Mohon tunggu...
Syahirul Alim
Syahirul Alim Mohon Tunggu... Penulis - Penulis Lepas, Penceramah, dan Akademisi

Penulis lepas, Pemerhati Masalah Sosial-Politik-Agama, Tinggal di Tangerang Selatan

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Menghijrahkan Manusia Melalui Tahun Baru Islam

20 September 2017   11:44 Diperbarui: 20 September 2017   18:31 3851
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber ilustrasi: wallpapers-web.com

Besok adalah bertepatan dengan tanggal 1 Muharram, bulan yang disebut-sebut sebagai peristiwa pertama kalinya Rasulullah hijrah dari Mekkah ke Madinah. Bulan Muharram jelas memiliki peristiwa sejarah bagi umat muslim, bukan sekadar ia menjadi bulan hijrahnya Nabi Muhammad, tetapi bulan dimana terlarang bagi seluruh kabilah di Arab untuk melakukan peperangan. Awal bulan Muharram juga diabadikan sebagai Tahun Baru Islam, merujuk pada perdebatan Umar bin Khattab dengan para sahabat lainnya ketika harus menetapkan sejak kapan tahun baru Islam dimulai. 

Sejarah mencatat, bahwa Umar mendasarkan analisanya pada peristiwa hijrah pertama Rasulullah yang dilakukan bertepatan dengan berakhirnya "asyhurul hurum" (bulan-bulan yang dihormati). Pendapat Umar kemudian diamini oleh seluruh umat muslim dan ditetapkanlah Muharram sebagai Tahun Baru Islam, yang merujuk pada peristiwa hijrahnya Rasulullah.

Menarik menelusuri sejarah kenapa Tahun Baru Islam dimulai ketika Rasulullah pertama kali hijrah dan bukan dimulai dengan tahun kelahiran Rasulullah sendiri. Hal ini mengindikasikan paling tidak, bahwa umat muslim menghindari pengkultusan berlebihan kepada Nabinya dan jelas terbukti sampai saat ini, Nabi tidak pernah dikultuskan. Sosok Nabi Muhammad hanya dijadikan panutan dan teladan terbaik yang kemudian diikuti oleh umat muslim. Kelahiran Rasulullah pada bulan Rabi'ul Awwal tidak disebut secara spesifik sebagai awal tahun dalam Islam, hal ini dapat ditelusuri dari sebuah hadis yang berasal dari Azzuhriy, bahwa ketika Nabi sampai di Madinah, maka diperintahkan untuk mulai menetapkan penanggalan yang dikenal dengan kalender hijriyah.

Sebuah penanggalan atau kalenderisasi tentu sangat terkait dengan peristiwa sejarah, sama halnya ketika penanggalan Masehi dimulai berdasarkan perhitungan Julian dan Gregorian. Istilah "Masehi" jelas memiliki kedekatan dengan sejarah kelahiran Nabi Isa Al-Masih. Penanggalan Masehi jelas mendasarkan penanggalannya dari sejarah kelahiran Nabi Isa, karena istilah "mesiah" jelas merujuk pada diri Nabi Isa sendiri. Ketika Masehi lekat dengan kelahiran Nabi Isa, maka Hijriyah atau kalenderisasi Islam tidak dikaitkan dengan kelahiran Rasulullah, tetapi lebih kepada sebuah peristiwa besar dalam sejarah Islam, yaitu hijrahnya Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Ali bin Abi Thalib bahkan menyatakan, rasionalisasi hijrahnya Nabi sebagai awal tahun dalam kalender Islam, lebih besar maknanya ketimbang kelahiran atau pengangkatan Muhammad sebagai Rasul.

Terlepas dari beragam perbedaan pendapat yang ada dalam catatan sejarah Islam mengenai hal tersebut, namun saya meyakini, bahwa hijrah merupakan peristiwa penting yang sangat besar dalam sejarah Islam awal. Hijrah tidak saja diartikan sebagai proses perpindahan (move on) dari satu titik ke titik lainnya, tetapi lebih dari itu, hijrah berarti membebaskan seluruh belenggu kehidupan yang memenjarakan diri manusia, sebebas-bebasnya. Kita tentu menyadari, bahwa seluruh organ tubuh dalam manusia ini seluruhnya dinamis, tak ada yang pernah diam walaupun satu detik. Seluruh organ tubuh seperti mata, telinga, mulut, jari seluruhnya tak pernah diam, terlebih emosi yang menggerakkan seluruh daya jiwa dan pikiran sehingga menimbulkan rasa suka, duka atau benci. Tanpa kita sadari, bumi yang kita pijak-pun bertawaf, tak pernah diam, terus mengelilingi matahari.

Relevansi hijrah yang dinamis kemudian diambil sebagai dasar filosofi perhitungan tahun yang menyertai setiap inci perjalanan kehidupan manusia, bayangkan jika bukan hijrah yang dijadikan patokan kelenderisasi Islam, tetapi kelahiran Rasulullah atau ditetapkannya beliau sebagai Rasul, tentu makna perhitungan kehidupan manusia kosong tak memiliki makna apapun. 

Hijrah, dengan demikian sangat sarat makna, memiki dasar filosofis yang menunjukkan ritme kehidupan manusia yang selalu dinamis dari masa ke masa. Sejatinya manusia adalah mahluk hijrah atau peziarah bukan hidup statik dan terkungkung dalam penjara kehidupannya. Man is a traveler being, tanpa kita sadari, kita harus berada di satu tempat dan berpindah ke tempat lain, bertemu orang lain, berbagi pengalaman, peradaban maupun ilmu pengetahuan.

Ketika mengambil pada makna hijrah Rasulullah, jelas tergambar bahwa beliau menghindari kecamuk peperangan, kezaliman para penguasa sekaligus menghindari untuk sementara waktu dari berbagai tekanan ekonomi-politik yang cenderung tak pernah membaik di bawah rezim penguasa Mekkah waktu itu. Rasulullah mencari tempat terbaik yang lebih kondusif, mengumpulkan kekuatan energi seraya fokus pada perbaikan umat, sehingga seiring berjalannya waktu, kekuatan umat muncul, lebih solid dan terukur untuk membangun peradaban kemanusiaan yang lebih baik. 

Hal ini dibuktikan sekembali hijrah Nabi Muhammad dari Madinah ke Mekkah, bukan penaklukan yang dilakukan, tetapi pembebasan Mekkah dari berbagai kezaliman dan tekanan fisik para penguasa. Peristiwa pasca hijrah dikenal dengan sebutan "futh Mekkah" yang berkonotasi "pembebasan Mekkah" dari penguasa zalim dan pembebasan dari kebodohan, amoralitas serta kekufuran.

Setiap pergantian tahun di Tahun Baru Islam, kita semestinya selalu diingatkan akan suasana hijrah yang sedemikian sarat makna, bahkan tak hanya dimaknai secara lahiriyah, tetapi juga batiniyah. Hijrah lekat dengan dinamisasi kehidupan manusia yang tak boleh stagnan apalagi cenderung tertutup. Hijrah berarti membebaskan diri dari seluruh belenggu kehidupan yang negatif, baik dalam artian fisik maupun non-fisik, menuju kepada kehidupan yang lebih positif, penuh suasana dinamis, terbuka, saling membebaskan antarbelenggu yang memenjarakan kehidupan setiap manusia. 

Dengan memahami hijrah, seharusnya tak ada lagi kekakuan dalam beragama maupun berideologi. Tujuan akhir hijrah Nabi adalah "pembebasan" dari belenggu kebodohan, kezaliman dan kekufuran. Tak ada lagi kekerasan, intoleransi, berebut klaim kebenaran ideologis, karena hijrah bukan "memaksa" apalagi "menaklukan", tetapi ia bertujuan untuk "membebaskan" manusia dari segenap belenggu negatif yang mengikatnya.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun