Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Sulitnya Membendung Aksi Terorisme

26 Mei 2017   11:25 Diperbarui: 27 Mei 2017   18:42 1322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Lagi-lagi aksi terorisme mengguncang Indonesia, seakan-akan bahwa aksi seperti ini mengalami eskalasi luar biasa sejak meletusnya Bom Bali pada Oktober 2002 yang lalu. Serangkaian aksi terorisme terus berlanjut tanpa ada kejelasan dan ketegasan merujuk pada aspek preventif yang digencarkan aparat keamanan. Terbukti, tahun 2011 bom bunuh diri meledak di salah satu masjid di komplek kepolisian Kota Cirebon, Jawa Barat; disusul aksi teror bom di Sarinah, Jakarta dan bom bunuh diri di Polres Surakarta yang semuanya terjadi pada tahun 2016. Baru-baru ini, bom bunuh diri kembali menggemparkan masyarakat Jakarta pada Rabu malam lalu, 24 Mei 2017 di Terminal Kampung Melayu, Jakarta Timur.

Entah kenapa, seharusnya memang terorisme harus dilawan, bukan malah dicari atau ditunggu kapan para teroris ini melancarkan aksinya. Kita sepertinya masih menganut kebijakan punitif dan kurang memberikan perhatian pada kebijakan-kebijakan yang bersifat preventif. Jika dirasa aparat keamanan belum bisa menemukan bukti-bukti yang cukup, maka pada kenyataannya sulit sekali para terduga pelaku teror ini kemudian diambil tindakan secara hukum. Disinilah saya kira, sulitnya mendeteksi pergerakan para pelaku teror yang berakibat “kecolongan” dimana para pelaku teror dengan leluasa melakukan aksinya sebelum terendus rencana mereka oleh aparat keamanan. Saya kira, kejadian beruntun aksi-aksi terorisme sejak 2016 sampai 2017 seharusnya semakin membuka mata kita, bahwa aksi seperti ini bukan sekadar dibuat-buat oleh rekayasa terorisme internasional, tetapi justru kebanyakan lahir dari kebencian memuncak dari bangsa kita sendiri.

Melihat dari tren aksi teror yang berkembang sejak 2011, para pelaku teror terlihat menargetkan aparat keamanan sebagai tujuan utama, bukan masyarakat umum. Saya kira, terjadi akumulasi kebencian yang sangat mendalam para pelaku teror sehingga serangan-serangan terorisme ditujukan untuk menghantam dan memberikan rasa ketakutan kepada aparat. Seakan sedang menjalankan aksi balas dendam, pola aksi terorisme nampaknya sekarang berubah, tidak lagi menyasar simbol-simbol Barat atau perbedaan budaya maupun ideologi, tetapi justru melawan dan meneror aparat keamanan. Lalu, kenapa aparat keamanan yang menjadi target aksi terorisme? Pertanyaan seperti ini mungkin akan mudah dijawab, melihat dari pola pencegahan dan pemberantasan yang dijalankan oleh pihak keamanan sendiri, sudah tepatkah?

Saya justru berasumsi melalui ungkapan pidato Wakil Presiden, Jusuf Kalla sewaktu berkunjung ke Universitas Oxford, Inggris, bahwa “religion is not the source of conlictthe prima causa of more conflicts are injustice”. Aksi-aksi terorisme yang lahir dari kebencian lebih banyak didasarkan oleh rasa ketidakadilan yang tercermin dalam kehidupan kita dan bukan bersumber dari sebuah pemahaman yang salah dari ajaran agama. Terkadang, agama dimanipulasi demi kepentingan politik, sosial atau ekonomi sehingga acapkali kita berkesimpulan bahwa agama-lah yang kemudian menjadi kambing hitamnya. Sejauh ini, saya rasa, causa ketidakadilan yang ditunjukkan oleh aparat keamanan, membuat mereka justru kehilangan rasa hormat-nya di depan publik. Kita mungkin tak bisa menutup mata, banyak kasus-kasus hukum yang dirasa “tebang-pilih” atau pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat keamanan, sehingga mereka-pun sulit melakukan tindakan efektif untuk mencegah tindakan teror yang dilakukan pihak lain.

Kondisi ketidakadilan yang dirasakan masyarakat tentunya juga sulit dibenahi melaui sistem politik yang ada, karena kenyataannya banyak sekali pelanggaran-pelanggaran politik yang dilakukan oleh oknum-oknum pemerintahan. Saya kira, tak juga dapat dipungkiri bahwa aparat seringkali menutup mata terhadap hal-hal yang tidak benar di sekitar kita, mereka bahkan dengan mudahnya “menetralisir” segala pelanggaran hukum yang terindikasi ada keterlibatan oknum-oknum penguasa yang justru mendapat sokongan dari aparat keamanan. Sebut saja, perjudian, narkoba, korupsi yang kadang dilakukan penegakkan hukum secara “tebang-pilih” hanya di sasar kepada mereka yang dianggap “lemah” dan melindungi mereka yang secara politik-ekonomi lebih “kuat”.

Akumulasi dari ketidakadilan yang dipertontonkan di tengah ekspektasi masyarakat atas penegakkan keadilan hukum yang di dambakan, justru tercoreng oleh aparat penegak hukum itu sendiri. Inilah saya kira kemudian, yang merubah pola aksi terorisme belakangan yang lebih banyak ditujukan untuk “melemahkan” aparat keamanan yang terjadi akibat kebencian mendalam yang menumpuk dalam hati dan pikiran para pelaku teror. Agak aneh ketika kemudian penggeledehan aparat dihubungkan dengan buku-buku jihad agama yang ditemukan yang dianggap sebagai asupan bagi prinsip radikalisme mereka yang kian mengkrtistal. Aksi terorisme di Kampung Melayu saya kira, berbeda polanya dengan kasus Bom Bali yang menyasar simbol dan budaya Barat yang dianggap sebagai penyimpangan bagi mereka.

Kita tentu tidak sekedar mengungkapkan bela sungkawa atau kecaman yang ditulis besar-besar di media massa, karena seyogyanya kita juga terus mendorong aparat untuk tetap bekerja ekstra keras menjalankan prinsip preventif yang maksimal terhadap indikasi berbagai gerakan terorisme. Jangan sampai aksi terorisme ini menjadi selaras dengan bunyi pepatah, “Guru kencing berdiri, murid kencing berlari” karena aksi-aksi terorisme adalah hasil ketidakpuasan dan ketidakadilan yang diciptakan oleh oknum aparat keamanan atas ketidakefektifannya memberantas aksi KKN, premanisme, kriminalisme yang berujung pada aksi terorisme. Menganggap aksi terorisme yang telah terjadi hanya sebagai sebuah force majeur, lalu dilakukan pengetatan keamanan dan penggeledehan justru terlambat, hanya sekadar membuat masyarakat sedikit tenang, tetapi menunjukkan penanggulangan yang tidak tuntas sama sekali.

Terorisme seakan menjadi sebuah “penyakit” yang gejalanya disebabkan lebih banyak oleh fenomena ketidakadilan yang semakin lama semakin akut menghinggapi para pegiat radikalisme yang selalu secara “hitam-putih” memandang realitas sosial. Pemahaman yang “radikal” terhadap ajaran agama kemudian dimanfaatkan para benggolan teroris sebagai pintu masuk menanamkan rasa “kebencian” dan “permusuhan” kepada pihak-pihak lain yang diwariskan kepada para aktivis teroris baru yang direkrutnya. Jika terorisme sudah menjadi penyakit, maka prinsip “mencegah lebih baik daripada mengobati” adalah jalan keluar yang cukup efektif untuk menanggulangi penyakit terorisme yang saat ini menghantui masyarakat. Walaupun memang kenyataannya sangat sulit, tetapi prinsip preventif yang dijalankan tidaklah dipandang sebelah mata, hanya pada indikasi gerakan terorisme, tetapi preventif tetap dijalankan oleh pihak berwenang terhadap aksi-aksi merusak lainnya, seperti premanisme, kriminalisme, radikalisme dan bahkan korupsi.

Tidak hanya itu, kesadaran masyarakat untuk selalu mengedepankan sikap preventif, berhati-hati dan juga kepedulian yang tinggi terhadap berbagai indikasi kejanggalan seseorang yang berada di lingkungan sekitarnya dapat membantu memperkokoh kesadaran mencegah terorisme berkembang. Masyarakat kita umumnya kurang peduli terhadap berbagai indikasi janggal yang terlihat, mereka lebih banyak acuh dan mementingkan diri sendiri. Ruh kebersamaan dan gotong royong yang sempat mengakar dalam masyarakat kita, lambat laun hilang digantikan oleh kondisi masyarakat yang cenderung nafsi-nafsi sehingga rasa kepedulian terhadap sekitar semakin terkikis. Mencegah terorisme harus didahulukan melalui kepedulian yang ditingkatkan dalam ruang masyarakat dan didorong oleh penegakkan hukum berjalan secara adil, transparan dan tentunya humanis.

Wallahu a’lam bisshawab    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun