Mohon tunggu...
Sunardi
Sunardi Mohon Tunggu... Guru - Saya suka menulis dan fotografi

Asal Bondowoso, Kota Tape. Sedang belajar hidup. Blog pribadi www.ladangcerita.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nenek Masih Punya Cinta

13 November 2016   13:36 Diperbarui: 27 Agustus 2020   07:57 341
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Diambil dari kisah nyata

"Ibu mau berangkat kerja, main sama nenek ya, Nak."

Rumah mewah dengan 10 cucu yang masih kecil. Begitu ramai suasananya. Penuh tawa. Rumah ini sepi dari kesepian. Ini adalah rahmat. Pada malam hari, mereka berada di rumah masing-masing bersama orang tua mereka yang berada di samping kanan kiri rumah mewah tersebut. Sebagian dari mereka suka tidur di situ. Pada pagi hari, yang sudah sekolah berada di sekolah: TK dan SD. Tetapi hanya 4 anak yang sudah sekolah: Andi, Rian, Firman sudah kelas 5 SD, sedangkan Rudi masih kelas nol besar. Yang lain belum sekolah.

Orang tua mereka sukses semua. Banyak tetangga yang iri. "Masa tuamu sempurna," kata Bu Paima pada Bu Habibah. "empat anak sukses semua, kaya semua. Kamu berkecukupan," Bu Habiba tersenyum. Orang sekampung hormat pada keluarga Bu Habibah. Orang sekampung kagum padanya dan keluarga. Ia dan anak-anaknya hampir tak pernah punya masalah dengan tetangga dan tidak pelit. Hubungan sosialnya dengan tetangga baik. Apalagi menantu tertuanya menjadi salah satu imam dan khotib masjid.

Pagi itu Bu Rahma menemui Bu Habibah yang sedang menemani cucunya bermain di halaman depan ruma anak keduanya. Bu Habibah mempersilahkan masuk, tapi beliau tidak mau. "Di sini saja," katanya. "Maaf, Bu, saya belum bisa bayar hutang saya." Bu Habibah tersenyum padanya. Padahal sudah empat kali bilang begitu, sudah dua tahun. Padahal hanya Rp 150.000.

"Sudah, tidak apa-apa," kata Bu Habibah. "Saya tidak begitu butuh."

Tidak sedikit tetangga yang pinjam uang pada beliau. Entah sudah berapa banyak yang tidak bayar, disengaja atau tidak. Bu Habibah mengikhlaskan, tanpa mempertanyakan disengaja atau tidak. Bahkan jika ada yang melunasi hutang masih ditanya barangkali nanti mau pinjam lagi, dengan lapang akan diberi pinjaman.

***

Malam ini sepi. Angin menyusup ke dalam rumah lewat jendela. Dinginnya menusuk. Ilma, anak bungsu Bu Habibah yang rumahnya tepat berada di sebelah kanan rumah beliau kehabisan nasi. Anaknya yang masih umur 3 tahun nangis. Sepertinya lapar. Ia pun ke rumah Bu Habibah, mengetuk pintu belakang. Biasanya jam segini beliau sudah sholat malam. Biasanya diketuk sekali saja sudah menyahut dan segera membuka pintu.

Tetapi kali ini tidak. Hingga lima kali, bahkan sampai kesal. "Kemana sih, ibu?!" gerutunya. "Assalamualaikum," lebih keras lagi ia beri salam dan mengetuk pintunya lebih keras juga.

"Iya, sebentar!" sahut Bu Habibah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun