Mohon tunggu...
Sugeng Tri Wahyudi
Sugeng Tri Wahyudi Mohon Tunggu... -

seorang biasa yang hanya ingin belajar menulis...

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Nenek Penjual Pisang

6 September 2014   02:27 Diperbarui: 18 Juni 2015   01:30 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14099199542073293081

Sore itu, di tengah cuaca yang masih menyengat, aku dan anakku bersepeda menyusuri jalanan sekitar perumahan. Sudah lama aku tak bersepeda. Lama juga aku tak 'menyapa' lingkungan rumah yang sudah dua tahun aku tinggali. Aku begitu rileks sore itu. Anakku yang membuntuti di belakang dengan sepeda hadiah ulang tahun dari ibunya, juga riang. Cerah sekali wajahnya, meski buliran keringat mulai mengalir di wajahnya.

"Ayah, bosan ah, cuma keliling di kompleks," kata anakku. "Terus kamu mau ke mana nak," timpalku. "Ke jalan raya, keluar kompleks," jawabnya. Ide bagus juga. Bersepeda sore-sore ke luar kompleks, menyusuri seputaran jalan raya dekat rumah. Usulan anak lelakiku, aku terima. Tapi dengan catatan, dia membonceng. Belum cukup umur baginya bersepeda ke jalan raya.

Akhirnya, dengan berboncengan, kami, ayah dan anak, bersepeda ke luar kompleks. Kami menyusuri jalan raya sekitaran rumah. Di beberapa titik, beberapa mata memandangi. Ada yang iba. Ada pula penuh takjub. Untuk pandangan takjub ini, aku menduga, bahwa ia iri dengan keakraban kami.

Sepanjang jalan, aku berbagi pengalaman tentang masa kecilku kepada anakku. "Nak, dulu ayah seumuranmu belum bisa naik sepeda. Dulu ayah latihannya di lapangan dengan sepeda pinjam ke teman. Setelah pandai, ayah mencoba ke jalan. Ayah dulu pernah terjatuh dengan gaya salto saat bersepeda dengan teman ayah," begitu ceritaku. Mendengar ceritaku, anak lelakiku ini senang rupanya. Tertangkap dari respons-nya. "Ah ayah gak sip," katanya. "Loh gak sip kenapa," aku balas bertanya. "Ayah bisa sepedaan sudah umur SD, aku sebelum SD sudah bisa," jawabnya diiringi tawa khas anak-anak.

Tawa itu jelas membuat jalanan yang kami lewati semakin cerah-ceria. Kami pun melanjutkan cerita lain. Tentang gayaku saat masih anak-anak, tentang kebiasaanku, tentang masa kecilku. Tak mau kalah, anakku juga ikutan bercerita tentang pengalaman-pengalaman kesehariannya yang masih belum seberapa, tapi tentunya siap bertambah seiring usia.

Lama kaki mengayuh, rasa pegal terasa. Apalagi, sebelumnya kami melewati sebuah tanjakan. Peluh mulai bercucuran, sedang di sadel boncengan, anakku terlihat semakin menikmati. Saat tengah asyik  begitu, mataku teralihkan pada sebuah kios sederhana, dimana di luarnya terikat sejumlah epek pisang.

Pisang-pisang yang tergantung dengan tali plastik itu menggodaku. Aku pun berhenti. Tanpa kusangka, di dalam kios sangat sederhana itu, seorang nenek tengah duduk. Awalnya aku pikir, nenek itu tengah beristirahat. Tapi, saat si nenek menanyakan, "wonten nopo, Mas. bade nopo pisange?" dugaanku pun dengan sendirinya teralat. Ternyata, nenek dengan rambut menua dan kulit keriput itu adalah pemilik kiosnya.

Luar biasa si nenek ini, kataku dalam hati. Di senja usianya, masih berjuang memenuhi kebutuhan. Tanpa banyak bertanya lagi, aku pun membelinya. Awalnya, ingin aku membelinya dalam jumlah banyak. Tapi, karena uang tak cukup, aku membeli sesuai uang yang ada di kantong saja.

Seikat pisang ambon yang belum matang benar aku gantung di setang depan sepedaku. Aku pun bergegas pulang, karena senja semakin bergerak ke barat. Selama perjalanan pulang, aku kembali teringat wajah si nenek itu. Teringat semangat hidupnya yang tak layu. Sesekali juga muncul pertanyaan nakal, ke mana keluarganya, anaknya, sampai setua itu masih harus berjualan?.

Sesampai di rumah, istri sudah menyambut di depan rumah. Selang air masih ia pegang, karena mungkin saja baru saja menyirami tanaman di halaman rumah kami. "Ayah beli pisang kok belum masak," tanya istriku. "Ya digantung saja, besok kan masak. Tadi, beli karena yang jual nenek-nenek," kataku.

-----------

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun