Mohon tunggu...
Sutardjo Jo
Sutardjo Jo Mohon Tunggu... Konsultan - Penggiat dan Pemerhati Desa dan Kawasan Perdesaan

Penggiat dan Pemerhati Desa

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Tantangan Desa Menuju Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) 2015

8 Oktober 2014   18:52 Diperbarui: 17 Juni 2015   21:53 4073
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun silam kita diingatkan pada maraknya berita tentang berbagai kasus pekerja imigran gelap dan peredaran produk/barang ilegal yang merajai pasaran di Indonesia, yang cukup menyetil pemikiran kita, setidaknya perlu kami ingatkan kembali bahwa ada 2 kasus dalam  pemberitaan media, yang penting kita renungi kembali yaitu :


  1. Pada tahun 2011 sebanyak 60 warga negara asing (WNA) asal China yang bekerja secara ilegal di Proyek Pembangunan PLTU Palabuhanratu Kabupaten Sukabumi meskipun akhirnya dideportasi ke negara asalnya. Berita ini cukup menggemparkan masyarakat sukabumi saat itu, terlebih pekerja asing yang bekerja pada proyek tersebut ternyata di dominasi pekerja kasar seperti tukang angkut, gali dan pekerjaan kasar lainnya yang sebenarnya bisa dilakukan oleh masyarakat setempat di sekita proyek Pembangunan PLTU.
  2. Pada kejadian lain terkait beredarnya produk impor, Bayu krisnamurti Wakil Menteri Perdagangan pada saat kunjungan di Manado beliau sampaikan bahwa sejak Januari hingga Juni 2012 terdapat 404 kasus pelanggaran barang beredar di pasaran yang tidak sesuai ketentuan (bermasalah ) dan dari barang yang beredar ini ditemukan 66,25 persennya atau 267 adalah kasus barang impor.

Dua Kasus diatas tentunya bukan hanya kejadian yang hanya terjadi di Sukabumi dan Manado, kejadian itu merupakan contoh kasus saja yang juga terjadi di wilayah negara kita, ini sebagai dampak semakin terbukanya arus informasi dan pasar bebas yang sudah memasuki wilayah nusantara, terutama setelah ditandataganinya ratifikasi persetujuan pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994. Seperti kita ketahui WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 dimana sistem perdagangannya sendiri telah ada dan di sepakati sejaktahun 1948 melalui General Agreement on Tariffs and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan, sistem ini tentunya berdampak pada penurunan tarif pajak atas bea masuk, sehingga peredaran barang di wilayah Belahan Dunia ini tidak akan ter-elakan lagi masuknya berbagai produk luar dan  yang masuk ke wilayah negara kita.

Di Wilayah ASEAN diawali dengan disepakati terbentuknya ASEAN Free Trade Area (AFTA) sebagai kesepakatan dari negara-negara ASEAN untuk membentuk suatu kawasan bebas perdagangan dalam rangka meningkatkan daya saing ekonomi kawasan regional ASEAN dengan menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia sertaserta menciptakan pasar regional bagi 500 juta penduduknya.Kesepakatan yang di bangun di negara-negara ASEAN diantaranya berupa penurunan tarif hingga menjadi 0-5%, penghapusan pembatasan kwantitatif dan hambatan-hambatan non tarif lainnya, selanjutnya AFTA menyepakati menghapus semua bea masuk impor barangyang akan berlaku tahun 2015 sehingga tahun ini merupakan awal kebangkitan ASEAN sekaligus ujian bagi negera-negara di ASEAN untuk menunjukan eksistensi dalam membangun kompetisi di tingkat ASEAN sebelum memasuki era perdagangan bebas lebih lanjut, sebagai konsekwensi perdagangan Bebas dunia yang telah di ratifikasi oleh negara-negara ASEAN untuk memasuki era perdagangan bebas dunia –dimana indonesia sebagai salah satu pendiri WTO ( World Trade organzation ).

Era Perdagangan global yang ada saat ini membuka peluang untuk terbukanya pasar bebas lintas antar negara. Masing-masing negara memiliki peluang besar untuk saling mengisi kebutuhan di dalam negeri, baik dari segi infrastruktur maupun suprastruktur. Globalisasi yang diserta  dengan gelombang arus kemajuan teknologi, serta Perkembangan teknologi informasi dan transportasi kian meningkat sehingga membuat batas-batas antar negara semakin semu. Jalur lalu lintas pun semakin mudah untuk diakses.

Semakin terbuka lebarnya jalan lalu lintas antar negara pada era ini menciptakan meningkatnya mobilitas barang dan manusia antar satu negara ke negara lain.Dalam memenuhi kebutuhannya, secara tidak langsung negara membuka lebar pintu masuk dan akses ke dalam ruang lingkup batasan negara. Secaraindividual maupun kelompok dengan mudah melakukan perjalanan dari satu negara ke negara lain dengan berbagai kepentingan. Dengan fenomena ini, berbagai usaha dilakukan untuk tetap menjaga keamanan dan stabilitas negara, seperti menetapkan peraturan-peraturan tentang keimigrasian, walau masih banyak terdapat lubang-lubang hitam yang dapat dimanfaatkan oleh pihak-pihak tertentu untuk secara ilegal dimanfaatkan demi kepentingan pribadi.

Era globalisasi kemudian memunculkan potensi untuk terjadinya penyimpangan-penyimpangan. Akses yang mudah dan peraturan yang lunak dapat dipermainkan sehingga menimbulkan suatu praktek kejahatan lintas negara.Kejahatan lintas negara ini sejatinya sudah ada sejak dahulu, tetapi sesuai perkembangan jaman, pelbagai inovasi dan kreatifitas telah dilakukan oleh para pelanggar sehingga kejahatan lintas negara pun tidak di elakan lagi muncul dalam bentuk-bentuk yang teroganisir dengan melibatkan banyak pihak, baik dari dalam maupun luar negeri.

Kejahatan lintas negara, atau yang dikenal dengan istilah kejahatan transnasional menimbulkan banyak kerugian bagi suatu negara, bahkan bagi daerah-daerah tertentu di dalam negara tersebut.Pelbagai penyimpangan yang dapat dilakukan, seperti pengeksploitasian sumber daya (sumber daya alam dan sumber daya manusia) yang  berlebihan sehingga bedampak kepada prilaku sosial yang ada dunia, dengan munculnya atau menguatnya masalah-masalah, seperti kemiskinan, konflik, dan kerugian lainnya yang bersifat materi. Bencana alam pun menjadi salah satu masalah yang kemudian dipertanyakan sebab-musabab munculnyaterkait dengan praktek kejahatan antar bangsa yang mengakibatkan adanya kerusakan lingkungan. Dengan demikian, kejahatan transnasional“berhasil” menjadi masalah bersama, masalah di negara-negara dunia; menjadi masalah nasional dan internasional.

Indonesia sebagai salah satu negara diperlintasan benua besar di dunia tentunya memiliki potensi yang kuat untuk terjadinya praktek kejahatan transnasional.Kejahatan transnasional bukan hanya didorong oleh faktor perdagangan bebas.Tidak saja Kejahatan transnasional, Indonesia tentunya secara konsekwensi pasar di hadapkan pada persaingan global.

Tantangan terdekat Indonesia memasuki era AFTA yang melahirkan Masyarakat Ekonomi ASEAN ( MEA ) di tahun 2015 tentunya harus di sikapi dengan upaya meningkatkan daya saing pelaku usaha dan sumber daya manusia

Presiden Susilo Bambang Yudoyono telah menerbitkan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2014, dalam dalam upaya untuk meningkatkan daya saing nasional dan kesiapan menghadapi pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) yang akan dimulai akhir 2015, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 1 September 2014 selanjutnya telah menandatangani Instruksi Presiden Nomor 6 Tahun 2014 tentang Peningkatan Daya Saing Rangka Menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN.

Dikutip dari laman setkab.go.id, Minggu (14/9), melalui Inpres No 6 tahun 2014, SBY meminta kepada para Menteri Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) II, Sekretaris Kabinet, Jaksa Agung, Kapolri, para Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian (LPNK), para Gubernur, dan para Bupati/Walikota di seluruh Indonesia, untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai dengan tugas, fungsi, dan kewenangan masing-masing secara terkoordinasi dan terintegrasi untuk melakukan peningkatan daya saing nasional dan melakukan persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN yang akan dimulai pada Tahun 2015.

Pelaksanaan peningkatan daya saing nasional dan persiapan pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagaimana dimaksud berpedoman pada strategi di antaranya:

1.Pengembangan Industri Nasional yang berfokus pada: a.Pengembangan Industri Prioritas Dalam Rangka Memenuhi Pasar ASEAN; b.Pengembangan Industri Dalam Rangka Mengamankan Pasar Dalam Negeri; c.Pengambangan industri kecil menengah; d. Pengembangan SDM dan Penelitian; dan e. Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI).

2.Pengembangan Pertanian, dengan fokus pada Peningkatan Investasi Langsung di Sektor Pertanian, dan Peningkatan akses pasar.

3.Pengembangan Kelautan dan Perikanan, dengan fokus pada: a. Penguatan Kelembagaan dan Posisi Kelautan dan Perikanan; b.Penguatan daya saing kelautan dan perikanan; c. Penguatan pasar dalam negeri; dan d. Penguatan dan peningkatan Pasar Ekspor.

4.Pengembangan energi, yang fokus pada: a. Pengembangan sub sektor ketenagalistrikan dan pengurangan penggunaan energi fosil (Bahan Bakar Minyak); b.sub sektor energi baru, terbarukan dan konservasi energi; dan c. Peningkatan pasokan energi dan listrik agar dapat bersaing dengan negara yang memiliki infrastruktur lebih baik.

Selain itu masih ada 10 sektor pengembangan lainnya, yang meliputi pengembangan infrastruktur; pengembangan sistem logistik nasional; pengembangan perbankan; investasi; usaha mikro, kecil, dan menengah; tenaga kerja; kesehatan; perdagangan; kepariwisataan; dan kewirausahaan.

Terkait Inpres ini, Presiden memberikan keleluasaan bagi Menteri/Kepala Lembaga Pemerintah Non Kementerian untuk melakukan koordinasi dengan Gubernur Bank Indonesia dan Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan sepanjang terdapat program yang berkaitan dengan kewenangan Bank Indonesia dan/atau Otoritas Jasa Keuangan.

Melalui Inpres ini, Menko bidang Perekonomian diminta untuk mengoordinasikan pelaksanaan strategi sebagaimana di atas, dan melaporkannya secara berkala kepada Presiden.

Dalam pelaksanaan tugasnya itu, Presiden meminta Menko Perekonomian untuk berkoordinasi dengan Komite Nasional Persiapan Pelaksanaan Masyarakat Ekonomi ASEAN sebagaimana telah ditetapkan dengan Keputusan Presiden Nomor 37 Tahun 2014.

HAMBATAN DESA DI ERA PERDAGANGAN BEBAS

Desa sebagai wilayah kesatuan hukum yang berkedudukan di wilayah NKRI tentunya tidak lepas dari obyek persaingan pasar bebas, bukan saja terhadap kualitas produk/barang yang di hasilkan desa, tetapi sumber daya manusia sebagai pengelola sumber daya alam, budaya dan modal sosial lainnya tentunya akan di hadapkan pada persaingan ekonomi.

Pengembangan modal sosial di desa merupakan salah satu alternatif dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari di desa, sehingga secara tidak langsung daya saing pengelolaan modal sosial dan potensi sumber daya sangat menentukan kesejahteraan mayarakat desa

Desa yang memiliki sumber daya yang luar biasa tidak akan menciptakan kesjahteraan di era persaingan bebas jika tidak mampu bersaing jika tidak di bangun upaya kreatif dalam mengembangkan modal sosial yang ada. Terbentuknya “socio-economic creative rural society or rural community” bila dikembangkan dengan meningkatkan daya saing akan mendorong pertumbuhan ekonomi dan perkembangan wilayah pedesaan lebih berkembang dan tetap bertahan eksis dalam persaingan pasar bebas.

Manajemen sumberdaya desa menjadi diskursus menarik untuk di kaji lebih lanjut, terlebih Desa dengan semangat UU No 6 tahun 2014 tentang desa dengan azaz revolusioner desa yaitu azaz Subsidiaritas dan Rekognisi . Azaz Rekognisi sebagai bentuk pengakuan negara terhadap hak asal usul desa, sedang azaz subsidiaritas, memberikan kewenangan penetapan berskala lokal dan pengambilan keputusan secara lokal untuk kepentingan masyarakat Desa, sehingga Desa memiliki hak untuk mengelola dan mengatur atas sumber daya untuk kepentingan ksejahteraan masyarakat desa, sehingga kedua azaz tersebut seyogyanya mendorong desa bisa meningkatkan tata kelola sumber daya untuk memiliki daya saing.

Desa ke depan di hadapkan pada tantangan bukan saja memasuki persaingan pasar bebas dan terbentuknya Masyarakat ekonomi Asean (MEA) Tahun 2015, tetapi untuk menciptkan daya saing desa masih di hadapkan pada resistensi pemahaman terhadap UU Desa yang belum sepenuhnya di pahami desa dan supra desa yang di akibatkan proses pembelajaran desa yang keliru selama ini dalam proses pelaksanaan program-program yang cenderung mengimposisi peran desa ( pemerintah desa dan masyarakat desa ).

Menurut Sutoro Eko, Otonomi daerah cenderung jamak menyediakan karpet merah bagi kelompok usaha untuk mengelola sumber daya alam daerah. Tidaklah mengherankan bahwa di era otonomi daerah lengket dengan paradigma market driven development dan desa masih terpinggirkan

Selanjutnya Sutoro eko sebutkan Performa pelaksanaan proyek proyek tersebut justru mengimposisi peran pemegang otoritas desa dan partisipasi masyarakat. Di luar dugaan program program tersebut menyebabkan modal sosial masyarakat tidak terbangun baik. Uang berubah menjadi motivator utama bergairahnya partisipasi (money driven development). Partisipasi yang tinggi dalam penyelenggaraan program program tersebut bukan berarti mampu melahirkan program/kegiatan yang responsif terhadap kebutuhan masyarakat,melainkan karena dimobolisasi oleh petunjuk teknis proyek.

Pengalaman desa-desa dalam tata kelola program-program sebelumya yang bersumber dari berbagai program-program leading sektor pemerintah dengan berbagai ragam kebijakan program, ragam muatan pesan donor, serta bias implementasi program, semakin menyudutkan desa pada ketidak berdayaan, karena desa tidak di posisikan dalam pengelolaan dan pengaturan, sebagai wujud entitas desa, hal tersebut di perparah dengan prilaku supra desa senantiasa mendudukan desa sebagai sumber perasan data, ekploitasi sumber daya, dll.

Pengalaman buruk sebagai bentuk resistensi yang menghambat pengembangan modal sosial desa serta sistem regulasi diotonomi daerah yang tidak pro-desa dan pemberdayaan masyarakat desa, sehingga bentuk keberdayaan desa bukan sekedar mobilisasi yang gairah partisipasi yang di dorong dengan ketergantungan bantuan keuangan, Dana Desa harus menjadi bagian modal sosial yang di kembangkan dengan kewenangan mengatur dan mengelola, sehingga pengakuan pemerintah desa dan kelembagaan desa bisa berfungsi dan memiliki kewibawaan di hadapan masyarakat desa

SERTIFIKASI POTENSI SUMBER DAYA DESA

Salah satu bentuk manajemen sumber daya yang perlu di kembangankan adalah dilakukannya inventarisasi sumber daya melalui sertifikasi sumber daya desa.Sertifikasi sumber daya adalah upaya pengakuan terhadap sumber daya yang ada di desa untuk di pertahankan sebagai bentuk kearifan lokal yang siap berdaya saing dengan pasar bebas, sebagai contoh:

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun