Mohon tunggu...
Susi Susanti
Susi Susanti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Suka" dan "Duka" Seorang Guru Bimbel

22 Maret 2017   06:03 Diperbarui: 22 Maret 2017   16:00 1392
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

“Suka” dan “Duka” Seorang Guru Bimbel

Menurut sebagian orang mengajar itu sulit. Ya, memang sulit jika hanya dibayangkan tanpa kita terjun langsung didalamnya. Hal ini terbukti setelah Saya merasakan  mengajar secara langsung. Secara khusus, poin penting dalam mengajar yaitu kita harus mempunyai rasa peduli, ikhlas dan tanggung jawab akan hal itu, sehingga kesulitan apapun yang menghadang pasti akan membuahkan hasil dan kepuasan tersendiri dalam hati.

Saya memiliki pengalaman yang mungkin bisa sedikit saya bagikan untuk menjadi titik acuan teman-teman pembaca, ketika menghadapi situasi dan kondisi seperti ini. Saya adalah seorang mahasiswi Jurusan  Pendidikan Fisika di salah satu Perguruan Tinggi di Jakarta. Aktivitas yang saya miliki selain kuliah, yaitu mengajar di bimbingan belajar dan privat..

Di Bimbingan Belajar Saya dipercaya untuk mengajar siswa Sekolah Menengah Pertama (SMP)  mulai dari kelas 7 sampai kelas 9, serta siswa Sekolah Dasar (SD) kelas 6. Banyak sekali pengalaman yang saya temukan ketika mengajar mereka. Mulai dari kekonyolan mereka, drama mereka,alasan-alasan mereka agar tidak disuruh maju untuk mengerjakan soal, bertingkah laku jahil, bercanda-canda sehingga saya sering dibuat tertawa oleh mereka. Selain itu, rasa sebal serta emosi juga pernah saya rasakan.

Suatu kebiasaan yang kerap kali saya tanamkan dan biasakan ketika Saya masuk di kelas 6 yakni, Saya selalu membiasakan  mereka untuk berdoa bersama sebelum dan sesudah memulai kegiatan belajar mengajar. Namun, terkadang  mereka malah ribut hanya karena untuk menentukan siapa yang akan memimpin doa.

Di dalam pembelajaran, Saya menerapkan metode pembelajaran berbentuk  ceramah, tetapi yang tidak membosankan mereka saat belajar. Hal ini dikarenakan  saya sedikit menyelipkan bahan candaan atau bahasa “kekiniannya” yaitu Intermezzo. Dengan metode ini, Alhamdulillah mereka mampu memahami materi yang saya jelaskan. Bukan hanya di kelas 6 saja, tetapi juga di tingkat SMP. Bahagia bisa menjadi pengajar, bisa mempunyai hubungan baik dengan anak-anak. Karena keharmonisan berkomunkasi itu sangat penting untuk meningkatkan efektivitas dalam proses pembelajaran.

Tetapi dalam hal ini masih terbatas antara seorang pengajar dan siswa yang mendapat bimbingan belajar. Selain itu, saya merasa senang menjadi seorang kakak bagi mereka yang sering mendengarkan curahan hati mereka, mereka juga sering berkunjung ke rumah saya dengan membawa bingkisan, sehingga banyak keseruan yang saya dapatkan selama ini.  Inilah menurut saya momen “suka” maupun “duka” yang  saya alami dan mungkin ini adalah pengalaman yang sangat berharga dan tidak bisa ditemukan dibidang lainnya.

Kunci dalam mengajar itu kita harus mampu untuk bersabar, menjalin komunikasi yang baik, mendengarkan apa yang siswa-siswa ingin sampaikan kepada kita. Tetapi tetap kita juga harus tegas serta selalu memberikan bimbingan dan arahan dengan sebagaimana mestinya. Inilah pengalaman singkat saya sebagai seorang pengajar muda yang dapat saya bagikan kepada teman-teman pembaca . Semoga bermanfaat dan kemudian dijadikan sebagai acuan terhadap berbagai permasalahan yang mungkin sedang dihadapi oleh teman-teman pembaca. Terimakasih… J

(oleh Susi Susanti)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun