Mohon tunggu...
Susianah Affandy
Susianah Affandy Mohon Tunggu... wiraswasta -

Komisioner BPKN RI (Badan Perlindungan Konsumen Nasional). Bekerja untuk sejahteraan rakyat. Mengenyam pendidikan secara linier dengan pekerjaan. Lulus S1 dari jurusan Pengembangan Masyarakat Islam UIN Jakarta. S2 Program Studi Sosiologi Pedesaan IPB.

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa dan Struktur Sosial Jawa

22 Desember 2010   23:46 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:29 2530
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1293061475133633981

[caption id="attachment_79546" align="alignleft" width="252" caption="Foto : google.com"][/caption] Bagaimana caranya agar kita bisa melihat struktur sosial dalam suatu masyarakat? Salah satu cara mudah melihat struktur sosial adalah dengan mengamati struktur bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Dalam konteks ke-Indonesiaan, kita memiliki banyak bahasa daerah yang berarti kita kita memiliki banyak struktur masyarakat yang beragam. Di Jakarta dengan bahasa Betawi dengan struktur bahasa yang tidak membedakan pengguna bahasa antara tua, muda dan anak-anak memberi gambaran bahwa Jakarta menganut sistem sosial yang egaliter. Berbeda dengan Jawa, struktur masyarakat di daerah ini dapat kita lihat dari dialek bahasa dan pemilihan kosa kata dalam berkomunikasi antara anggota masyarakat yang satu dengan anggota masyarakat yang lain. Pada waktu mengucapkan bahasa daerah ini seseorang harus memperhatikan dan membeda-bedakan keadaan antara orang yang diajak bicara atau orang yang tengah menjadi bahan pembicaraan, berdasarkan usia maupun status sosialnya. Dari penggunaan bahasa tersebut akan bisa diketahui posisi anggota masyarakat dan struktur sosial di Jawa. Di tinjau dari tingkatannya, ada dua macam Jawa yakni bahasa Ngoko dan bahasa krama. Bahasa Ngoko adalah bahasa yang memiliki tingkatan paling rendah dan dianggap kasar. Bahasa ini banyak digunakan oleh anak-anak kepada teman-temannya. Masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan juga banyak yang menggunakan bahasa ini. Di beberapa daerah seperti Yogyakarta dan Surakarta juga dikenal sebagai bahasa Krama Desa yang tingkatannya sama dengan Jawa Ngoko dan digunakan oleh masyarakat desa. Dalam bahasa Ngoko ini juga dikenal dengan bahasa Jawa Kasar yakni bahasa Jawa yang dinakan untuk mewakili ekspresi penggunanya yang sedang dalam keaadaan marah atau mengumpat orang. Biasanya Bahasa Jawa Kasar ini tidak terdapat dalam perbendaharaan Krida Baha (tata bahasa Jawa) namun disosialisasikan dalam kehidupan sehari-hari dan dianggap tabu jika diucapkan (seperti kata-kata jancuk jaran, matane picek, mbok-ne ancuk dan lain-lain). Kata-kata makian dalam Jawa Kasar tidak memiliki arti selain hanya digunakan sebagai ekspresi semata. Kedua Bahasa Krama adalah tingkatan bahasa yang lebih halus dan sopan. Pengguna bahasa Krama biasanya dianggap masyarakat sebagai orang yang memiliki kesopanan dan berbudi pekerti Bahasa ngoko biasanya digunakan oleh orang yang sudah saling kenal, akrab dan terhadap mereka yang golongan usianya lebih muda dan rendah status sosial. Lebih khusus lagi adalah bahasa Jawa ngoko Lugu dan Ngoko Andap. Sedangkan bahasa Jawa Krama bisanya digunakan oleh anggota masyarakat yang sebelumnya tidak saling kenal (sebagai penghormatan), sebaya dalam umur maupun derajat sosial dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur dan status sosialnya. Selain menunjukkan posisi anggota masyarakat dalam strutur social, simbol bahasa dalam masyarakat Jawa ini juga digunakan sebagai tolok ukur atau indokator apakah anggota masyarakat tersebut mematuhi norma dan susila. Anggota masyarakat Jawa yang ketika mereka berkomunikasi tidak menggunakan tata bahasa yang benar (sesuai tingkatannya) maka akan mendapat sangsi sosial dari masyarakat berupa teguran atau dikucilkan oleh anggota masyarakat karena melanggaran kesopanan dan susila. Simbol bahasa ini mulai disosialisasikan sejak pertama anak bisa bicara dan ketika mereka masuk jenjang pendidiikan dasar, pendidikan bahasa Jawa ini juga menjadi pelajaran resmi sekolah. Namun terhitung sejak tahun 1994 pelajaran bahasa Jawa di sekolah mulai daihapuskan. Dengan demikian ketika sosialisasi bahasa dihapuskan dalam kurikulum sekolah, pada saat yang sama para pelajar juga lambat laun meninggalkan bahasa tersebut. Hanya pelajar yang tinggal dalam keluarga yang memegang tradisi dan adat Jawa yang kuatlah yang tetap menggunakan bahasa Jawa sesuai dengan kaidah yang berlaku. Sedangkan kegiatan tulis-menulis dengan menggunakan simbol huruf Jawa bisa dikatakan saat ini sudah musnah Dari dua macam bahasa ini ada variasai dari berbagai kombinasi antara kata-kata yang digunakan dalam bahasa Ngoko dan Krama dan dalam pemakaiannya disesuaikan dengan perbedaan usia, derajat sosial dan sebagainya tersebut di atas. Kodiran (2007) membagi lagi bahasa Jawa ini ada yang namanya Jawa Madya yang terdiri atas tiga tingkatan Madya Ngoko, Madya antara dan Madya Krama. Terakhir bahasa Jawa yang paling tinggi tingkatannya yang biasanya digunakan oleh dan untuk keluarga bangsawan dan untuk anggota masyarakat yang dihormati baik karena status sosial maupun tingkatan usia adalah Krama Inggil yang terdiri dari kira-kira 300 kata-kata yang dipakai untuk menyebut nama-nama anggota badan, aktivitas, benda milik, sifat-sifat manusia, dan emosi-emosi dari orang-orang yang status sosialnya lebih tinggi. Untuk Yogyakarta dan Surakarta dimana di dua daerah tersebut menganut system kerajaan sampai sekarang juga di kenal dan digunakan bahasa Kedaton (bahasa Bagongan). Bahasa ini khusus digunakan di keluarga istana. Mampannya struktur sosial masyarakat Jawa berjalan seiring dengan kuatnya anggota masyarakat menjaga dan mensosialisasikan bahasa tecara turun temurun. Pertanyaannya bagaimana jika generasi masa kini meninggalkan bahasa Jawa sebagai bahasa Ibu dan menggantinya dengan bahasa lain seperti Indonesia dan Inggris?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun