Mohon tunggu...
Sutjipto
Sutjipto Mohon Tunggu... -

Penulis Buku: Larasati

Selanjutnya

Tutup

Cerita Pemilih

Surat Putih Buat Ahok

22 Februari 2017   11:40 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:25 1635
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Pepatah lama mengajarkan kita “mulutmu harimaumu”. Pepatah tersebut berisi pengajaran tentang bagaimana kita harus mengontrol lidah supaya tidak menyinggung dan melukai perkataan orang. Sebab, tuah buruk dari perkataan yang kasar dan tidak sopan akan kembali kepada yang mengucapkan.

Kalau saja Ahok memahami pepatah lama itu, tentu dia akan menjaga mulutnya dari berkata-kata kasar yang mengabaikan sopan santun dan perasaan orang lain. Seandainya saja, Ahok memperhatikan pepatah bijak itu, Jakarta mungkin tidak akan segaduh ini dibuatnya.

Pepatah memang bukan dibuat sembarang, tapi melalui pengajaran yang panjang. Karena itu, sesederhana apa pun kedengarannya, pepatah itu benar adanya. Kebenaran pepatah tersebut terjadi pada diri Ahok. Gara-gara dia tidak bisa menjaga mulutnya, harimau kalem yang suka adem-ayem bernama Ummat Islam dibuat garang oleh perkataan Ahok. Bagaima tidak, dia menyinggung-nyinggung kitab suci ummat Islam. Seharusnya Ahok sadar, umat Islam itu kekuatan terbesar bangsa ini. Jadi, jangan main-main membangunkan macan tidur.

Tapi, ya begitulah Ahok. Mungkin karena merasa didukung kekuasaan, dia jadi jumawa sehingga mengabaikan kesantunan dalam berkata-kata. Sayangnya, meski sudah mendapat pelajaran, Ahok tidak kapok-kapok. Dia terus menerus mengulangi kata yang membuat kejatuhannya hari ini, yakni kata “BOHONG”.

Dia harus bolak-balik ke persidangannya di pengadilan karena menggunakan kata itu pada kitab suci ummat Islam. Selama debat Pilkada putara pertama kemarin, tidak jarang dia menggunakan kata itu untuk mendeskreditkan lawan politiknya, seperti yang dialami pasangan Sylviana Murni. Hari ini, dia juga mengulangi kata itu untuk Anis Baswedan. Dia mengatakan Anis berbohong kalau tidak melakukan normalisasi seandainya menjadi gubernur. 

Kalau Ahok mau mengatakan strategi pak Anis itu tidak mungkin terwujud, cukup dengan mengatakan “itu tidak realistis”. Sayang, Ahok tidak mengenal kekuatan kata-kata, baik untuk menghancurkan maupun untuk menghidupkan. Ahok tidak mengajarkan kepada warga DKI Jakarta untuk berkata baik, sopan, dan tidak kasar. Jika Ahok tidak merubah caranya berkata-kata, maka kita takutkan Ahok akan menjadi contoh yang buruk bagi warga DKI Jakarta, terutama anak-anak dan generasi remajanya. Anak-anak akan berani berkata “ibu bohong, bapang bohong, ibu-bapak guru bohong, kakak bohong” dan seterusnya.

Kalau Ahok tidak bisa merubah sikap dan caranya berkata-kata, maka satu-satunya cara adalah mengentaskannya dari ruang publik kita. Jangan sampai dia terlalu sering muncul di ruang publik kita dengan muka masam, kata-kata kasar, dan gesture sombong, seperti yang biasa dia pertunjukkan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerita Pemilih Selengkapnya
Lihat Cerita Pemilih Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun