Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kampus dan Radikalisme

23 Mei 2017   15:12 Diperbarui: 23 Mei 2017   19:50 1543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Beberapa media mungkin agak sedikit tendensius ketika menyebut bahwa benih-benih radikalisasi tumbuh dari masjid kampus, namun bagi saya, masjid hanyalah sebatas sarana yang kebetulan dapat dimanfaatkan untuk kajian-kajian keislaman yang “fundamental”. Karena sebenarnya radikalisasi tidak tumbuh dimulai dari masjid-masjid kampus itu sendiri, tetapi dari kelompok-kelompok diskusi yang memang lebih ditajamkan pada soal-soal keislaman yang cenderung fundamental. Hal ini saya asumsikan berdasarkan penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) pada tahun 2011 yang menyebut bahwa paham keagamaan di lima universitas negeri terkemuka kian fundamental, tanpa secara spesifik menyebut “masjid kampus” sebagai ladang pegiat radikalisasi.

Di salah satu kampus di kawasan Tangerang Selatan, Banten, saya menemukan beberapa modus bagaimana mereka menjalankan serangkaian aktivitasnya, diantaranya mengajak mahasiswa atau mahasiswi yang terlihat “lugu”, non-aktivis kampus, atau “orang rumahan” untuk berdiskusi bersama mereka. Awalnya sederhana saja, para pegiat paham fundamentalis ini berkenalan terlebih dahulu kemudian meminta waktu untuk sedikit berbincang-bincang mengenei tren soal isu keislaman yang aktual dan sering diperbincangkan publik. Memang, tidak semua mahasiswa yang mereka temui menyambut dengan baik ajakan mereka, karena ada juga yang langsung menolak dengan berbagai macam alasan yang mereka ungkapkan.

Modus lainnya adalah beberapa orang yang sudah menjalani serangkaian diskusi dan kegiatan keagamaan dan masuk dalam lingkaran paham fundamentalisme, akan mengajak rekan-rekannya yang lain agar ikut bergabung dengan kelompok diskusi yang mereka ikuti sebelumnya. Umumnya beberapa diskusi membahas secara umum soal tema keagamaan Islam yang menggugah peningkatan beretika dan moralitas dan lambat laun lebih tajam menggugah semangat untuk melakukan kritik terhadap kemapanan paham keagamaan yang sebelumnya ada. Dari serangkaian diskusi yang dilakukan, kemudian dapat disimpulkan bahwa apa yang kita tahu soal Islam sejauh ini, dan seluruh praktek keagamaan yang kita lakukan, menurut mereka justru terdapat banyak kesalahan dan tentu saja harus dirubah sesuai pemahaman yang berkembang di kalangan mereka sendiri. Paham keagamaan yang fundamentalis, tidak hanya memberikan koreksi dan kesalahan pada pemahaman keislaman kelompok lainnya, tetapi lebih dari itu, paham fundamentalisme agama selalu mempertentangkan dengan kenyataan sebuah ideologi negara.

Maraknya radikalisasi dari kampus yang kian menguat, membuat berbagai pihak kampus kemudian mulai membatasi berbagai aktivitas yang berasal dari luar kampus untuk dibawa ke dalam kampus. Hal inilah yang dilakukan oleh rektor Institut Teknologi Bandung (ITB) untuk melarang seluruh kegiatan yang berasal dari luar kampus untuk beraktivitas di lingkungan kampus, termasuk membatasi kajian keagamaan yang diselenggarakan oleh Masjid Salman ITB. Saya kira, keberadaan Masjid Salman sejauh ini banyak diketahui publik seringkali mengajarkan paham-paham radikalisme Islam yang membentuk para aktivis “Islam Radikal” yang kemudian menyebarkannya kepada pihak lain di lingkungan kampus. Walaupun sejauh mana tingkat radikalisme keagamaan yang diajarkan, jelas masih butuh penelitian lebih lanjut.

Sejauh ini, memang banyak pihak kampus yang kemudian berupaya dengan beragam cara untuk membendung arus radikalisasi, baik dengan memperkaya kajian-kajian yang bersifat akademik ataupun melalui pengangkatan dan penguatan tema-tema kebudayaan yang dibahasakan secara agama, seperti yang dilakukan oleh Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta. Namun demikian, pemahaman radikal yang kemudian membentuk seseorang adalah karena memang dasar-dasar pemahaman keagamaan yang dimiliki oleh mereka sangatlah minim, atau malah tidak ada sama sekali. Kebanyakan mereka hanya belajar agama dari pelajaran-pelajaran agama di sekolah secara formal, sehingga tidak bisa membentuk secara utuh pemahaman yang kuat pada dasariah keagamaan mereka.

Inilah saya kira, yang kemudian dapat lebih mudah memetakan kampus-kampus mana saja yang kemudian berhasil mencetak generasi berpaham radikal dan siapa saja sasaran yang mudah disusupi oleh paham-paham seperti ini. Kampus-kampus yang memiliki fakultas-fakultas umum dan non-agama, justru paling rentan disusupi pegiat radikalisasi. Hal ini dikarenakan, latar belakang mahasiswanya yang nota bene minim pemahaman agama Islam, sehingga menyemai paham radikalisme agama bak gayung bersambut bagi mereka, karena hal ini dianggap sebagai “nuansa baru” memupuk semangat keberagamaan mereka. Walaupun tak dapat dipungkiri, bahwa kampus-kampus keagamaan Islam-pun tak luput dari target penyemaian benih-benih radikalisme agama, walaupun tak semarak kampus-kampus yang non-agama.

Memang sulit untuk dipungkiri bahwa kemudian komunitas kajian keagamaan yang berpaham radikal justru memanfaatkan kelengahan masjid kampus yang secara umum terbuka bagi siapapun untuk menggelar diskusi-diskusi keagamaan. Umumnya, para pengurus (takmir) masjid di lingkungan kampus berlatarbelakang mahasiswa dan mereka cenderung menganggap diskusi-diskusi yang digelar adalah kegiatan internal kampus, bukan kegiatan yang berasal dari luar kampus. Namun, belakangan setelah diketahui bahwa lahirnya paham radikalisme justru lahir dari masjid lingkungan kampus, kiranya memang perlu memperketat dan menyeleksi diskusi keagamaan agar tidak diisi oleh kajian-kajian keagamaan yang cenderung radikal. Sejalan dengan laporan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyebutkan bahwa masjid kampus saat ini menjadi target penyusupan paham radikal, sehingga perlu pencegahan lebih dini dari pihak kampus yang dimulai dari penyeleksian kajian keagamaan di masjid-masjid kampus.

Masjid memang sudah seharusnya dikembalikan ke kedudukannya semula, sebagai tempat menyemai benih-benih keagamaan yang mendukung aspek-aspek kedamaian dan moralitas sesuai fungsinya sejak zaman Nabi Muhammad dahulu. Diskusi-diskusi keilmuan dan keagamaan dipergunakan sebagai ajang literasi umat, menambah wawasan keilmuan dan keagamaan serta membentuk kepribadian seorang muslim yang saleh. Kesalehan jelas akan berdampak pada pola pikir, tindak-tanduk serta cara pandang seorang muslim yang luwes, moderat dan tentu saja tidak “kaku” dalam memandang keniscayaan sebuah perbedaan. Seseorang yang dibekali keluasan ilmu agama, pasti tidak akan mudah dengan cepat menyalahkan orang lain atau menganggap segala hal yang berbeda sebagai sesuatu yang harus “dilawan”. Kesalehan akan berangkat dari pemahaman agama yang “kontekstual” tanpa harus “kaget” dengan situasi dan kondisi kekinian.

Prinsip radikalisme jelas mengarah pada sebuah “perlawanan” atas perbedaan cara pandang, cara hidup atau cara memahami agama yang berangkat dari kecenderungan “tekstual” sehingga abai terhadap realitas kekinian yang selalu berubah. Padahal, jelas prinsip Islam sebagaimana yang dibawa Nabi Muhammad adalah rahmatan lil alamin yang harus mampu menjawab berbagai tantangan zaman. Mengembalikan kondisi kekinian ke kondisi masa lalu secara ketat justru adalah sebuah kemunduran bukan kemajuan. Kembali kepada al-Qur’an dan Sunnah tidak selalu setback mengadopsi kehidupan masa lalu, tetapi bagaimana keduanya—al-Quran dan Sunnah—justru tetap hidup di tengah derasnya arus modernisasi dan globalisasi. Mencegah radikalisasi, berarti dimulai dari diri sendiri agar membuka wawasan keagamaan secara lebih luas, tidak dipersempit oleh paham-paham fundamentalisme. Kembalikanlah fungsi masjid sebagai penyemai wawasan keagamaan secara kontekstual, jangan memenjarakan diri sendiri dengan paham keagamaan yang sekadar tekstual.

Wallahu a'lam bisshawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun