Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Sebuah Fenomena di “Negeri Cangkul”

1 November 2016   15:25 Diperbarui: 1 November 2016   15:49 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mungkin tidak aneh ketika kita mendengar bahwa Indonesia merupakan negeri yang anak bangsanya gemar akan barang-barang impor. Bagi kalangan menengah keatas, barang impor tidak hanya menjadi simbol “prestise”, juga simbol dari keberhasilan akan “prestasi”. Menggunakan pakaian atau asesoris impor justru lebih percaya diri dibanding menggunakan merek-merek lokal. Bukan hanya dalam soal fashion atau accessories saja, tanpa sadar bahwa barang-barang dan perkakas dirumah lebih banyak yang impor daripada lokal. Belum lagi soal mindset anak bangsa ini yang lebih bangga bekerja di lingkungan “pekerja-pekerja impor” dan lebih sering menghargai mereka. Bagi kalangan bawah, barang-barang impor lebih suka dipakai atau dikonsumsi karena memang harganya murah, tak peduli soal kualitas, yang penting murah. Iniah realitas sebenarnya dalam kehidupan bangsa ini kebanyakan yang memang serba impor.  

Sudah lama sekali negeri kita ini menjadi negeri pengimpor, sehingga seakan-akan hampir tidak ada produk lokal yang bisa bertahan karena tergerus oleh barang-barang hasil impor yang dilepas ke pasaran. Tidak hanya impor soal daging, beras, kedelai, atau gula saja, bahkan hampir perkakas-perkakas apa saja cenderung diarahkan membeli barang impor. Walaupun kemudian terjadi polemik, tetapi tetap saja praktik impor itu seakan menjadi semacam “trade off” yang keputusannya seringkali tidak banyak diketahui publik. Namun, ketika barang-barang impor itu semakin marak di pasaran, barulah publik menyadari bahwa sebenarnya seluruh barang-barang yang mereka pakai dan pergunakan ternyata produk impor bukan produk lokal hasil olahan bangsa sendiri. Saat ini ada fenomena cangkul impor yang didatangkan dari Cina, yang semakin menggeser cangkul lokal bahkan  pada akhirnya industri cangkul lokal itu mati akibat tak mampu bersaing dengan cangkul impor.

Belakangan ini, masuk ke Indonesia sebanyak 86.000 cangkul asal Cina yang justru legalitas impornya dilakukan perusahan negara, yaitu PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). PPI diketahui sebagai satu-satunya BUMN yang menjadi trading house di Indonesia yang memiliki keluasan khusus dalam bidang ekspor, impor dan juga distribusi. Polemik cangkul impor ini sebenarnya tidak perlu dibesar-besarkan, karena toh alat pertanian ini sudah beredar di Indonesia bahkan sejak tahun 2000 silam, bukanlah baru-baru ini saja. Padahal, BUMN sebelumnya memproduksi cangkul lokal dengan menunjuk PT Bima Bisma Indra (BBI) sebagai perusahaan distributornya. PT BBI kemudian memberikan keleluasaan kepada para pengrajin kecil di Surabaya untuk membuat cangkul lokal guna memenuhi kebutuhan alat pertanian di seluruh Indonesia. PT BBI bisa memproduksi sampai 15.000 unit cangkul perbulan dan cukup untuk memenuhi kebutuhan alat pertanian waktu itu. Harganya-pun relatif murah, hanya berkisar Rp 13.000-15.000 perbuahnya dengan kualitas premium tentunya.

Namun, seiring dengan terus dilakukannya impor yang semakin besar untuk cangkul dari Cina, produksi lokal justru semakin terpinggirkan, bukan karena memang harganya saja yang lebih murah, tetapi cangkul yang semakin membanjiri jadi semakin sulit dibatasi. Walhasil, harga cangkul Negeri Tirai Bambu yang dijual Rp 9000 perbuah walaupun kualitasnya rendah, tetapi justru menjadi keuntungan tersendiri bagi toko-toko bangunan atau material. Bagaimana tidak, menjual cangkul Cina dengan harga murah, lebih banyak memberikan keuntungan dibanding menjual cangkul lokal dengan kualitas baik tetapi untungnya malah mencekik. Kita semakin tidak aneh dengan fenomena seperti ini, negeri yang lebih suka dengan barang impor dan menolak barang-barang lokal. Tak berlebihan sekiranya jika gambaran ini seakan menjadi ironi di negeri yang katanya kaya ini. Sebuah fenomena “negeri cangkul”, dimana negeri yang konon disebut agraris karena luas pertanian dan perkebunannya, subur alamnya, kaya sumber dayanya, tapi malah membeli cangkul dari negeri orang dan tak percaya kualitas cangkul buatan sendiri.

Saya kira, sangat aneh rasanya ketika negeri kaya dan subur seperti Indonesia, segala sesuatunya harus diukur melalui impor, hanya dengan alasan stok dalam negeri tidak mencukupi. Tidak mampukah bangsa ini menggenjot produksi sendiri? Apakah tenaga kerjanya kurang memadai? Ataukah lahannya kurang luas? Ataukah memang orang-orangnya sudah tidak mau bekerja keras sehingga lebih suka instan memanfaatkan yang sudah ada? Tetapi memang nampaknya, impor menjadi alasan sebagai bagian dari deal-deal perdagangan “tingkat tinggi” yang dapat membagi keuntungan, tidak hanya untuk negara, tetapi para pejabat, cukong, pengusaha dan juga “makelar-makelar” lainnya. Impor selalu mendapatkan keuntungan lebih besar dan lebih banyak dibanding bersusah payah menggerakkan atau mengembangkan industri lokal. Lagi-lagi Cina merupakan tujuan utama Indonesia dalam soal impor apa saja, karena selain harganya lebih murah, barangnya lebih banyak dan variatif bentuknya dan lebih cepat didapat.

Yang lebih mengejutkan, bahwa kita tidak sekedar impor barang saat ini, tetapi juga mengimpor para pekerja asing, terutama asal Cina, yang berbondong-bondong datang ke Indonesia untuk bekerja di sektor-sektor industri yang dibangun oleh para investor asal Negeri Tirai Bambu tersebut. Maraknya pekerja asal Cina ini justru dikhawatirkan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) akan menggeser pekerja-pekerja lokal yang ada. Menurut Wakil Ketua Apindo, Suryadi Sasmita, bahwa seiring dengan pertumbuhan investasi dari Cina, banyak pekerja asal Cina yang datang belakangan ini, secara legal maupun ilegal. Mereka kerap bekerja di proyek-proyek yang memang dibiayai oleh investor asal Negeri Panda tersebut. Lagi-lagi, impor pekerja asing dilakukan karena memang relatif lebih murah, pekerja keras dan orang-orang kuat.

Bisa jadi bangsa ini bukan bangsa pekerja keras, karena sudah nyaman karena sawah ladangnya dijual untuk kepentingan industri. Mindset para pemangku negeri ini pun selalu mencari “selisih” yang lebih murah karena lebih banyak memberikan keuntungan daripada harus susah-susah dengan kualitas yang bernilai lebih mahal. Saya kira, ada baiknya kita renungi pidato Soekarno disaat memperingati Kemerdekaan Indonesia pada masa lalu, beliau dengan berapi-api berujar, “Kita bangsa besar, kita bukan bangsa tempe. Kita tidak akan mengemis, kita tidak akan minta-minta apalagi jika bantuan-bantuan itu diembel-embeli dengan syarat ini syarat itu! Lebih baik makan gaplek tetapi merdeka, dari pada makan bestik tetapi budak”.

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun