Mohon tunggu...
Kang Sugita
Kang Sugita Mohon Tunggu... pegawai negeri -

seorang bapak guru di pelosok gunungkidul

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Bu Guru, Kenapa Saya Tidak Dapat Bea Siswa??

2 Juni 2013   08:03 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:39 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Beberapa waktu lalu, saya diundang untuk rapat di SDIT Ukhuwah Islamiyah Kalasan. Sebagai ketua komite di sekolah tersebut saya senantiasa dilibatkan untuk pengambilan keputusan yang berkaitan dengan kepentingan siswa. Setelah beberapa masalah yang urgen selesai dibahas, kemudian pihak sekolah meminta masukan dari para undangan yang terdiri pengurus komite, dan pengurus POMG Kelas. Beberapa hal yang berkaitan dengan upaya memajukan sekolah diusulkan dan mendapat tanggapan dari pihak sekolah.

Tibalah seorang ibu bertanya tentang ada atau tidaknya "bea siswa" bagi siswa yang berprestasi. Hal ini karena si ibu sering mendapat curahan hati anaknya mengenai kawan-kawannya yang memperoleh "bea siswa". Si anak merasa aneh, mengapa teman-temannya yang prestasi belajarnya tidak lebih baik dari pada dirinya, bahkan lebih buruk atau termasuk yang tertinggal di kelas; mereka mendapat "bea siswa". Sementara si anak yang senantiasa masuk ranking tiga besar di kelas, justru tidak pernah mendapat "bea siswa".

Meski si ibu sudah menjelaskan kepada si anak, bahwa keriteria yang mendapat bea siswa pada saat ini adalah mereka yang mengalami kesulitan dalam membiayai pendidikannya. Dengan kata lain, saat ini yang disediakan biaya dari pemerintah adalah Siswa Miskin. Namun si anak yang belum bisa menerima, masih mengkritisi. "Mosok sih Bu, dia digolongkan siswa miskin? Lihat saja, rumahnya besar dengan lantai keramik. Motornya saja ada tiga baru semua. Sementara kita..... rumahnya lebih kecil, dan motornya hanya satu, itu pun sudah kuno"

Kami memaklumi perasaan "tidak dipedulikan" yang melanda si anak. Saat ini, memang hampir tidak ada  "bea siswa" yang diperuntukkan bagi siswa yang berprestasi. Siswa-siswa cerdas dan berprestasi biasa dilibatkan dalam berbagai kegiatan, namun mereka merasa tidak mendapat penghargaan secara materi berupa "bea siswa". Sebagai sekolah dasar swasta yang semua gurunya honorer, sesungguhnya telah berusaha memberikan perhatian seperlunya kepada para siswa yang cerdas dan berprestasi. Meski nilainya tidak sebesar yang diterima oleh "penerima BSM", namun mereka mendapat kelebihan karena prestasinya dihargai dengan diberikan hadiah yang peyerahannya pada saat upacara bendera. Secara kebetulan, sekolah menerima titipan Zakat, Infak dan Shodaqoh dari para orang tua siswa yang merasa memiliki kewajiban berzakat. Sebagian dari zakat yang terkumpul disalurkan untuk subsidi biaya pendikan bagi siswa yang tidak mampu, sebagian lagi disisihkan untuk membiayai kegiatan siswa yang berprestasi dalam mengikuti berbagai kegiatan lomba.

Istilah "bea iswa" memang menimbulkan salah persepsi. Sebagian dari kita akan sepakat, pada masa lalu, bea siswa diperuntukkan bagi siswa-siswa yang cerdas dan berprestasi, sebagaimana bea siswa yang dikelola Yayasan Super Semar. Dengan adanya rangsangan berupa bea siswa, maka akan memacu siswa untuk mencapai prestasi lebih baik, dan bila mungkin yang terbaik. Namun, pada saat ini, bea siswa untuk siswa cerdas dan berprestasi itu nyaris tidak ada. "Bea siswa" diberikan kepada siswa miskin, tidak memperhatikan apakah siswa tersebut berprestasi atau tidak. Bahkan ketika si siswa miskin itu termasuk paling tertinggal di kelasnya, paling pemalas, dan terlalu sering membuat kasus di sekolah; jika mengajukan diri sebagai siswa miskin, dia akan mendapat prioritas "bea siswa miskin". Padahal saat ini, banyak "yang mengaku miskin" itu ternyata penghasilannya ratusan ribu per hari. Jauh lebih besar daripada gaji yang diterima seorang guru honorer, yang karena profesinya sebagai guru; maka anaknya tidak mungkin mendapat "bea siswa" walaupun berprestasi. Padahal gaji si guru honorer dalam sebulan mungkin hanya setara dengan penghasilan seminggu kerja dari orang tua "siswa miskin". Namun karena si guru honorer menerima dengan lapang dada, maka penghasilan kecilnya "barokah" dan mencukupi biaya kehidupannya. Sementara penghasilan ratusan ribu per hari orang tua dari "siswa miskin" ternyata selalu saja tidak mencukupi untuk kebutuhan hidupnya.

Jadi, sampai kapan perhatian terhadap "siswa berprestasi" dilupakan. Kapan pemerintah memberikan perhatian kepada siswa-siswa cerdas dan berprestasi, yang kebetulan orangtuanya tidak bisa dikategorikan miskin karena berprofesi sebagai guru honorer?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun