Mohon tunggu...
Syahrul Chelsky
Syahrul Chelsky Mohon Tunggu... Lainnya - Roman Poetican

90's Sadthetic

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Perdebatan dengan Diri Sendiri

22 April 2019   19:28 Diperbarui: 17 Agustus 2019   14:26 582
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hujan turun serupa tangisan orang tolol yang menyesali sebuah kepergian. Sementara di dalam kamar, saya sedang membaca doa anti patah hati dan bersiap-siap untuk melakukan ritual penyamaran rasa sakit dengan meringkuk tubuh di atas kasur yang sekeras aspal kering. 

Di luar, hujan ricuh, berisik sekali. Saya tidak bisa tidur. Ini tidak seperti saya yang biasanya. Saya menengok jam di dinding. Ternyata masih pukul delapan lewat sembilan malam. Rupanya patah hati bisa membuat seseorang jadi ingin lekas tidur, melupakan hari ini dan berharap besok akan segera sembuh.

Selang beberapa menit, saya memasang earphone yang bagian sebelah kanannya sudah tak lagi mengeluarkan suara. Tapi bagaimana saya bisa tahu kalau ini sebelah kanan!? Bukan sebelah kiri? Ah, sudahlah.. Anggap saja sebelah kanan. Setelahnya, saya memutar sebuah lagu berbahasa Inggris yang liriknya saya hapal dari Google. Sampai detik di mana saya merasa bahwa apa yang saya lakukan hanyalah menuangkan urin di bagian kulit yang terkelupas dan terluka. Sungguh, itu sama perihnya dengan menaburkan garam. Pedih sekali.

Richard Marx dengan dentingan melankolis pianonya, lagu Right Here Waiting seperti sedang mengiringi upacara pemakaman kisah kasih yang tak sampai.

Saya renungkan lagi apa yang membuat saya menyesal karena tidak dipilih olehmu. Kamu tidak terlalu manis, apalagi cantik. Hidungmu juga tidak mancung. Malah nampak menggembung dan agak besar. Pipimu chubby, tidak tirus. Kenapa saya begitu menyesal. Padahal saya ini tidak terlalu jelek dan pasti ada cukup banyak di luar sana perempuan yang mau menjadi kekasih saya.

"Brakk."

Saya melempar kipas angin dinding dengan sebuah bantal karena dia mengolok saya dengan menggeleng. Kalau saja bukan benda mati, mungkin saya sudah mengajaknya berkelahi. Lagi pula, apa gunanya kipas angin di musim hujan begini. Cuaca sedang dingin sekali. Temperatur yang ditunjukkan oleh layar ponsel saya yang sepi tanpa notifikasi adalah 20 derajat celsius. Cukup dingin untuk ukuran negara tropis.

Kembali ke pertanyaan tadi. Kenapa saya merasa menyesal karena tidak bisa memilikimu. Entahlah. Rasanya aneh dan berat sekali. Mungkin karena pertama kali melihat senyumanmu, saya sudah terlanjur membayangkan kita akan menikah dengan adat apa, akan punya anak berapa atau akan tinggal di rumah orangtua siapa. Konyol sekali memang. 

Saya sering jatuh cinta. Tapi saya bukan playboy. Saya bisa jatuh cinta pada banyak hal. Seperti jatuh cinta pada suara mangkuk penjual bakso yang sering singgah di depan tempat kerja saya meski saya jarang membeli dagangannya, kucing yang menggosok-gosokan bulunya yang rontok di kaki saya, aroma jagung bakar, atau film romantis yang membuat saya menangis semalam. Saya ini memang agak sentimen kalau urusan perasaan. Bahkan saat kamu acuhkan, saya hampir dua hari tidak makan. Saya mudah jatuh cinta. Tapi saya belum pernah sejatuh ini pada sesuatu sebelum kamu.

Saya sedang kesal sekali. Saya berusaha untuk menghabiskan kebencian saya dengan menatap langit-langit kamar yang dihiasi beberapa buah sarang laba-laba. Saya bayangkan kalau diri saya adalah laba-laba, sedangkan kamu cuma nyamuk atau serangga kecil yang terperangkap di dalam jebakan saya. Tidak bisa keluar. Satu-satunya pilihanmu ialah pasrah dan menuruti apa yang saya minta. Saya mau kamu jadi milik saya.

Atau dengan mengambil sebuah pulpen di dalam laci lalu mencoret-coret tembok yang catnya sudah pudar. Menulis namamu di sana dan menusuk-nusuknya semacam kutukan boneka voodoo dan jarum yang dilumasi darah. Hanya saja, saya mengutukmu lewat tembok, melalui nama yang saya tusuk-tusuk dengan ujung runcing pulpen berlumur tinta yang bocor hingga mengenai celana boxer saya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun