Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Kualitas Pendidikan; Guru atau Kurikulum?

2 Mei 2013   00:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   14:16 1793
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13674586711347148793

[caption id="attachment_258472" align="aligncenter" width="432" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Makin banyak orang pintar di negeri ini, pendidikan makin dikebiri oleh banyak kepentingan. Makin maju bangsa ini, pendidikan makin jadi polemik. Itulah potret pendidikan di Indonesia. Kurikulum 2013, sebagian kalangan minta dibatalkan Ujian Nasional (UN) yang penuh karut-marut menuai kritik keras. Belum lagi soal komersialisasi pendidikan berlabel "standar nasional-internasional" yang tak kunjung tuntas. Mau ke mana arah kualitas pendidikan kita?

Kurikulum 2013, sudah menjadi ketetapan pemerintah akan dilaksanakan pada Juli 2013 mendatang. Konon, Kurikulum 2013 ini memiliki inti pada pembelajaran yang sederhana dan didasari orientasi pembelajaran yang "tematik-integratif". Harapannya, mampu mencetak generasi yang siap dalam menghadapi tantangan masa depan. Siswa dituntut agar mampu dalam melakukan observasi, bertanya, bernalar, dan mengkomunikasikan apa yang dipelajari. Targetnya, siswa memiliki kompetensi sikap, keterampilan, dan pengetahuan yang lebih baik. Lebih kreatif, inovatif, dan produktif. Anggaran sebesar Rp. 2,5 Triliun pun siap digelontorkan untuk penerapan Kurikulum 2013 ini. Di atas kertas, tujuan Kurikulum 2013 sangat ideal, tidak perlu dibantah.

Lalu, mengapa beberapa organisasi guru yang menolak Kurikulum 2013. Ya, karena Kurikulum 2013 dinilai membingungkan guru saat implementasi dalam kegiatan belajar di kelas. Diduga, Kurikulum 2013 menjadikan guru tidak kreatif, tidak inovatif, sangat bergantung pada kurikulum. Sinyalemen banyaknya mata pelajaran yang dihapus juga dapat mengakibatkan ratusan ribu guru kehilangan pekerjaan. Mematikan kompetensi yang dimiliki guru. Dan yang paling penting, guru sebagai ujung tombak pembelajaran di kelas tidak dilibatkan dalam penyusunan Kurikulum 2013. Kok, bisa guru tidak dilibatkan?

Kurikulum 2013 mengundang pro dan kontra. Bongkar pasang kurikulum pendidikan di Indonesia adalah tradisi. Mulai dari CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif), KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi), Kurikulum 2006, Kurikulum 2008, KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) hingga Kurikulum 2013 yang akan diterapkan. Namun, kita tidak boleh kehilangan akal sehat untuk tetap berpegang pada pendidikan sebagai proses untuk membentuk jati diri manusia yang seutuhnya. Manusia yang memiliki sifat, sikap, dan perilaku yang membebaskan dirinya dari ketaidaktahuan. Jadi, dari mana kualitas pendidikan harus dimulai, dari gurunya atau kurikulumnya?

Fakta pendidikan hari ini adalah cara belajar siswa semakin merosot tajam. Kreativitas siswa terbelenggu. Sebagian besar siswa sekarang ini tidak cinta belajar. Kurikulum semestinya mampu mengajak siswa agar bersemangat dalam belajar. Guru yang baik adalah guru yang mampu menciptakan suasana belajar yang bergairah. Hari ini, kita membutuhkan kurikulum dan guru yang mampu menjadikan "belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan".

Belajar bukan untuk mendapat nilai yang bagus. Belajar tidak hanya untuk mempersiapkan ujian. Karena itu, pendidikan yang mengedepankan "kompetisi" dalam belajar harus dibuang jauh-jauh. Orang tua tidak perlu memasukkan anaknya ke bimbingan belajar hanya untuk menggapai rangking di kelas. Atau hanya untuk mempersiapkan Ujian Nasional. Fenomena inilah yang menjadikan siswa takut dalam belajar. Siswa sering mengalami stres dan tekanan mental dalam belajar. Konsekunsinya, siswa makin tidak senang belajar.

Dalam konteks ini, kurikulum jenis apa pun seharusnya menjadi perangkat yang mampu membuat belajar sebagai kegiatan yang menyenangkan siswa. Oleh karena itu, senang atau tidaknya siswa dalam belajar sangat bergantung pada guru. Kurikulum sebaik apapun tidak akan berhasil tanpa dukungan guru yang kompeten, guru yang kretaif dan mampu menggairahkan suasana belajar. Ruang guru untuk berkreasi dalam kegiatan belajar di dalam kelas harus dihidupkan. Guru adalah basis pendidikan, guru yang menjadi "aktor utama" kualitas belajar. Kurikulum berubah-ubah terus tidak masalah asalkan guru tetap kreatif dalam mengajar. Dalam belajar, hitam putihnya siswa adalah hak guru.

Kualitas Guru

Belajar bukanlah proses untuk menjadikan siswa sebagai "ahli" pada mata pelajaran tertentu. Siswa lebih membutuhkan 'pengalaman" dalam belajar, bukan "pengetahuan". Karena itu, kompetensi guru menjadi syarat utama tercapainya kualitas belajar yang baik. Guru yang kompeten akan "meniadakan" problematika belajar akibat kurikulum. Kompotensi guru harus berpijak pada kemampuan guru dalam mengajarkan materi pelajaran secara menarik, inovatif, dan kreatif yang mampu membangkitkan kegairahan siswa dalam belajar.

Guru yang kompeten adalah guru yang dapat mengubah kurikulum pembelajaran menjadi unit pelajaran yang mampu menembus ruang-ruang kelas. Kelas sebagai ruang sentral interaksi guru dan siswa harus dibuat bergairah. Kurikulum tidak semestinya mengungkung kreativitas guru dalam mengajar. Kurikulum, yang katanya sudah memadai harus benar-benar dapat diwujudkan dalam praktik kegiatan belajar-mengajar yang optimal, tidak hanya menjadi simbol dalam memenuhi target pembelajaran.

Kesan pembelajaran di sekolah saat ini hanya mengarah pada penguasaan materi pelajaran harus dapat diubah menjadi kompetensi siswa. Guru sebaiknya menjadi sosok yang tidak dominan di dalam kelas. Cara mengajar guru yang sekadar duduk di depan kelas atau bertumpu pada ceramah menjadi bukti kurangnya kompetensi guru. Penciptaan suasana belajar yang dinamis, produktif, dan profesional harus menjadi spirit bagi para guru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun