Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menyoal Segala Masalah Transportasi Mudik Lebaran

25 Mei 2017   15:04 Diperbarui: 25 Mei 2017   20:55 2116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ekspektasi masyarakat Indonesia untuk bisa mudik lebaran sudah dipikirkan jauh-jauh hari bahkan sebelum menjelang Ramadan tiba. Tak heran, jika hampir seluruh armada perjalanan mudik, tiketnya ludes terjual tanpa sisa, jauh sebelum waktu mudik tiba. Jikapun mendapatkan tiket, itu sudah menjadi “permainan” bagi para makelar tiket yang memang selalu memanfaatkan keuntungan berlipat pada setiap momen seperti ini. Cerita seorang kawan yang seringkali gagal memperoleh tiket yang dipesannya secara online, menunjukkan betapa tingginya antusiasme masyarakat untuk dapat mudik saat lebaran. Bisa jadi, akibat tidak kebagian tiket, pemudik kemudian beralih ke moda transportasi lainnya, seperti sepeda motor atau mencari keberuntungan ikut program mudik gratis yang ditawarkan pemerintah.

Saya kira, program mudik gratis selalu saja ada, entah yang difasilitasi pemerintah, swasta, elemen masyarakat, atau bahkan ormas dan partai politik. Program mudik gratis ini pada umumnya sebuah solusi bagi masyarakat agar mereka yang gagal medapatkan tiket resmi angkutan lebaran atau mereka yang berniat mudik menggunakan sepeda motor, mau beralih pada tawaran program ini. Meski kenyataannya, program mudik gratis belum sepenuhnya menyelesaikan akar persoalan, karena terbukti pemudik dengan sepeda motor tren-nya selalu meningkat dari tahun ke tahun bukan malah berkurang. Menurut data dari Koran Tempo, jumlah pemudik dengan sepeda motor pada tahun 2016 berjumlah 5,14 juta, meningkat 36 persen dari tahun sebelumnya yang hanya 3,76 juta.

Mudik memang sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia setiap tahunnya sehingga mengakibatkan mobilitas masyarakat yang sangat tinggi sebelum atau bahkan sesudah lebaran. Beragam solusi dari pemerintah untuk mengurangi beban kemacetan dan bahkan angkutan gratis tidak serta merta membuat suasana mudik bertambah makin baik. Tahun lalu saja, pembangunan jalan tol baru hingga ke Brebes, Jawa Tengah justru menjadi “neraka” bagi para pemudik, terjebak berjam-jam dan tak ada satu petugas-pun yang mampu berbuat apa-apa. Kasus “Brexit” seharusnya menjadi pelajaran yang tidak harus terulang lagi untuk tahun ini, mengingat jumlah pemudik tidak pernah mengalami penurunan setiap tahunnya, yang ada malah justru semakin meningkat. Anehnya, setiap jelang lebaran, terlihat pemandangan sekian banyak ruas jalan dalam kondisi perbaikan, dimana seakan-akan ini sekadar “proyek tahunan” yang tak pernah menjadi solusi bagi masyarakat.

Tingginya mobilitas masyarakat jelang suasana mudik, tak juga diimbangi oleh bertambah baiknya  pelayanan tiket online, terutama untuk angkutan kereta api. Beberapa orang banyak yang mengeluh karena kehabisan tiket, padahal waktu pembeliannya beberapa saat setelah waktu pelayanan tiket  dibuka ke publik. Bahkan, solusi kereta api tambahan tak juga memenuhi ekspektasi publik karena tetap mereka masih tak kebagian tiket mudik. Suasana jelang mudik terkadang bisa saja dimanfaatkan oleh oknum-oknum travel “nakal” yang bekerjasama dengan otoritas jasa angkutan publik untuk memborong tiket secara sepihak. Langkanya tiket, atau mahalnya harga tiket karena dijual secara tidak resmi oleh para oknum “calo legal” seringkali membuat pemudik beralih memanfaatkan sepeda motor atau memburu armada mudik gratis yang disediakan berbagai pihak.

Kondisi yang “kurang adil” ini saya kira membuat masyarakat cenderung menggunakan sepeda motor untuk mudik, karena selain irit ongkos, kendaraan yang mereka bawa ke kampung halaman akan dijadikan sarana keliling bersilaturrahim dengan keluarga lainnya. Himbauan pemerintah agar pemudik tidak menggunakan sepeda motor karena resiko kecelakaan lebih besar, nampaknya kurang mendapat respon dari masyarakat. Solusi mudik yang ditawarkan sepertinya kurang mendidik, terbukti bahwa setiap tahunnya pemudik dengan sepeda motor selalu saja bertambah dan hampir tak pernah berkurang.

Saya kira, jika pemerintah menjamin bahwa ketersediaan seluruh angkutan transportasi mudik bisa didapatkan masyarakat—termasuk soal ketersediaan tiket—tentunya dengan harga yang standar, tidak ada “permainan” di balik layar oleh para “oknum makelar tiket” ditambah oleh semakin baiknya pelayanan transportasi dan jalanan, pemudik pasti akan lebih memilih jasa transportasi umum, dibanding sepeda motor atau bahkan kendaraan pribadi. Namun kenyataannya, sejauh ini, mudik lebaran sepertinya menjadi “hantu blau” yang terus menerus membayangi pemikiran orang, soal kesemrawutan transportasi, jalanan yang macet, bahkan akses menuju pelabuhan menjadi pemandangan yang mengerikan yang seringkali membayangi pemudik. Namun anehnya, kondisi seperti ini tetap dijalani oleh sebagian masyarakat karena mereka pasrah dengan segala resiko yang harus mereka terima.

Mudik memang menjadi tradisi klasik masyarakat Indonesia yang sejauh ini entah bagaimana tak pernah diketemukan solusinya, soal bagaimana mengurai kemacetan, menambah kekurangan armada angkutan lebaran, persoalan kehabisan tiket dan jalanan yang dilalui pemudik yang selalu rusak dan diperbaiki dari tahun ke tahun, ini jelas pekerjaan besar yang memang tidak hanya tugas pemerintah, tetapi kesadaran seluruh warga masyarakat agar lebih peduli terhadap keamanan, kenyamanan dan kelancaran soal “permudikan”. “Yang penting bisa nyampe kampung, gimana kek caranya”, begitulah ungkapan pemudik ketika mentok sana-sini, tak dapat tiket, tak dapat angkutan mudik gratis, akhirnya mereka terpaksa menggunakan sepeda motor.   

Bagaimanapun, bayangan pemudik akan kemacetan, sulitnya mendapat tiket mudik, biaya yang dikeluarkan lebih mahal dari biasanya,  mau tidak mau tetap harus dijalani. Walaupun kadang telah memilih hari-hari tertentu untuk menghindari kemacetan, para pemudik tetap tak mampu menghindar dari setiap kemacetan yang terjadi dan dengan “terpaksa” tentunya tetap menikmati semrawutnya fenomena mudik lebaran. Mudik lebaran sepertinya tetap menjadi “hantu blau” yang tidak lagi “menakutkan” tetapi para pemudik yakin, bahwa hantu blau itu ada dan bersemayam  di sebuah momentum yang bernama mudik lebaran.

Saya kira, sulit memang mengatasi dan mencarikan solusi yang terbaik soal mudik lebaran, karena sesungguhnya tak berimbang antara sarana mudik dengan jumlah pemudik yang mencapai jutaan. Namun saya kira, perbaikan layanan transportasi yang lebih aman, nyaman, dan mudah serta jaminan memperoleh tiket, transparansi soal tiket, serta tidak adanya perbaikan ruas jalan hanya menjelang mudik lebaran, sudah cukup membangun kepercayaan dari masyarakat untuk lebih memilih kenyamanan dan keamanan bermudik lebaran. Meningkatnya pengguna sepeda motor sebagai kendaraan mudik setiap tahunnya, harus diganti oleh normalisasi harga tiket jelang lebaran dan ketersediaan armada publik angkutan lebaran yang mudah di dapat oleh masyarakat. Mudik adalah kejadian luar biasa di Indonesia yang juga harus ditangani secara luar biasa, terutama oleh pemerintah sebagai pemilik regulasi transportasi dan perihal layanan publik. Jangan menciptakan hantu blau dalam setiap mudik lebaran dan ini jelas tanggung jawab kita bersama walaupun pada kenyataannya memang teramat sulit.    

Wallahu a’lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun