Mohon tunggu...
Suswinarno
Suswinarno Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Politik

Kasus Sumber Waras: Seolah-olah Sudah Sesuai dengan Peraturan!

3 Mei 2016   17:09 Diperbarui: 19 Mei 2016   07:18 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Rumah Sakit Sumber Waras

Dasar hukum pengadaan tanah oleh pemerintah (pusat maupun daerah) adalah  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. 

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 53 ayat (3) dan Pasal 59 Undang-Undang tersebut, perlu ditetapkan Peraturan Presiden sebagai peraturan pelaksanaannya. Maka terbitlah Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum.  

Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 111 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tersebut, perlu ditetapkan Peraturan Kepala BPN tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Maka terbitlah Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 2012 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Pengadaan Tanah. Ketiga peraturan tersebut di atas satu paket, mulai dari Undang-Undang, Perpres, dan Juknis.

Pengadaan tanah Rumah Sakit Sumber Waras (RSSW) dengan luas 36.410 m2 (+/- 3,6 Ha) terjadi pada tahun 2014. Dimulai pada tanggal 7 Juli 2014 Yayasan Kesehatan Sumber Waras/YKSW (pemilik lahan RSSW) mengirimkan Surat Penawaran Harga lahan RSSW kepada Pemprov DKI Jakarta seharga  Rp 755.689.550.000,00. Diakhiri pada tanggal tanggal 31 Desember 2014, malam hari (+/- jam 19.00) Pemprov DKI Jakarta membayar pembelian lahan secara tunai (sekaligus) dengan menggunakan cek Bank DKI sebesar Rp 755.689.550.000,00.

Dasar Hukum Pembelian Tanah

Pertama, apabila Pemprov DKI Jakarta menggunakan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 dan Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional nomor 5 tahun 2012 sebagai dasar hukumnya, sudah pasti hal ini melanggar, karena pasal 121 Perpres 71/2012 dan pasal 53 ayat (1) Peraturan Kepala BPN 05/2012 menyatakan bahwa “Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 1 (satu) hektar, dapat langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”. Sedangkan tanah yang dibeli Pemprov DKI Jakarta adalah 3.6 hektar.

Kedua, tentu Pemprov DKI Jakarta tidak sebodoh itu. Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 sudah direvisi dengan Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2014. Pasal 121 Perpres 40/2014 menyatakan bahwa “Dalam rangka efisiensi dan efektifitas, pengadaan tanah untuk Kepentingan Umum yang luasnya tidak lebih dari 5 (lima) hektar, dapat langsung oleh Instansi yang memerlukan tanah dengan para pemegang hak atas tanah, dengan cara jual beli atau tukar menukar atau cara lain yang disepakati kedua belah pihak”. 

Dengan berdasarkan Perpres 40/2014, maka jalan keluarnya sudah tersedia dengan mulus. Pemprov DKI Jakarta dalam membeli tanah RSSW sudah sesuai dengan peraturan. Benarkah? Tidak benar sama sekali!

Pada saat Pemprov DKI Jakarta membeli tanah RSSW tahun 2014, Petunjuk Teknis (Juknis) atas Perpres 40/2014 belum diterbitkan oleh Kepala BPN. Perpres 71/2012 pasal 111 ayat (2) menyatakan bahwa “ Petunjuk teknis tahapan pelaksanaan Pengadaan Tanah diatur oleh Kepala BPN”.

Dengan demikian, Pemprov DKI Jakarta mempunyai 3 (tiga) pilihan: 1) menggunakan Perpres 40/2014 tanpa Juknis, atau 2) menggunakan Perpres 71/2012 dan Juknis Kepala BPN 05/2012, atau 3) menggunakan Perpres 40/2014 dan Juknis Kepala BPN 05/2012. Ketiga-tiganya melanggar! Menggunakan Perpres 40/2014 tanpa Juknis melanggar karena Perpres tidak dapat dilaksanakan tanpa adanya Juknis, sebagaimana diatur pada pasal 111 ayat (2) Perpres 71/2012 tersebut di atas.  Menggunakan Perpres 71/2012 dan Juknis Kepala BPN 05/2012 melanggar karena batasan jual beli langsung dengan penjual hanya 1 (satu) hektar. 

Bagaimana dengan opsi ketiga: Menggunakan Perpres 40/2014 dan Juknis Kepala BPN 05/2012? Yang ini lebih konyol lagi, karena Perpres 40/2014 dan Juknis Kepala BPN 05/2012 bukan pasangan suami-istri (berarti selingkuh). Di samping itu, tidak mungkin terjadi ada juknis yang terbit mendahului Perpresnya. Yang pasangan suami-istri  adalah Perpres 71/2012 dan Juknis Kepala BPN 05/2012, atau Perpres 40/2014 dan Permen ATR/Kepala BPN nomor 06 tahun 2015. Apalagi argumentasinya?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun