Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Perlukah Pengamanan Ekstra Saat Lebaran?

24 Juni 2017   16:09 Diperbarui: 24 Juni 2017   17:00 310
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Momentum Idul Fitri atau Lebaran yang sarat dengan kegembiraan, ungkapan rasa syukur, bermaaf-maafan dan euforia kemenangan atas berakhirnya ibadah puasa, justru dipandang berbeda oleh aparat keamanan negara. Momen seperti ini yang sarat kerumunan massa, dianggap sebagai salah satu pemicu "gangguan keamanan" yang mesti diantisipasi agar kondisi suasana lebaran tetap tertib dan kondusif. Entah, apakah para pasukan intelijen sudah "mencium" gelagat pengacau keamanan di momen lebaran kali ini, atau memang sekedar menduga-duga karena Jakarta masih dianggap "rawan" akibat beragam peristiwa politik yang mengitarinya. 

Saya kira sangat berlebihan, jika Sholat Idul Fitri yang akan diikuti oleh Presiden Jokowi harus dijaga oleh 16 ribu personel aparat keamanan. Sholat yang dilaksanakan di Masjid Istiqlal, saya kira tidak sama dengan aksi unjuk rasa yang harus dijaga puluhan ribu aparat, karena sholat adalah ibadah yang sepenuhnya menjadi urusan Tuhan.

Setiap umat muslim yang berlebaran, tentu akan selalu menyadari bahwa Idul Fitri adalah momen terbaik dalam hidup, karena disinilah terdapat ruang dimana tak ada kemarahan, kedengkian, kesombongan atau hujatan-hujatan yang mengganggu hubungan-hubungan kemanusiaan. Seluruh umat berbaur dalam balutan rasa kasih dan sayang yang didahului oleh saling memaafkan atas setiap kesalahan. Jika kondisi ini kemudian dibaca sebagai "potensi" kekacauan oleh aparat keamanan, saya kira sangatlah berlebihan. Memandang umat muslim Indonesia sebagai kalangan yang luwes dan moderat adalah sangat diperlukan, terlebih ditengah suasana tuduhan-tuduhan yang kurang patut yang seringkali dibuat oleh media-media soal citra Islam.

Melihat lebih dalam pada filosofinya, Idul Fitri berarti "Hari Raya Yang Suci" dimana setiap umat muslim yang selesai menjalani puasa dianggap sebagai "pribadi suci" karena seluruh anasir-anasir kesalahan dan dosa "dicuci" selama puasa Ramadan. Tak dapat diterima akal sehat, jika kemudian ada anggapan bahwa Idul Fitri yang semestinya melahirkan nilai-nilai kesucian bagi manusia, namun karena terdapat kegiatan massa yang terkonsentrasi seperti Shalat Id, dipandang memiliki potensi gangguan keamanan, sehingga harus dilakukan penjagaan keamanan ekstra ketat. Jika-pun kemudian ada gangguan-gangguan yang terjadi, itu belum pada tahap mengganggu keamanan negara, karena yang terjadi hanya sekadar kemacetan karena jutaan orang tumpah ruah di masjid, lapangan dan jalanan dengan khusyuk mengikuti ibadah Shalat Id.

Dalam konteks lain, lebaran juga bagian dari tradisi umat Islam, terlebih di Indonesia dimana menjadi momen silaturrahim (menjalin rasa kasih sayang) yang tidak hanya ditebarkan kepada sesama muslim tetapi juga kepada mereka yang non-muslim. Jika-pun masih ada rasa dendam atau sakit hati, itu masih dalam lingkup urusan pribadi yang seringkali tidak akan tampak "terbuka" menjadi sebuah ajang permusuhan. 

Maka, justru sangat mengada-ada, jika kemudian momentum lebaran yang penuh jalinan rasa kasih sayang antarsesama, dianggap akan memicu kekacauan sehingga perlu dijaga ketat agar kekacauan itu tak terjadi. Padahal, kekacauan selalu terjadi karena mereka tidak dalam kondisi beribadah, menuntut keinginan-keinginan keduniaan yang belum juga terpenuhi. Ajang lebaran dan sholat Id bagi umat muslim adalah menuntut keinginan-keinginan kebaikan kepada Tuhan, yang jauh dari unsur-unsur keinginan yang bersifat keduniaan.

Saya kira, jangan terlampau berlebihan dalam menganggap bahwa umat muslim di Indonesia sekarang adalah mereka yang gemar memulai konflik, padahal dengan berpandangan stereotype yang membandingkan dengan umat beragama lainnya dan bahkan memposisikan umat muslim sebagai berpotensi pemicu konflik, jelas sama artinya bahwa aparat-lah yang sedang memicu konflik dengan mengkambinghitamkan agama. Agama jelas bukanlah sumber konflik, tetapi justru menjadi perekat solidaritas sosial yang lebih banyak memicu rasa perdamaian dan kasih sayang.

Pernyataan Kapolda Metro Jaya, M Iriawan menyoal 16 ribu personel aparat kepolisian yang akan diturunkan pada saat lebaran, termasuk pengamanan di Masjid Istiqlal pada saat pelaksanaan shalat Id oleh umat muslim Jakarta, bagi saya terlampau berlebihan. Jakarta, seakan ditengarai sebagai pemicu gangguan keamanan, terlebih sangat tendensius dilekatkan kepada momentum Hari Besar Umat Islam. Sedemikian parahkah Kota Jakarta? Terlebih disaat umat muslim justru meluapkan rasa syukurnya melalui ibadah sholat Id bersama-sama di dalam sebuah masjid, tetapi masih harus dijaga puluhan ribu aparat keamanan? Saya kira, ibadah adalah kegiatan yang paling aman dimanapun bahkan akan memberikan rasa aman kepada siapapun. Padahal, untuk menjaga kondusifitas malam pergantian tahun di Ibu Kota yang hingar-bingar cukup hanya dengan 3000 personel itupun gabungan antara TNI dan Polri.

Saya berkeyakinan, bahwa ibadah adalah kegiatan ritual yang amat suci, sehingga wajar jika kemudian selama terjadi upaya saling menghormati antarsesama pemeluknya, ibadah selalu mendatangkan kenyamanan dan kebaikan, bahkan tanpa harus dijaga oleh aparat keamanan. Aparat seharusnya hanya siaga, tak perlu berlebihan dalam menjaga keamanan peribadatan, karena justru akan menimbulkan keresahan dari pihak yang sedang menjalankan ibadah. Bagaimana tidak, ketika orang akan pergi beribadah ke masjid, lalu disetiap sudut jalan terlihat aparat keamanan bersenjata lengkap, bukannya menimbulkan rasa nyaman, malah rasa ketakutan dan curiga berlebih umat dan menghilangkan kekhusyukan rangkaian peribadatan yang nanti dijalankan. Saya kira perlu membangun cara pandang yang sama, bahwa ibadah adalah ritual kebaikan dan kedamaian sehingga tak perlu dijaga secara berlebihan.

Jadikanlah lebaran atau Idul Fitri sebagai momen kebersamaan yang penuh kedamaian dan cinta kasih antarsesama, sejalan dengan makna "Idul Fitri" yang berarti "kembali menjadi suci" yang selalu dicita-citakan setiap umat muslim. Puasa selama satu bulan yang dijalankannya adalah pendidikan moral dan spiritual yang akan membentuk "watak suci" kemanusiaan yang menjauhi sikap-sikap buruk dan keasusilaan yang akan mengganggu solidaritas sosial. Ketika setiap orang-pun sama memandang adanya unsur kesucian di setiap momen hari raya, termasuk Idul Fitri yang akan segera tiba ini, maka yang akan terjadi sikap yang tak berlebihan yang ditunjukkan kepada mereka yang sedang menjalankannya. Biarkan umat Islam khusyuk menikmati "kemenangannya" setelah sebulan penuh berpuasa, tanpa harus dianggap menyimpan "potensi" untuk mengotori nilai kesucian Idul Fitri yang dijalankannya. Tetaplah suci di Hari Fitri, jangan pernah kesucian justru dikotori oleh sikap arogan, berlebihan atau kedengkian yang justru memicu rusaknya Idul Fitri. Selamat Lebaran. Minal 'Aidin wal Faizin, Mohon Maaf Lahir dan Batin!    

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun