Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kekhalifahan HTI versus ISIS, Mana Lebih Berbahaya?

17 Juli 2017   13:29 Diperbarui: 17 Juli 2017   16:44 1716
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kegaduhan soal pembubaran ormas HTI terletak pada persepsi negara yang menganggap bahwa ide kekhalifahan yang diusung HTI bertentangan dengan ideologi Pancasila. Sejauh ini, ormas HTI disebut sebagai kelompok propagandis yang menyebarkan ide kekhalifahan sebagai alternatif sistem kepemimpinan politik yang mampu menggantikan sistem demokrasi Barat. Walaupun dalam tataran praksis-politik, ideologi khilafah HTI sangat sulit diwujudkan, mengingat tidak seluruh umat muslim sepakat, bahwa ide kekhalifahan yang merujuk kepada sejarah keemasan Islam masa lalu adalah benar-benar perwujudan nyata dari sebuah sistem negara-bangsa. Lalu, jika melihat pada konteks ISIS, ide kekhalifahan sejatinya terwujud---minimal di kalangan mereka---dimana pemimpin mereka Abu Bakar al-Baghdadi dinobatkan sebagai khalifah yang konon saat ini digantikan oleh Abu Haitham al-Hobaidi, mantan militer Irak pada masa pemerintahan Saddam Husein.

Lalu muncul sebuah pertanyaan, apakah ada kaitan ide kekhalifahan HTI dengan kekhalifahan ISIS? Saya kira tidak, karena ISIS telah mengangkat khalifahnya sendiri dan diakui sebagai pimpinan tertinggi di kalangan mereka. HTI melakukan propaganda ide kekhalifahan mungkin tak jauh berbeda dengan berbagai kelompok lain yang juga mempropagandakan ideologi lainnya, walaupun secara terselubung, seperti kebebasan atau liberalisme, atheisme, komunisme, LGBT atau kesetaraan gender. Saya pernah bertanya kepada salah seorang teman yang juga mempunyai kedekatan dengan para aktivis HTI, soal siapa yang seharusnya pantas diangkat menjadi khalifah. Jawaban yang saya peroleh justru berbeda dengan kenyataan, dimana kekhalifahan menurutnya bukan bersifat personal, tetapi sistem, sehingga siapapun berhak diangkat menjadi khalifah.

Ketika ditanya soal adakah hubungan mereka dengan ideologi yang sejauh ini digaungkan ISIS, mereka jelas menolak, karena mereka tidak pernah mengakui pemimpin ISIS sebagai khalifah sebagaimana yang mereka propagandakan selama ini. Bagi saya, ide kekhalifahan ISIS yang nyata-nyata terwujud dengan mengangkat secara resmi Al-Hobaidi sebagai pemipin baru pengganti Al-Baghdadi jelas berbahaya, karena selain bertentangan dengan ide kekhalifahan Islam yang bertugas sebagai "wakil Tuhan" untuk mensejahterakan bumi, khalifah ISIS menyeru untuk menghancurkan, membuat teror dan membuat kerusakan di muka bumi. Menariknya, bahwa para pelaku teror yang ditangkap aparat belakangan ini, justru telah berbaiat kepada ISIS sebagai kiblat perjuangan jihadi mereka. Kenapa mereka tidak berbaiat kepada HTI? Jika dianggap sesuai dengan ideologi mereka? Pertanyaan ini mudah dijawab, karena HTI hanya berhenti pada tataran ideologi, tidak beranjak jauh pada tataran aksi sosial-politik.

Saya beberapa kali terlibat berdiskusi dengan teman-teman yang memiliki afiliasi dengan ormas HTI, saya akui cara mereka memberikan analisa soal bagaima persoalan-persoalan sosial-politik kontemporer sangat menarik, meskipun dalam banyak hal, ideologi kekhalifahan yang diusung HTI sangat bertentangan dengan pemikiran saya sendiri. Bagi saya, inilah ruang ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dalam sejarah panjang peradaban Islam sangatlah dihargai. Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar, setuju atau menolak sudah menjadi hal biasa, selama masing-masing memberikan argumentasinya secara terukur dan ilmiah, serta tidak menyalahkan pihak lain yang tak sependapat. Diskusi yang beberapa kali saya lakukan, tidaklah menjadi ajang kebencian atau permusuhan secara terbuka, tetapi justru saling menguatkan dan ini menjadi bagian dari wilayah ijtihadi masing-masing yang harus dihormati, tanpa menjatuhkan, menyalahkan atau memerangi ideologi lain yang berbeda.

Bagi saya, siapapun boleh tidak sepakat dengan ide kekhalifahan HTI atau nyinyir terhadap simbolisasi politik agama yang tampak pada ormas HTI, tetapi saya dan kita akan lebih sepakat bahwa ide kekhalifahan yang dipropagandakan ISIS yang menularkan radikalisasi agama dengan konsep jihadi menebarkan kekerasan dan teror adalah hal yang sangat-sangat berbahaya. Seringkali kebencian membuat kita tidak adil terhadap pihak lain, sehingga banyak diantara kita yang cenderung kurang obyektif dalam memandang sebuah realitas sosial. Padahal, obyektivitas tentu akan berguna mengurangi efek kebencian yang terlanjur tertanam dalam diri kita sendiri dan kita akan lebih jernih dan adil dalam memandang setiap permasalahan.

Kekhawatiran pemerintah terhadap ideologi khilafah yang dipropagandakan HTI jelas sangat beralasan, walaupun tak bisa juga dihubungkan dengan ideologi ISIS soal kekhalifahan yang memang berbahaya. Para penolak ide kekhalifahan HTI jelas didukung oleh kalangan muslim moderat, terutama NU yang selama ini mempunyai pengalaman buruk dengan berbagai ormas Islam yang dianggap "garis keras". Bagi NU, keberadaan ormas "garis keras" sama halnya dengan menohok tradisi keberagamaan mereka yang cenderung mengabaikan eksistensi para kiai, tak mau kompromi dengan kekuasaan dan dalam banyak hal, memiliki pertentangan secara ideologis. Islam moderat yang sejauh ini digaungkan NU, jelas terganggu oleh berbagai propaganda yang berbau "politisasi agama" termasuk ide kekhalifahan yang disuarakan ormas HTI.

Namun demikian, kebencian terhadap pihak lain, terlebih hanya sebatas karena perbedaan pendapat tidaklah kemudian menjadi alasan yang mendorong pihak tertentu untuk sepakat memberangus ideologi yang dianggap bertentangan dengan mereka. Bagi saya, perbedaan adalah sunnatullah, sebuah takdir yang telah digariskan Tuhan kepada umat manusia sebagai upaya dalam menyeimbangkan kosmos. Setiap perbedaan seharusnya menjadi ikatan penguat solidaritas, bukan pemecah. Selama kita masih menghargai setiap perbedaan, pun perbedaan ideologi terlebih perbedaan pendapat, maka harmonisasi kehidupan akan tampak lebih indah dan bernilai.

Saya sepakat bahwa ideologi ISIS dengan beragam perangkatnya yang membawa radikalisasi jauh lebih berbahaya dan sudah seharusnya ditangkal melalui beragam cara. Termasuk saya sepakat ketika ideologi HTI memiliki kaitan dengan ideologi ISIS yang menebarkan radikalisasi yang mengancam eksistensi negara, haruslah diberangus dan tentu saja dilakukan pembubaran kepada organisasinya. Negara tetaplah bijak dan tidak berlaku otoriter terhadap organisasi manapun selama tidak masuk dalam kategori berbahaya dan mengancam ideologi negara. Bagi saya, pembubaran ormas radikal yes, otoritarianisme no! Kebijakan negara soal pembubaran ormas apapun harus tetap mengacu pada prinsip-prinsip demokrasi yang tidak melabrak kebebasan berpendapat masyarakat.

ISIS memang telah merepotkan banyak negara, terutama soal penyebaran ide radikal yang marak di media sosial dan mudah diakses masyarakat. Pemblokiran terhadap aplikasi Telegram yang ditengarai menjadi ajang penyebaran ide-ide radikal juga masuk akal, ketika pemerintah Indonesia sepakat menutupnya dengan dalih menjaga keamanan negara. Namun benarkah hanya Telegram yang disusupi teroris untuk menyebarkan ide radikalismenya? Bagaimana dengan aplikasi medsos lain, seperti Facebook, Instagram,Whatsapp, apakah terbukti "bersih" dari aksi propaganda radikalisme? Bukankah ujaran kebencian dan propaganda yang mengarah radikalisasi juga menjadi pemandangan terbiasa di berbagai aplikasi medsos ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun