Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ulama dalam Perspektif Gender

27 April 2017   11:39 Diperbarui: 28 April 2017   00:00 735
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi hal yang sangat menarik ketika Indonesia justru menjadi tuan rumah bagi perhelatan ulama perempuan sedunia yang digelar di Pondok Pesantren Kebon Jambu, Babakan Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat. Keberadaan ulama perempuan sejauh ini mungkin “tergeser” oleh dominasi ulama laki-laki dalam hal otoritas atas tafsir kajian ilmu-ilmu keislaman, sehingga peran ulama perempuan dalam realitas sejarah justru cenderung tereliminir bahkan kadang tak mempunyai panggung karena konotasi “ulama” selalu condong dan melekat pada dimensi maskulinitas. Walaupun Kongres Ulama Perempuan Indonesia (KUPI) ini bukan bermaksud untuk mendobrak dominasi keulamaan laki-laki, namun tetap saja ada upaya secara tidak langsung agar masyarakat muslim memberikan pengakuan atas eksistensi ulama perempuan yang bisa setara dengan ulama laki-laki.

Melihat secara lebih jauh dalam sejarah perkembangan Islam awal, memang tak dapat dipungkiri, bahwa lahirnya ulama-ulama besar justru didominasi oleh laki-laki, walaupun sebenarnya peran perempuan yang kemudian dianggap sebagai “ulama” juga tak bisa juga dikesampingkan sebagai bagian dalam realitas sejarah. Kita tentu mengetahui, istri-istri Nabi Muhammad SAW, Aisyah, Ummu Salamah dan Maimunah merupakan diantara perempuan yang banyak meriwayatkan hadis-hadis Nabi dan diakui oleh para ulama hadis soal kedudukan periwayatannya. Bahkan, hadis-hadis yang berasal dari riwayat Aisyah justru dianggap paling “kuat” ketika dihadapkan dengan riwayat hadis lain selain dari Aisyah binti Abu Bakar. Ini artinya, kedudukan perempuan dalam menafsirkan hadis-hadis Nabi dianggap paling otoritatif dan mendapatkan pengakuan secara istimewa oleh para ulama hadis yang memang didominasi kaum adam.

Diakui ataupun tidak, sejarah memang lebih bias gender dengan keberpihakan secara maskulin walaupun sebenarnya tidak juga meniadakan peran kaum perempuan. Istilah “history” saja dalam terminologi Barat justru lebih condong maskulinitasnya, sehingga sejarah pada umumnya akan lebih banyak memberikan panggung kepada kaum adam. Terminologi Arab justru ketika menggunakan istilah “tarikh” tidak menonjolkan sisi maskulinitas tetapi lebih berimbang mengandung kesetaraan laki-laki dan perempuan. Dalam banyak hal, Islam justru hadir sebagai agama pembela kaum perempuan ketika pertama kali dibawa oleh Nabi Muhammad, dimana dominasi kaum laki-laki atas perempuan waktu itu “dipaksa” agar setara pada tataran sosial. Nabi, misalnya memberikan hak waris kepada perempuan dalam keluarga Arab, padahal sebelumnya hak waris hanyalah bagi kaum laki-laki saja. Perempuan yang sempat menjadi “manusia kedua” (the secon people) atas laki-laki justru diangkat perannya oleh Nabi Muhammad agar bisa “setara” dan mendapatkan hak-hak yang kurang lebih sama dalam konteks sosial.

Saya kira, Islam mencoba menempatkan kaum perempuan secara lebih istimewa dalam banyak hal, terutama dalam kebebasannya untuk dapat memperoleh pengetahuan dan pendidikan yang sama dengan kaum laki-laki. Hal ini dapat dibuktikan oleh adanya hadis-hadis Nabi Muhammad yang secara spesifik disampaikan melalui kajian-kajian yang dihadiri oleh kaum hawa yang berbicara soal hak-hak perempuan atas laki-laki, soal kesamaan perolehan nilai pahala atau menyoal peran perempuan dalam melakukan jihad bersama laki-laki. Memang, bahwa terdapat fungsi keterbatasan peran perempuan ketika dikaitkan soal kepemimpinan, karena kepemimpinan pada masa Nabi akan terkait langsung dengan memimpin peperangan atau menjadi imam dalam sholat, sehingga peran perempuan dalam hal ini memiliki keterbatasan akibat kondisi budaya yang tidak memungkinkan.

Saya kira, istilah “ulama” yang berarti “orang-orang yang memiliki pengetahuan (agama)” juga tak bias gender, karena tidak membedakan antara keulamaan laki-laki maupun perempuan. Al-Quran menegaskan bahwa: “sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (QS. Faathir: 28). Para ulama sebagaimana disebut oleh al-Quran lebih menunjukkan kepada mereka—baik laki-laki maupun perempuan—yang selalu berupaya menyimak rahasia-rahasia alam semesta, baik yang tertulis maupun tidak, sehingga menambah “rasa takut” kepada Tuhannya. Rasa takut yang ditimbulkan kemudian akan membawa sikap pribadi para ulama selalu menyampaikan kebenaran dan tentu saja menolak segala macam keburukan. Kata “’ibadihi” yang disematkan untuk para ulama dalam ayat tersebut yang berarti “hamba-Nya” berarti merujuk pada siapa saja tanpa membedakan jenis kelamin.

Saya kira, peran ulama perempuan sejauh ini telah menapaki sejarahnya tersendiri bahkan diakui sebagai bagian dari “ulama besar” dalam mengisi wawasan keilmuan agama Islam. Sebut saja misalnya, Dr. Aisyah Abdurrahman atau dikenal dengan Bintu Syaathi’ (1913) merupakan ulama perempuan yang cukup dikenal dengan berbagai karya ilmiahnya termasuk karya monumentalnya Tafsir Bintu Syathi’ yang terbit pada 1963 di Mesir. Karya-karya Bintu Syathi’ yang mengupas berbagai macam disiplin keilmuan, seperti fiqh, dirasah islamiyah, adab dan sastra bahkan mendunia dan diakui oleh berbagai kalangan akademik sebagai ulama perempuan yang sangat produktif. Produktivitas seorang ulama justru akan lebih banyak diakui oleh khalayak tanpa harus dibatasi oleh perspektif gender ketika pemikiran-pemikirannya dituangkan dalam beragam karya ilmiah. Justru ketika para ulama ingin diakui “perannya” seakan-akan bahwa selama ini terdapat dikotomisasi peran keulamaan yang hanya didominasi laki-laki, padahal seseungguhnya tidak demikian.

Menyikapi KUPI yang sedang berlangsung di Cirebon, Jawa Barat, saya justru berasumsi bahwa peserta yang hadir justru didominasi oleh aktivis perempuan dunia Islam dan tidak banyak diwakili oleh representasi ulama perempuan yang dikenal memiliki wawasan dalam beragam disiplin keilmuan agama Islam. Jika kita mengenal ulama-ulama dari kalangan laki-laki yang menonjol dalam bidang tafsir, hadis, fiqh, ushul fiqh atau sejarah yang selama ini dikenal dunia Islam, seperti sebut saja Wahbah al-Zuhaily, Yusuf al-Qardlawi, Mahmud Syaltut, Quraish Sihab dan lainnya justru merepresentasikan ulama yang kuat dalam berbagai bidang keilmuan agamanya masing-masing. Maka, bagi saya justru terdapat absurditas ketika peran ulama perempuan kemudian direduksi menjadi sekedar perhelatan aktivis yang menyuarakan hak-hak perempuan di dunia internasional. Bagi saya, ulama dan aktivis memiliki perbedaan yang cukup menonjol dalam banyak hal, terutama dalam hal wawasan keilmuan agamanya.

Meskipun pada tahap ini saya tetap memberikan apresiasi terhadap perhelatan KUPI di Cirebon, namun ada baiknya forum seperti ini lebih memberikan kesan kuat bagi keulamaan perempuan di dunia Islam sehingga publik dapat lebih banyak tahu mengenai ulama perempuan yang setara dengan ulama laki-laki lainnya dalam memberikan suguhan “berbeda” dalam membaca realitas keagamaan dari berbagai sumber otoritatif hukum Islam. Sejauh ini, menurut hemat saya, belum lagi muncul seorang ulama perempuan selepas Bintu Syathi’ yang sangat produktif menulis beragam karya ilmiah dalam berbagai disiplin ilmu keislaman yang dengan sendirinya secara otomatis dia telah mengangkat kredibilitas ulama dari kalangan kaum feminin. Lagi pula, keulamaan seorang perempuan tidak dilihat sebatas aktivitas penyuaraan dalam skup kesetaraan gender, tetapi bagaimana dia mampu mengubah mindset bahwa keulamaan dalam bidang agama tidak hanya milik kaum laki-laki, tetapi juga berhak atas kebebasan intelektual kaum perempuan.

Wallahu a'lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun