Mohon tunggu...
Supadilah
Supadilah Mohon Tunggu... Guru - Guru di Indonesia

Seorang guru yang menyukai literasi. Suka membaca buku genre apapun. Menyukai dunia anak dan remaja. Penulis juga aktif menulis di blog pribadi www.supadilah.com dan www.aromabuku.com serta www.gurupembelajar.my.id Penulis dapat dihubungi di 081993963568 (nomor Gopay juga)

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Rendahnya Minat Baca Bangsa

16 Maret 2012   15:18 Diperbarui: 25 Juni 2015   07:57 3188
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Minat baca masyarakat Indonesia masih rendah. Kondisi saat ini tercatat satu buku dibaca sekitar 80.000 penduduk Indonesia. Hal ini dikatakan oleh Direktur Eksekutif Kompas Gramedia, Suwandi S Subrata sebagaimana ditulis dalam laman www.kompas.com pada Rabu (29/2) yang menyebutkan bahwa pada tahun 2011 tercatat produksi buku di Indonesia sekitar 20.000 judul buku. Jika dibandingkan dengan penduduk Indonesia yang sekitar 240 juta, angka ini sangat memiriskan. Satu buku dibaca 80.000 orang. Jumlah ini sangat tidak masuk akal, katanya.

Saya pernah menyambangi Rumah Puisi milik Sastrawan Nasional Taufik Ismail. Di dalam rumah puisi itu, beliau menunjukkan ke salah satu banner yang menggambarkan data tentang kewajiban membaca buku pada siswa SMA di beberapa negara, termasuk Indonesia. Pada banner itu tertulis bahwa di Thailand, hingga tamat dari SMAseorang siswa harus tamat membaca buku hingga 5 Judul (1986-1991). Sementara di Malaysia 6 judul Buku (1976-1980), Singapura 6 judul buku (1982-1983), Jepang 15 judul buku (1969-1972).

Negara-negara maju seperti Jerman, Perancis, Belanda mewajibkan siswa SMA harus menamatkan hingga 22-32 judul Buku (1966-1975). Sedangkan di Indonesia, pada tahun 1950-1997 nol buku atau tidak ada kewajiban untuk menamatkan satu judul buku pun. Dan kondisi ini masih berlangsung hingga sekarang.

Sebuah surat kabar di ibukota pada Januari 2011 lalu menuliskan bahwa Perpustakaan Nasional Republik Indonesia hingga belum memiliki blue print pengembangan perpustakaan nasional. Apakah ini indikasi kekurangseriusan pemerintah terhadap budaya membaca? Padahal, menurut Komisi X DPR RI, minat baca bangsa ini sangat terpuruk.

Dalam hal membaca, Indonesia berada di peringkat ke-57 dari 65 negara di dunia. Atau peringkat 8 terakhir.

Jika demikian kondisinya, maka wajarlah jika minat baca bangsa ini rendah. Sebab, pemerintah sebagai pembuat kebijakan yang mengatur hal ini terutama pihak yang terkait seperti Departemen Pendidikan, belum memiliki kebijakan yang mampu membuat bangsa ini merasa perlu membaca.

Padahalmembaca adalah hal yang sangat penting bagi kemajuan suatu bangsa. Parameter kualitas sebuah bangsa dilihat dari kondisi pendidikannya. Dalam dunia pendidikan tidak akan terlepas dari pentingnya membaca. Ilmu-ilmu yang ada di referensi misalnya buku, hanya bisa di dapat dari membaca.

Minat membaca berbanding lurus dengan tingkat kemajuan pendidikan suatu bangsa bangsa. Jepangyang pada tahun 1945 dibom oleh Sekutu hingga dua kotanya hancur luluh, untuk bangkit pertama kali yang dilakukan adalah dengan mengumpulkan para guru. Jepang yakin, bahwa mereka akan dapat bangkit dan kembali menjadi salah satu negara terkemuka di dunia, adalah karenakepeduliannya dengan pendidikan.

Minim Budaya Menulis

Dalam hal membaca saja,negara dengan jumlah penduduknya terbesar ke-lima di dunia ini berada pada urutan buncit, apatah lagi dalam hal menulis. Entah pada urutan ke berapa Indonesia dibandingkan dengan negara lain dalam hal menulis.

Jelas, rendahnya minat baca dengan sendirinya akan berimplikasi pada rendahnya minat menulis. Menulis adalah pekerjaan lebih berat ketimbang membaca. Sebab, untuk dapat menulis, maka seseorang harus banyak membaca. Harus memiliki ilmu. Tidak ada yang bisa ditulis, jika tidak ada ilmu yang dimiliki.

Taufik Ismail juga mengatakan bahwa tentang mengarang yang termasuk dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia hanya satu atau dua kali diadakan selama SMP dan SMA dengan titikberatpada tata bahasa. Misalnya imbuhan, akhiran, dan sisipan. Jelas ini berakibat pada minat siswa untuk menulis. Seharusnya, justru mengarang-lah yang harus diperbanyak.Tata bahasa dapat dibetulkan sembari mengoreksi karangan atau tulisan siswa.

Sudah saatnya kita memberikan perhatian serius atas tragedi nol buku, terlebih pemerintah. Pemerintah, adalah pihak yang paling bertanggungjawab atas kondisi ini.

Setidaknya, ada empat hal yang dapat dilakukan oleh pemerintah untuk memperbaiki rendahnya minat baca bangsa ini. Pertama, perubahan kurikulum. Pemerintah dapat saja melalui kebijakannya “memaksa” atau mewajibkan peserta didiknya untuk harus menamatkan beberapa judul buku, sebagai salah satu syarat tamat dalam jenjang pendidikannya. Buku yang dipilih sebagai buku wajib ini tentunya yang berkualitas, memberikan pengetahuan kepada siswa.Sementara itu, khusus pada mata pelajaran Bahasa Indonesia dibuat kebijakan dengan menitikberatkan pada membaca dan menulis. Pada tingkat Sekolah Dasar sekali pun.

Kedua, optimalisasi fungsi perpustakaan dengan manajemen yang lebih baik. Perpustakaan sebagai gudang dan referensi ilmu.Setiap daerah atau intansi harus memiliki ruang perpustakaan yang dapat dengan mudah diakses oleh pengunjung. Oleh karena itu, perpustakaan perlu ditunjang dengan buku yang lengkap dan up date (terbaru).Pemerintah seharusnya semakin gencar mendistribusikan buku-buku hingga ke daerah-daerah. Banyak pustaka di daerah yang koleksinya tidak mengalamai pertambahan setiap tahunnya. Ketiga, perbaikan manajemen perpustakaan. Salah satu sebab perpustakaan sepi dikunjungi adalah karena manajemen yang tidak baik. Pelayanan yang tidak ramah juga menyebabkan pengunjung enggan datang ke perpustakaan. Pustaka, hendaknya menjadi tempat yang nyaman untuk dikunjungi.

Keempat, menggelar sebanyak mungkin event dan kampanye yang mampu menumbuhkan serta meningkatkan minat baca masyarakat. Misalnya dengan mengadakan seminar tentang pentingnya membaca, banyak menggelar acara book fair, dan sejenisnya. Pihak swasta juga dilibatkan dalam kegiatan ini, diantaranya dengan meningkatkan kerjasama dengan penerbit-penerbit untuk menggalakkan kampanye gemar membaca Dengan demikian, masyarakat diajak untuk tertarik dan peduli bahkan butuh dengan buku (membaca).

Bagi kita masyarakat Sumatera Barat, rusaknya Pustaka Daerah akibat gempa 2009 lalu, tentu menyisakan kepedihan yang mendalam. Sebab, kini belum terbangun kembali Pustaka Daerah tersebut. Kini yang ada, kelompok-kelompok yang terus menggencarkan budaya membaca, semisal Gerakan Padang Membaca atau Kawan Seperbukuan.Ini adalah tantangan kita, untuk menumbuhkan minat baca ditengah keterbatasan sarana dan fasilita baca. Insyaallah kita bisa.

Penulis : Supadilah S.Si

Guru di SMP Islam Terpadu Darul Hikmah, Pasaman Barat

Menteri Informasi dan Komunikasi BEM KM Unand 2010/2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun