Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih Artikel Utama

Mari Berpikir Waras untuk Pilkada Jakarta

18 April 2017   11:38 Diperbarui: 18 April 2017   21:27 1170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Debat Pilkada DKI Jakarta putaran kedua. Kompas.com

Masa tenang yang tinggal satu hari jelang pencoblosan di Pilkada DKI Jakarta sudah semestinya dimanfaatkan untuk tetap cooling down, berpikir jernih dan waras, mengontrol tensi dukungan yang berlebihan dengan berharap bahwa Jakarta akan dipimpin oleh mereka yang progresif, selalu menginginkan perubahan, dinamis, memiliki integritas, jujur, adil dan yang paling penting memiliki visi kerakyatan dan selalu mengemban misi kesejahteraan. 

Siapapun yang nanti terpilih, itulah kehendak rakyat dan seharusnya juga disadari bahwa kemenangan yang nanti hanya diperoleh salah satu pasangan, bukanlah hasil dari rekayasa, utak-atik, terlebih hasil sebuah kecurangan. Dua putaran di Pilkada Jakarta telah banyak menghabiskan energi rakyat, menyedot anggaran keuangan negara bahkan pada tahap tertentu telah membuka wawasan pendidikan politik yang sesungguhnya bahwa warga Jakarta butuh pemimpin yang baik dan juga tegas.

Momen Pilkada Jakarta terasa sangat penting karena disinilah rakyat bisa belajar berdemokrasi, memilih para pemimpin mereka berdasarkan “kebebasan” tanpa paksaan, rekayasa apalagi intimidasi. Walaupun di permukaan tampak terlihat gencarnya dan panasnya klaim dukungan yang diberikan kepada masing-masing kandidat, namun inilah proses demokratisasi sesungguhnya, bahwa memilih pemimpin politik adalah sebuah keniscayaan yang diatur dalam mekanisme pemungutan suara (vote) secara jujur dan adil yang dilakukan masyarakat. 

Biarlah masyarakat Jakarta yang memilih, tanpa harus melibatkan orang lain (outsider) yang mempunyai berbagai macam kepentingan untuk Jakarta. Hak warga Jakarta untuk memilih dan atau tidak memilih berdasarkan keyakinan yang mereka miliki, bukan pihak luar apalagi orang lain yang bukan warga Jakarta.

Adalah terlalu berlebihan, jika momen Pilkada Jakarta kemudian dijadikan ajang “politisasi” terlebih ketika dibenturkan dengan isu etnis, budaya atau agama. Pilkada atau pemilihan umum lainnya merupakan konsekuensi dari sebuah sistem pemerintahan yang demokratis untuk merotasi kepemimpinan politik secara berkala dan diatur dalam meknisme perundang-undangan. 

Tidak ada rotasi kekuasaan yang diatur secara prosedural dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, kecuali pemilihan umum yang dijalankan secara terbuka. Pilihan sistem demokrasi sejauh ini merupakan pilihan terbaik dan mencerminkan rasa keadilan yang dapat diterima semua pihak, karena setiap orang berhak memilih dan juga dipilih. Jika-pun kemudian terindikasi ada penyelewengan atau kecurangan, seharusnya menjadi pelajaran bersama bagaiman seharusnya berpolitik secara sehat, kompetitif dan menjalankan seluruh prosedurnya sesuai kesepakatan bersama.

Pilkada Jakarta serasa penting tidak hanya bagi warganya, tetapi bagi seluruh rakyat Indonesia yang menghendaki terciptanya sebuah sistem politik yang berkeadilan bebas dari berbagai macam intervensi, “pemaksaan” ataupun intimidasi. Tidak salah rasanya jika Jakarta dianggap sebagai “barometer” bagi sebuah sistem demokrasi yang lebih baik dan terukur. Terbukti, Jakarta memiliki daya sentripetal yang mampu menarik beragam kepentingan yang begitu besar untuk terlibat didalamnya. Seluruh afiliasi politik, para pebisnis, pemangku kepentingan bahkan kalangan agamawan dan rohaniwan tak luput mengikuti gerak sentripetal momentum Pilkada Jakarta. 

Momen Pilkada Jakarta serasa sangat begitu penting, hingga negara terlibat didalamnya ikut menyuarakan jaminan keamanan bagi seluruh proses dan aktivitas pemungutan suara yang akan digelar besok, 19 April 2017. “5 menit kita memilih, 5 tahun kan kita jalani”, demikian syair lagu Band Cokelat yang dapat diasosiasikan terhadap betapa pentingnya memilih pemimpin yang dapat menentukan kemajuan atau kemunduran untuk jangka lima tahun berikutnya.

Memberikan kesadaran dan pemahaman bahwa “memilih” merupakan hak pribadi seseorang yang tak dapat diintervensi terlebih diintimidasi oleh kepentingan apapun—termasuk kepentingan agama adalah keniscayaan dalam sebuah kerangka negara-bangsa (nation-state). Memotivasi pemilih justru berkait dengan sisi kredibilitas dan integritas para calon pemimpinnya soal siapa yang harus didukung berdasarkan orientasinya terhadap kesejahteraan dan kemajuan rakyat. 

Hal ini jelas akan berimbas pada proses 5 tahun setelahnya, dimana kesalahan memilih jelas berdampak terhadap kerugian yang akan dirasakan pada akhirnya. Masyarakat jelas diarahkan dan disadarkan agar “tidak  salah pilih” dalam memberikan suaranya kepada pemimpin yang tidak pro-rakyat, menggunakan kecurangan melalui money politics atau mengintimidasi para pemilih.

Kita pada akhirnya dituntut untuk menggunakan kewarasan berpikir dalam hal menentukan pemimpin. Kewarasan terletak pada keyakinan yang dibawa oleh masing-masing pemilih berdasarkan kriteria seorang pemimpin yang sudah tertanam dalam benak mereka masing-masing. Tidak ada paksaan dalam memilih dan lebih jauh tidak ada pemaksaan dalam hal keyakinan dan agama. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun