual dengan harga berkisar antara 400.000-500.000 rupiah dan lampu hias berbahan bambu senilai Rp180.000. Lampu kiming kelapa dan lampu bambu merupakan produk andalannya.

“Saat itu saya membawa sekitar 10 produk kerajinan. Salah satunya lampu Kiming. Kemudian lampu Bambu, mainan kunci berbentuk tifa dari kayu, mainan kunci berbentuk ikan dari bambu dan saloi berukuran kecil,”sebut pria sederhana yang sudah 20 tahun menekuni profesinya itu.

Untuk pameran ditingkat provinsi Maluku, Andre mengaku sudah puluhan kali mengikutinya. Terakhir pada kegiatan Kongres Kebudayaan Maluku, Pesta Paduan Suara Gerajawai (Pesparawai) Provinsi Maluku dan peringatan Hari Pohon se Dunia di Universitas Pattimura, November 2014.

Kreatifitas membutuhkan inovasi. Komitmen itu yang selalu di junjung Andre dalam merealisasikan ide-idenya. Menyambut dua kegiatan penting di Maluku, khususnya di Kota Ambon tahun depan yakni Mangente Ambon dan Pesparawai tingkat Nasional, Andre mencoba membuat perahu semang dari Gaba-Gaba sebanyak 500.

Selain perahu, sejumlah produk lainnya akan di kerjakan. Misalnya, Garuru Mayang yang di gunakan masyarakat pulau Kisar, Maluku Barat Daya untuk menyaring air Sageru (Sopi) dari buah pohon Aren. Pasalnya, alat yang terbuat dari pelepah pohon sagu ini, sudah jarang di pakai. Di tangan Andres saat inihanya ada satu Garuru Mayang yang sudah berumur .

“Selain itu, kerajinan-kerajinan dari anyaman bambu juga akan saya kerjakan. Kalau untuk perahu Gaba-Gaba saya usahakan sebanyak 500 buah,”ungkap Andre mengaku membatalkan pameran produknya di Houston, Amerika Serikat 1998 bersama pengrajin dari Maluku lainnya akibat krisis moneter di Indonesia yang menyebabkan biaya pesawat membengkak.

Proyek lain yang dibatalkan ekspornya adalah tempat sabun dan aksesoris berbahan bambu putih yang merupakan satu-satunya di dunia. Bambu ini didapatkan di hutan Seram Timur. Kulitnya tidak berwarna hijau atau kuning, batang bambu ini justru terlihat putih menyeluruh. Salah satu perusahaan aksesoris Uni Soviet bahkan pernah mengorder dua produk tersebut. Namun, saat itu di Maluku belum ada tenaga terampil dan alat yang memadai untuk mengerjakan pesanan yang sudah di desain langsung dari perusahaan tersebut dengan jumlah yang banyak.

Senang Berbagi Ilmu

Ilmu adalah amanah. Setelah diperoleh harus disampaikan kepada orang lain. Ini yang sudah dan sering dipraktekan Andre. Semangat untuk mempertahankan benda-benda klasik milik Maluku membuatnya terus membagikan ilmu seninya kepada siapa saja yang membutuhkan.

Sebagai pengrajin, Andre terus mengajak generasi muda untuk menjaga warisan budaya nenek moyang melalui media industri kreatif. Tokonya aksesorisnya yang diberi nama “GAT Handicraft”, itu sudah berulang kali siswa sekolah, Mahasiwa dan LSM serta wisatawan luar negri datang untuk menanyakan proses kreatifnya atau sekadar mendata produk-produk yang sudah kerjakan.

Bahkan, Andre pernah meminta sekaligus mengajarkan masyarakat Dihil, kabupaten Seram Bagian Timur tentang cara membuat ayakan sagu dan keranjang dari bambu. Kemudan dia membeli produk tersebut dan kembali menjualnya di Ambon dengan tujuan melestarikan warisan budaya.

“Pernah saya minta salah satu kepala sekolah di Desa Larike untuk mengirimkan muridnya di tempat usaha saya supaya belajar dan itu gratis. Selama tiga jam tiap hari saya ajarkan.Karena bagi saya hidup itu tidak boleh serakah, termasuk ilmu,”tuturnya.

Namun keinginan untuk mewariskan pengalaman dan ilmunya tidak sejalan dengan hasil yang didapatkan. Dari sekian banyak orang yang pernah diberikan semangat, belum ada yang ingin bangkit.Baik dalam bentuk kelompok usaha maupun individu untuk melakukan pengerjaan serupa.

Ia prihatin dengan banyaknya benda peninggalan zaman dahulu yang sudah tidak lagi lestarikan keberadaannya. Salah satunya gerabah sudah ada sejak dikenalnya tradisi bercocok tanam oleh manusia. Gerabah sendiri merupakan budaya materi yang diciptakan oleh manusia dari bahan tanah liat.

Di Maluku gerabah di gunakan untuk memasak Papeda (sagu), ikan, tempat obat tradisonal. Hanya rumah makan atau restoran tertentu saja yang masih menggunakannya. Bahkan, sampai membakar sagu pun memggunakan oven dan minyak. Tidak lagi dengan cetakan sagu dari tanah liat merah.“Kalau benda-benda dan tradisi tidak di lestarikan, maka jangan sampai Sagu kita juga bisa di klaim oleh Malaysia sebagai pemilik,” tuturnya.

Menurut dia, setidaknya ada tujuh masalah utama yang menjadi kendala pengembangan usaha berbasis ekonomi kreatif di Maluku. Diantaranya, Sumberdaya Manusia atau desainer yang belum terampil akibat minimnya pelatihan. Berikutnya, soal birokrasi, dalam hal ini izin usaha yang masih berbelit, memakan biaya cukup tinggi dan terdapat banyak kepentingan elit.

Kemudian permodalan, promosi dan pemasaran yang belum efektif. Baik oleh pengusaha atau pengrajin maupun instansi pemerintah daerah. Aspek permodalan di Maluku memang rumit. Sebab untuk mendapatkan modal Rp20 juta, justru uang yang di keluarkan untuk urusan tersebut setara modal yang diinginkan.

Kendala lainnya adalah soal gaya hidup masyarakat Maluku yang sudah mulai tergolong ekonomi tinggi. Rata-rata masyarakat lebih memilih pekerjaan dengan upah yang besar, dibandingkan dengan mengembangkan ekonomi kreatif, khususnya industry kerajinan yang keuntungannya tidak terlalu menggiurkan.

Pemerintah memiliki peran sentral dalam pelestarian warisan budaya melalui seni kreatif dengan membantu pengusaha dan pengrajin yang bergerak di sektor ekonomi kreatif di Maluku. Selain mempertahankan eksistensi dan identitas daerah, juga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat. (**)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun