Mohon tunggu...
taher heringuhir
taher heringuhir Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Karyawan di TV bursa efek Indonesia, IDX Channel. www.tahersaleh.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Apa Saja Buku-buku Pilihan Prof Sumitro Djojohadikusumo?

19 Juni 2017   15:25 Diperbarui: 23 Juni 2017   00:14 4694
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof Sumitro, source: profilbos.com

"Saya adalah korban dari apa yang pernah disebut Clifford Geertz dalam makalah pendeknya sebagai sindrom terlalu sibuk, sebab sibuk mengangkat status sosial." Begitu seorang Sumitro Djojohadikusumo memulai tulisannya soal betapa di tengah kesibukan yang begitu padat, ia masih bisa meluangkan waktu bercerita tentang pemikiran ekonominya. "Sebetulnya saya tak terlalu setuju dengan Geertz, tapi dalam hal ini dia benar," katanya.

Profesor Sumitro Djojohadikusumo, lahir di Kebumen, 29 Mei 1917. Semua ekonom Indonesia, apalagi alumnus Universitas Indonesia, tentu mengenal Profesor Sumitro, salah seorang arsitek utama kebijakan ekonomi Indonesia pasca-kemerdekaan. Tapi ekonom-ekonom muda ada juga yang belum sempat mendapat asupan ilmu dari Profesor Sumitro yang meninggal pada 9 Maret 2001 di usia 83 tahun ini.

Banyak muridnya berhasil menjadi menteri pada era Presiden Soeharto, sebut saja JB Sumarlin, Ali Wardhana, dan Widjojo Nitisastro. Sumitro ialah ayah dari mantan Danjen Kopassus dan pendiri Partai Gerindra, Prabowo Subianto; ayah mertua dari mantan Gubernur Bank Indonesia Soedradjad Djiwandono; dan besan dari Soeharto.

Buku dan Buah Pemikiran
Dalam tulisannya untuk Profesor Thee Kian Wee, demi keperluan buku Pelaku Berkisah Ekonomi Indonesia 1950-an sampai 1990-an, terbitan Kompas, Desember 2005, Prof. Sumitro bercerita sangat apik bagaimana proses tahapan berpikirnya bermula, apa saja asupan buku yang dia baca sehingga mampu menopang landasan pemikiran ekonominya.

Ketika Soekarno masuk penjara untuk kedua kalinya tahun 1935, lalu dibuang ke Flores, dan diasingkan ke Bengkulu, Sumitro muda baru lulus Hogere Burgerschool (HBS) atau Sekolah Menengah Atas Belanda. Ayah Sumitro seorang pegawai negeri golongan menengah atas, jadi Sumitro punya kesempatan belajar di sekolah Belanda. Tidak semua pribumi beruntung seperti dia. Ayahnya, Raden Mas Margono Djojohadikusumo, dikenal sebagai pendiri Bank Negara Indonesia tahun 1946.

Setelah lulus HBS, Sumitro masuk perguruan tinggi. Di zaman itu, belum ada namanya beasiswa seperti sekarang, hanya ada dana belajar. Tapi dana belajar itu bisa didapat dengan catatan siswa tersebut harus masuk tentara atau menjadi "Indolog" di Leiden. "Saya sama sekali tak ingin melakukan itu, sebab berarti saya nanti bekerja untuk Belanda," ceritanya.

Itu sebabnya, sang ayah, dengan pengorbanan yang besar, mengirim Sumitro ke Rotterdam, Belanda, untuk belajar di Sekolah Ilmu Ekonomi. Tahun 1935, itu berati umurnya baru 18 tahun, sebelia itu sudah menempuh ilmu ekonomi di Belanda. Benar-benar inspiratif.

Awalnya Sumitro tidak tertarik pada ekonomi. Dia justru lebih suka filsafat dan sastra. "Sekiranya saya tahu ada (jurusan) Ilmu Politik, Filsafat, dan Ilmu Ekonomi di Oxford University, saya kira saya akan mencoba mempelajarinya," katanya.

Kenapa Sumitro suka sastra dan filsafat?

Salah seorang penulis yang berpengaruh menggiring minatnya ke ranah sastra ialah Andre Malraux, penulis Perancis yang pernah menjadi Menteri Kebudayaan Prancis tahun 1958. Dua karya yang menjadi favorit Sumitro adalah roman berjudul Les Conquerants yang mengambil latar di Timur jauh tahun 1928 dan roman La Condition Humaine (terbitan tahun 1933) yang hampir merupakan karya klasik dan berlatar belakang Perang Saudara Spanyol. Malraux sebenarnya beraliran sosialis dan komunis, jadi sejak belia Sumitro sudah menjejal dirinya dengan roman klasik beraliran sosialis dan komunis.

Ketika usia belasan ini, Sumitro sudah melahap buku autobiografi Jawaharlal Nehru, Perdana Menteri pertama India, yang ditulis tahun 1936 ketika Nehru di penjara. "Semua karya itu menimbulkan kesan mendalam pada diri saya. Saya mencoba merenungkan, kenapa rakyat saya tertindas, dan apa yang dapat dilakukan untuk itu."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun