Mohon tunggu...
supriyono
supriyono Mohon Tunggu... Dosen - Wong Ndeso

Serve beyond the expectation

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Absensi Dosen Jepang dan Indonesia, Antara Tanggung Jawab dan Hilangnya Kepercayaan

4 November 2019   09:22 Diperbarui: 5 November 2019   10:18 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Datang pagi-pagi dan langsung menuju antrian di depan mesin absensi. Itulah pemandangan setiap hari dihampir semua universitas baik negeri maupun swasta di negeri kita. 

Semua orang sangat takut untuk datang terlambat, mesin tersebut seolah seperti malaikat pengawas kehadiran. Keberadaannya telah menjadi acuan dan dasar tentang kedisiplinan pegawai.

Rasa tanggung jawab sebagai seorang dosen yang mendidik dan mengajar mahasiswa tergadaikan oleh mesin kecil tersebut. Niat luhur dalam mendidik pun luntur karena takut kurangnya jam kerja, sehingga insentif berkurang. 

Budaya absensi, yang bertujuan meningkatkan kedisiplinan, meningkatkan etos kerja secara tidak langsung telah menggerus niat dan budaya luhur, karena tergadai dengan nilai rupiah. Sebagai contohnya, keterlambatan kedatangan dosen akan mengurangi insentif bulanan yang didapat.

Hal ini telah menggeser rasa tanggung jawab seseorang dalam melaksanakan kewajiban. Apalagi seorang dosen, pengajar, sekaligus pendidik, kepercayaan harusnya diberikan kepada mereka, mengingat dipundak merekalah generasi muda bangsa dibentuk. Biarkan rasa tanggung jawab tumbuh, malu untuk meninggalkan kewajiban, serta terbentuk rasa selalu diawasi kinerjanya karena panggilan tugas luhur bukan karena mesin pengawas kehadiran atau insentif bulanan. 

Jika kita bandingkan di negara Jepang. Selama mengenyam pendidikan di negeri sakura tersebut, saya belum pernah melihat perilaku yang sama di universitas-universitas. Namun, seluruh dosen datang tanpa harus antri di depan mesin absensi dan bahkan pulang hingga larut malam tanpa memikirkan ditambah insentif gaji. Mereka bekerja sesuai tanggung jawab dan kewajibannya. Di negeri Jepang, dosen-dosen merasa malu jika meninggalkan tanggungjawabnya apalagi berkaitan dengan waktu.

Mereka sadar bahwa masa depan bangsanya ada dipundaknya. Selain itu, posisi sebagai guru/sensei sangat dihormati karena dari merekalah generasi penerus itu dibimbing. 

Budaya malu, malu jika tidak memenuhi kewajibannya, malu jika berbuat salah, dan malu untuk melanggar aturan, sudah mendarah daging dan menjadi budaya masyarakat Jepang. 

Nilai tanggung jawab tidak bisa diukur semata-mata dengan nilai uang. Pemerintah Jepang juga berperan penting dalam menciptakan dan mendukung budaya tersebut, terutama berkaitan dengan besarnya gaji yang diperoleh. 

Saya teringat apa yang dilakukan oleh gurbenur DKI Anies Baswedan dalam membangun budaya baru, dengan merobohkan jembatan penyeberangan dan menggantinya dengan pelican crossing, selain karena alasan estetika, diharapkan terbangun budaya antri dan saling menghormati antar pemakai jalan. Tidak mudah memang menyadarkan masyarakat tentang hal itu, namun belum terlambat, harus dimulai demi masa depan. 

Kembali lagi soal absensi kedatangan bagi dosen. Universitas sebagai tempat bernaungnya orang-orang berpendidikan tinggi dan terpelajar, doktor serta guru besar , tetapi masih diragukan dedikasi dan tanggungjawabnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun