Mohon tunggu...
Syir Aja
Syir Aja Mohon Tunggu... Relawan - Pengembara di muka bumi untuk mencari ridhaNya

senang tertawa dan ditertawakan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Celaka! Rakyat Kecelakaan, Tidak Satu pun dari Empat Mobil Ambulans di DPR/MPR Republik Indonesia boleh Dipinjam

3 Oktober 2014   22:57 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:29 479
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Hari ini saya akan berangkat menuju wilayah Benhil dengan Koantas Bima 102 dan turun di halte Gedung MPR/DPR RI, hanya beberapa detik setelah mengatakan terima kasih kepada Pak Supir yang tidak saya sangka merespon dengan sopan, saya terkejut mendengar suara hentakan bagai petir di sekitar pukul 12.00, Jumat 3 Oktober 2014 ini.

Spontan saya dan beberapa pedagang dan pejalan kaki yang berada di sekitar sana mencari sumber suara. Rupanya motor itu menabrak Koantas Bima yang baru saya turuni, Koantas Bima berusaha maju dan berhenti di pintu Gedung MPR/DPR Republik Indonesia.

Saya bingung karena pengendara tersebut telah bercucuran darah dari kepalanya yang terbungkus helm, daging kaki copot dan tulang kakinya terlihat. Sungguh saya tidak tahan melihat darah yang mengalir di aspal itu dan melihat sekeliling pun begitu, kami bingung untuk melakukan apa saat itu. Mereka membantu berdiri disekitar lokasi agar aman dari kendaraan lain, beberapa berusaha menaruh barang-barang pengendara tersebut di halte. Saya mencari telepon genggam dan SIM Card korban. Sayangnya handphone pengendara itu telah hancur, begitu pula baterainya. Serta tidak ada yang menggunakan telepon genggam CDMA.

Sampai Polisi bernama Pak Robert datang sambil berlari sambil berbicara menggunakan alat komunikasi polisi (handytalky atau semacamnya) saya sampaikan dengan cepat dan pengendara tersebut yang membeku digotong oleh orang-orang ke halte. Sambil berusaha mencari orang yang memiliki telepon genggam esia tadi untuk memberi tahukan kepada keluarga korban.

Orang-orang semakin ramai, bahkan polisi yang berada di balik pagar gedung MPR/DPR RI itu juga menyaksikan dan bertanya pada orang-orang dipinggir jalan. Sambil berusaha menghubungi teman di kantor untuk izin. Saya menghampiri korban dan berusaha membantunya dengan yang kami mampu, mengucapkan syahadat berkali-kali. Ada pula seorang perempuan dewasa yang membantu menyampaikan pada pengendara itu untuk “nyebut” dan menggunakan kamera digital untuk memotret nomor plat motor dan korban.

Tidak tahan karena polisi di dalam hanya melihat, orang-orang meneriaki kepada mereka untuk membantu dan keluar. Saya pun menyanyakan apakah ada yang memiliki nomor esia untuk membaca data pada SIM Pengendara tersebut. Beberapa polisi yang berlari dari belakang tembok gedung dan seorang security kemudian datang.

Dan polisi yang belakangan saya ketahui bernama Pak Robert dari safety vest yang ia gunakan itu berlari dan memutuskan untuk menghentikan taxi. Ia mengatakan mobil di dalam tidak bisa dipinjam padahal ia telah mengatakan untuk kemanusiaan karena ada kecelakaan.

Merasa bertanggungjawab karena hanya saya penumpang yang turun, saya ikut bersama beliau yang membuka jalan untuk taxi Gamya yang bersedia mengangkut pengendara ditemani dua orang polisi. Sebelum berangkat Pak Robert yang telah mengamankan surat-surat pengendara Koantas Bima mengatakan kepada pengendara Koantas Bima untuk menurunkan penumpang. Pengendara tersebut mengatakan penumpang akan “dioper” dan menanyakan kepada Polisi akan status saya, Pak Polisi menjawab kepada bahwa saya akan menjadi saksi, kemudian kami berangkat menuju Rumah Sakit.

Di dalam mobil polisi saya bertanya, “Kalau begini biayanya dari mana Pak?”. Bapak Robert hanya diam dan bercerita dengan geram masih bercucuran keringat sambil mengendarai mobil bahwa ia sedang sendirian berjaga dan berlari ke dalam meminta agar Ambulans MPR/DPR dapat dipinjamkan untuk membawa pengendara tersebut kepada seorang Ibu yang bertugas, ia minta izin dengan berseragam lengkap kepolisian namun ia menyayangkan karena ia tidak mendapatkan izin tersebut, padahal ada empat unit mobil ambulans yang siaga di dalam gedung MPR/DPR itu. Bahkan petugas di DPR tersebut memarahi security yang ingin membantu.

Saya menanyakan kembali akan di bawa ke rumah sakit mana, ia menjawab ke RS AL. Mintohardjo. Ia menyampaikan kepada saya bahwa dalam kesaksian dan sidang, saya tidak perlu menambahkan dan mengurangi bagaimana kejadiannya dan menjelaskan apa adanya. Ia juga prihatin karena tidak mudah bagi supir taxi membersihkan darah dari korban kecelakaan itu. Ia juga meminta izin pada komandan karena ia meninggalkan lokasi tugas dan telah meminta polisi lain untuk membackup dan menjelaskan kondisi kecelakaannya, serta berkoordinasi akan penyelesaiannya. Berulang kali saya mendengar kata”dagingnya ke mana-mana” dan “mau mati” karena memang itu yang kami lihat.

Sampai di rumah sakit, Pak Robert mengatakan kepada saya agar ia yang membayar taxi, baru saat itu saya berani mengambil gambar. Dua orang polisi yang belakangan saya ketahui bernama Sandro Siagian dan Saut Silalahi dibantu dengan petugas rumah sakit membawa pengendara itu ke dalam UGD, dilantai itu darah bercucuran dan Pak Robert membayar pengendara taxi dan meminta maaf karena itu dana pribadi. Saya bersyukur karena supir taxi tersebut bersedia membantu, Pak Robert kemudian meminta suster untuk mengambil identitas dan meminta izin untuk memeriksa identitas pengendara itu untuk serah terima.

Pihak Rumah Sakit pun meminta agar proses serah terima diperjelas dan menanyakan kepada polisi bagaimana posisi saya dan polisi jelaskan sebagai saksi. Saya menyaksikan serah terima tersebut dan mengambil gambar apa saja yang ada dalam dompet pengendara motor tersebut dan pihak Rumah Sakit minta didampingi untuk serah terima agar semua transparan. Namun, atas pertimbangan etika saya tidak berani mengambil gambar pengendara motor tersebut.

Kami kembali ke depan gedung MPR/DPR dan sudah ada mobil derek di sana. Saya pun bertanya di dalam mobil polisi bersama tiga orang polisi tersebut, siapa dan bagaimanakah kemungkinan saat biasanya mobil ambulans dapat dipakai oleh DPR/MPR? Apakah karena ada yang pingsan, terlalu lelah rapat, atau kerena “bertarung” di dalam? Para polisi juga menyayangkan hal itu dan tidak menjawab pertanyaan saya.

Kami kembali menuju TKP. Ada beberapa polisi lain di sana bersama pengendara Koantas Bima dan salah seorang polisi menanyakan kepada saya bagaimana peristiwanya dan meminta KTP serta kontak yang dapat mereka hubungi. Sambil berkoordinasi menuju TKP. Pengendara Koantas Bima menghampiri saya dan menanyakan nomor handphone saya. Saya menanyakan kembali kontak dan nama beliau. Di TKP polisi pun mengumpulkan data dan pedagang serta tukang tambal ban di sana pun mencoba untuk berkomunikasi dengan saya akan peristwa yang juga mereka saksikan tadi.

Saya kecewa, terlepas dari siapa yang benar, siapa yang salah. Saat nyawa seseorang berada di ujung tanduk, di mana hati petugas yang tidak meminjamkan mobil ambulans tersebut?

Apakah demikian protocol/aturan/regulasi yang ada?

Mengapa satu pun tidak boleh ada ambulan yang dipinjam?

Apakah fasilitas dalam ambulansnya berbeda?

Bagaimana jika kecelakaan itu menimpa kalian?

Siapa yang kalian harap akan menolong?

Sungguh Yang Terhormat Bapak/Ibu/Saudara/I Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia bersama para staf dan jajarannya, saya tidak tahu ini kebetulan atau kebiasaan. Tapi saya sebagai rakyat biasa sungguh merasa kecewa dengan hilangnya rasa peduli, empati dan adanya rasa takut untuk meminjamkan ambulans yang sedang tidak dipakai dan siaga tersebut.

Semoga kalian yang tidak mengizinkan tidak mengalami keecelakaan seperti ini, dan semoga para abdi Negara meniru langkah “nekad” untuk kemanusiaan yang dilakukan oleh para polisi tersebut, meniru tindakan orang-orang yang mau membantu menggotong pengendara motor yang celaka tersebut, meniru supir Taxi yang mau membantu tersebut dan tidak meniru rasa takut dari petugas di gedung MPR/DPR yang semoga saja, hati nya tidak tertutup.

Dibuat dengan sadar, tanpa paksaan dari paksaan dari pihak manapun.

Salam kecewa saya,

Syir

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun