Mohon tunggu...
Syarif Yunus
Syarif Yunus Mohon Tunggu... Konsultan - Dosen - Penulis - Pegiat Literasi - Konsultan

Dosen Universitas Indraprasta PGRI (Unindra) - Direktur Eksekutif Asosiasi DPLK - Edukator Dana Pensiun - Pendiri TBM Lentera Pustaka Bogor - Kandidat Dr. Manajemen Pendidikan Pascasarjana Unpak - Ketua IKA BINDO FBS Univ. Negeri Jakarta (2009 s.d sekarang)), Pengurus IKA UNJ (2017-sekarang). Penulis dan Editor dari 47 buku dan buku JURNALISTIK TERAPAN, Kompetensi Menulis Kreatif, Antologi Cerpen Surti Bukan Perempuan Metropolis. Penasihat Forum TBM Kab. Bogor, Education Specialist GEMA DIDAKTIKA. Salam DAHSYAT nan ciamikk !!

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kamu Dibayangi Masa Lalu & Gak Bisa Move On; Rupiah Jadi Anjlok

23 Agustus 2015   12:33 Diperbarui: 23 Agustus 2015   12:52 435
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Jangan jatuhkan gelas yang telah retak, tapi simpanlah dan cari perekatnya.

Kalimat itu saya tujukan dalam menyikapi “Rupiah yang anjlok” atau “penggusuran warga Kampung Pulo” yang rame akhir-akhir ini. Ikut prihatin. Tapi juga realitas yang bisa diterima akal sehat siapapun. Retak, karena di situ ada ruang buat kita untuk menyalahkan pemimpin atau pejabat, mengapa bisa terjadi?

Kalo mau jujur, semua tindakan pasti ada konsekuensinya. Jangankan pemimpin atau pejabat, setiap manusia seperti kita juga punya konsekuensi atas apa yang kita pilih, atas apa yang kita jalani hari ini?

Tentu, kita tidak sedang ingin mencari kesalahan orang per orang. Tentu, kita juga tidak sedang ingin memperkeruh keadaan. Menghujat, berkomentar negatif padahal kita tidak tahu banyak. Atau apapun namanya, yang bisa membuat “keadaan” makin jelek.

Saya percaya, setiap orang pasti punya niat baik, iktikad baik. Lalu, bertindak dan mengerjakan niat baik itu. Saya juga percaya, tiap kurang atau salahnya orang harus bisa “ditambal” oleh orang lain. Karena tiap kita tidak ada yang sempurna. Masalahnya, agak susah mencari orang yang mau “menambal” salahnya orang lain. Atau sulit mencari “perekat” dari retak sebuah gelas.

Lalu, untuk apa kita mencari “ruang salah” dari anjloknya Rupiah. Untuk apa kita berkomentar jelek tentang penggusuran warga Kampung Pulo?

Kalo kita bertugas mencari kesalahan orang lain, lalu siapa yang paling bener?
Tentu kita akan jawab, pikiran kita yang bener. Komentar kita yang bener. Pokoknya, semua yang bener dari kita, yang salah dari orang lain. Alhamdulillah kalo begitu. Mari kita doakan saja. Agar yang punya pikiran, yang komentar merasa bener bisa masuk surga. Insya Allah.

Kalo boleh jujur nih, apa sih yang jadi persoalan?
Bagi saya, soal utamanya karena kita takut atas bayangan masa lalu. Di masa lalu, anjloknya Rupiah bisa “membangkrutkan” ekonomi siapapun. Di masa lalu, penggusuran selalu berakhir duka. Takut karena masa lalu. Bayangan masa lalu telah bikin kita kecewa.

Sungguh, berpegang pada masa lalu menjadikan kita sulit berbuat. Masa lalu bikin kita terbatas. Dan masa lalu, semua yang udah terjadi, gak bakal abis-abis kalo dibahas. Gak bisa ngapa-ngapain.

Ngomongin masa lalu, pasti ada sedih ada senang. Masa lalu yang sedih, bikin siapapun pemiliknya jadi trauma, takut. Masa lalu yang senang, terlalu mudah juga dilupakan. Orang akan lebih mengingat masa lalu yang pahit ketimbang masa lalu yang menyenangkan. Itu wajar kok, manusiawi banget.

Cuma, itu bukan berarti kita boleh menghidupkan masa lalu. Bukan berarti kita harus dibayangi masa lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun