Mohon tunggu...
Syams Hady
Syams Hady Mohon Tunggu... -

easy going, simple n sociable

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Teori Al-Kindi DalamMempertemukan Filsafat dan Agama

26 Desember 2011   04:01 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:45 1663
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Perkataan filsafat pada asalnya mempunyai arti yang sederhana, sekedar pembedaan antara sifat manusia dengan sifat yang dimiliki
oleh Tuhan berkenaan dengan kepandainnya. Manusia tidak dapat bersifat bijaksana, dia boleh menjadi penggemar kebijaksanaan, sedangkan Tuhan sajalah yang bersifat bijaksana. Akan tetapi lama-kelamaan perkataan itu digunakan untuk menunjukkan kepada satu aktifitas manusia yang berkenaan dengan pemahaman terhadap dunia secara kesuluruhan.
Filsafat merupakan pengetahuan tentang sesuatu yang non empirik dan non eksprimental, diperoleh manusia melalui usaha dengan pikirannya yang mendalam. Mengenai objek materialnya tidak berbeda dengan ilmu pengetahuan, yakni mengenai apa saja. Adapun yang berbeda adalah mengenai objek formalnya. Objek formal filsafat mengenai sesuatu yang menyangkup sifat dasar, arti, nilai, dan hakikat dari sesuatu. Jadi bukan sesuatu yang dapat dijangkau dengan indera dan percobaan. Menjangkaunya hanya mungkin dengan pemikiran filosofis yaitu pemikiran yang mendalam, logis dan rasional.
Sedangkan agama adalah kebenaran yang bersumber dari wahyu Tuhan mengenai berbagai hal kehidupan manusia dan lingkungannya. Jadi kebenaran agama bukan hasil usaha manusia. Manusia tinggal menerima begitu saja sebagai paket dari Tuhan.
Filsafat berdasarkan otoritas akal murni secara bebas dalam penyelidikan terhadap kenyataan
dan pengalaman terutama dikaitkan dengan kehidupan manusia. Sedangkan agama mendasarkan pada otoritas wahyu.
Menurut Prof. Nasrun SH., mengemukakan bahwa filsafat yang sejati haruslah berdasarkan kepada agama. Malah filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama. Apabila filsafat tidak berdasarkan kepada agama dan filsafat hanya semata-mata berdasarkan akal pikiran saja maka filsafat tersebut tidak akan memuat kebenaran objektif, karena yang memberikan pandangan dan putusan adalah akal pikiran. Sedangkan kesanggupan akal pikiran itu terbatas, sehingga filsafat yang berdasarkan pada akal pikiran semata tidak akan sanggup memberi keputusan bagi manusia, terutama dalam tingkat pemahamannya terhadap yang ghaib. Antara Filsafat dan Agama
Melalui uraian di atas, kita bisa mengidentifikasi bahwa pada mulanya terdapat perbedaan antara filsafat dan agama terutama dalam hal eksistensi keduanya, yakni filsafat berusaha menemukan kebenaran dengan berdasarkan akal manusia sedangkan agama adalah suatu kebenaran yang berdasarkan wahyu dari Tuhan.
Drs. H. Abu Ahmadi, dalam bukunya ”Filsafat Islam” menguraikan tentang perbedaan-perbedaan antara filsafat dan agama: 1. Filsafat berarti memikir, jadi yang penting yaitu ia dapat berpikir, sedangkan agama berarti mengabdikan diri, jadi yang penting yaitu hidup secara beragama sesuai dengan aturan- aturan agama itu.
2. Menurut William Temple, filsafat
adalah menuntut pengetahuan untuk memaham, sedangkan agama menuntut pengetahuan untuk beribadat yang terutama hubungan manusia dengan Tuhan.
3. C.S. Lewis membedakan enjoyment dan contemplation, misalnya laki-laki mencintai perempuan. Rasa cinta disebut enjoyment, sedangkan memikirkan rasa cintanya disebut
contemplation, yaitu memikirkan pikiran si pecinta tentang rasa cintanya itu. Sedangkan agama dapat dikiaskan dengan enjoyment atau rasa cinta seseorang, rasa pengabdian (dedication) atau contentment.
4. Filsafat banyak berhubungan dengan pikiran yang dingin dan tenang, sedangkan agama banyak berhubungan dengan hati.
5. Filsafat dapat diumpamakan seperti air telaga yang tenang dan jernih dan dapat dilihat dasarnya. Sedangkan agama dapat diumpamakan sebagai air sungai yang terjun dari bendungan dengan gemuruhnya.
6. Seorang ahli filsafat jika berhadapan dengan penganut aliran atau paham lain biasanya bersikap lunak. Sedangkan agama, bagi pemeluk-pemeluknya akan mempertahankan agamanya dengan habis-habisan, sebab mereka telah terikat dan mengabdikan diri.
7. Filsafat, walaupun bersifat tenang dalam pekerjaanya, tetapi sering mengeruhkan pikiran pemeluknya. Sedangkan agama, disamping memenuhi pemeluknya dengan semangat dan perasaan pengabdian diri, tetapi juga mempunyai efek menenangkan jiwa pemeluknya.
8. Ahli filsafat ingin mencari kelemahan dalam tiap-tiap pendirian dan argumen walaupun argumennya sendiri. Sedangkan dalam agama, filsafat sangatlah penting peranannya dalam mempelajari agama.
Demikianlah antara lain perbedaan-perbedaan antara filsafat dan agama. Perbedaan- perbedaan tersebut bukan hanya berdasarkan atas kandungan dan objek filsafat dan
agama saja, akan tetapi juga membedakan antara karakter- karakter para filosof dan para agamawan. Perbedaan karakter antara keduanya tentunya dikarenakan efek dari bidang masing-masing yang mereka tekuni, sehingga kita bisa mengklasifikasi karakter mereka ke dalam tiga bagian yaitu:
1. Memegang teguh terhadap agama dan menolak filsafat.
Ini adalah pendirian orang agama yang tidak berfilsafat.
2. Memegangi filsafat dan menolak agama.
Ini adalah pendirian orang yang berfilsafat dengan tidak mengindahkan kandungan- kandungan agama.
3. Mengusahakan pemaduan antara filsafat dan dengan agama menurut cara tertentu.
Inilah cara yang ditempuh oleh seorang filosof yang beriman atau seorang filosof yang seharusnya memperhatikan kandungan-kandungan agama.
Dalam perbedaan-perbedaan antara keduanya, setidaknya ada kesamaan-kesamaan, seperti
yang dikatakan Prof. Nasrun SH. Bahwa ”Filsafat yang sejati itu terkandung dalam agama.” Untuk menggali kesamaan-kesamaan antara filsafat dan agama, penulis akan mencoba untuk menguraikan analisa al-Kindi dalam rangka untuk menemukan titik temu antara keduanya. Biografi al-Kindi
(Kufah, 185 H/801 M – Baghdad, 256 H/869 M)
Beliau adalah seorang filosof besar pertama Arab dan Islam. Nama lengkapnya adalah Abu Yusuf Ya’qub bin Ishak bin Sabah bin Imran bin Ismail bin Muhammad bin al-Asy’ats bin Qais al-Kindi. Ia berasal dari suku Kindah dari negeri Yaman. Ayahnya bernama Ishak bin Sabah yang pada waktu pemerintahan al-Mahdi dan Harun al-Rasyid pernah menjabat sebagai gubernur Kufah.
Al-Kindi tinggal di kota Kufah, Iraq, pada waktu itu tampil sebagai pusat kebudayaan Islam. Di kota ini al-Kindi mempelajari tata bahasa Arab, kesusteraan, ilmu hitung, dan menghafal al- Qur’an. Kota Kufah yang pesat kemajuan dan ilmu pengetahuannya telah memberikan rangsangan kepadanya untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat. Tak lama di Kufah, al-Kindi kemudian berpindah ke Baghdad yang kala itu menjadi ibu kota kekhalifahan Bani Abbas dan pusat keilmuan.
Bakat keilmuan al-Kindi semakin berkembang, karena di situlah al-Kindi mendapat sokongan dari tiga khalifah Bani abbas, yakni al-Makmun, al-Muktashim, dan al-
Wasiq. Ketiga khalifah ini mendukung total kegiatan belajar mengajar serta kegiatan ilmiah, filosofis dan kesusasteraan pada masa itu.
Sebagai perintis filsafat murni dalam dunia Islam, al-Kindi memandang filsafat sebagai ilmu pengetahuan mulia, yaitu ilmu pengetahuan mengenai sebab dan realitas Ilahi yang pertama dan merupakan sebab dari semua realitas lainnya. Ia melukiskan filsafat sebagai ilmu dari segala ilmu dan kearifan dari segala kearifan. Filsafat bertujuan untuk memperkuat kedudukan dan eksistensi agama. Hubungan Antara Filsafat Dan Agama
Seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa salah satu fungsi utama filasafat adalah mencari kebenaran dengan berdasarkan nalar atau akal manusia, sedangkan agama adalah sebuah kebenaran yang berdasarkan wahyu Tuhan. Pertemuan antara keduanya sangatlah rumit untuk diwujudkan. Dalam hal ini, al-Kindi melakukan pendekatan terhadap dua subjek tersebut—yakni nalar dan wahyu—dengan dua tingkatan. Pertama, didasarkan atas kesamaan tujuan antara filsafat dan agama dan yang kedua, secara epistemologis.
Dalam tingkatan pertama, sebelum ia membentangkan pandangannya, lepas dari adanya
kesamaan tujuan-tujuan antara agama dan filsafat, al-Kindi mempertahankan perlunya filsafat dan dapat disesuaikannya
dengan agama. Uraian George N. Atiyeh, di dalam bukunya ”Al- Kindi Tokoh Filosof Muslim,” menampakkan kepiawaian al-Kindi
dalam menghadapi serangan orang-orang yang fanatik dengan agama dan penentang kegiatan filosofis macam apapun juga, ia menyatakan:
“Filsafat adalah suatu kebutuhan, bukan suatu kemewahan. Ia mengatakan kepada orang-orang yang fanatik tersebut, bahwa mereka harus menyatakan, berfilsafat itu perlu atau tidak perlu. Jika perlu, mereka harus memberikan alasan-alasan dan argumen- argumen untuk membuktikannya. Padahal dengan memberikan alasan-alasan dan argumen- argumen tersebut, mereka pada dasarnya telah berfilsafat. Oleh karena itu filsafat adalah perlu dalam kedua hal itu.”
Pembelaan yang dikemukakan al- Kindi tersebut mempunyai arti yang sangat penting, tidak hanya karena dilakukan dalam menghadapi tantangan agama, tetapi juga diungkapkan kepada kita, bahwa al-Kindi tidak bermaksud untuk merongrong wahyu dengannya, akan tetapi sebaliknya, tujuan utamanya adalah untuk memberikan tempat bagi konsep-konsep keagamaan, diatas apa yang ia anggap merupakan landasan- landasan yang lebih kokoh dan benar, penggunaan bukti-bukti yang demonstratif.
Argumen utama yang digunakannya untuk mempertahankan filsafat adalah dengan memberikan suatu asumsi
bahwa filsafat dan agama mempunyai tujuan-tujuan yang sama, yaitu pengetahuan tentang ke-esaan Tuhan dan pengejaran kebajikan. Ia menguatkan hal ini dengan mengatakan, bahwa filsafat mencakup ”teologi, ilmu pengetahuan ke-esaan Tuhan, ilmu etika, dan ilmu yang berguna
bagi manusia untuk menjalankan kebaikan dan mencegah keburukan” diantara cabang- cabangnya.
Lebih lanjut al-Kindi menyatakan bahwa agama melakukan hal yang sama. Substansi semua amanat kenabian yang sebenarnya hanyalah untuk mengukuhkan ke-Ilahian Tuhan yang unik, dan memerintahkan kepada kita untuk memilih dan mengejar kebajikan-kebajikan yang paling diridlai di mata Tuhan.
Dengan kata lain, al-Kindi melihat bahwa pada tingkat teoritis agama dan filsafat menggarap suatu masalah yang sama, ke- esaan Tuhan. Juga pada tingkat praktis, keduanya mempunyai tujuan-tujuan yang tidak berbeda, yaitu mendorong manusia untuk mencapai kehidupan moral yang lebih tinggi. Oleh karena itu pada kedua tingkat tersebut pemikiran al-Kindi telah memperjelas kenyataan, bahwa tidak ada perbedaan esensial antara agama dan filsafat, oleh karena keduanya mengarah kepada hal yang sama. Disamping itu, dimasukkannya teologi di dalam filsafat oleh al-kindi, menghadapkan kita kepada suatu masalah. Jika tujuan utama
filsafat untuk memperkuat kedudukan agama, maka filsafat hendaknya menjadi pembantu teologi bukan sebaliknya.
Pada tingkat lainnya, masalah yang timbul dari hubungan yang ditempatkan oleh al-Kindi, antara filsafat dengan agama adalah bersifat epistemologis.
Sekarang, jika filsafat dan agama
mengarah kepada hal yang sama,
maka apakah itu berarti bahwa filsafat setarap dengan agama. Kalau sampai pada penentuan soal pengetahuan yang lebih mendasar pengetahuan mana yang lebih pasti, yang rasional atau yang kenabian?
Al-Kindi tidak menentukan pendirian yang konsisten mengenai masalah ini. Di satu tulisannya, ia mempertahankan kepastian yang sama bagi pengetahuan rasional dan pengetahuan kenabian. Sedangkan di dalam tulisan- tulisannya mengenai psikologi, ia memasukkan pengetahuan kenabian di dalam pengetahuan rasional. Pada tulisannya yang lain lagi ia menyatakan bahwa pengetahuan rasional manusia lebih rendah daripada pengetahuan kenabian. Kesimpulan
Menurut al-Kindi, perbedaan- perbedaan antara filsafat dan agama, bukanlah perbedaan yang esensial dan tidak menutup kemungkinan untuk mempertemukan keduanya. Dengan menggunakan pendekatan kesamaan tujuan dan epistemologi, dapat kita ketahui akan adanya sebuah hubungan yang erat antara filsafat dan agama.
Lebih lanjut, dari uraian-uraian di atas dapat kita paparkan argumen-argumen al-Kindi dalam rangka mempertemukan antara filsafat dan agama ke dalam tiga poin, yaitu:
1. Bahwa ilmu agama merupakan bagian dari ilmu filsafat.
2. Bahwa antara wahyu dan kebenaran filsafat saling bersesuaian.
3. Bahwa menuntut ilmu secara logika juga diperintahkan dalam agama.
Akhirnya, sebagai penutup, filsafat dan agama tidaklah bisa saling dipertentangkan, karena keduanya memberikan informasi tentang kebenaran
Sumber :
Agus Reza Ahmad Zahid, Lc
Misykat, Lirboyo.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun