Mohon tunggu...
Suer@nywhere
Suer@nywhere Mohon Tunggu... Konsultan - Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Mencoba membaca, memahami, dan menikmati ciptaanNya di muka bumi. Action to move forward because word is not enough. Twitter/Instagram: @suerdirantau

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pesan Konservasi dari Sebutir Gigi

11 Mei 2016   13:42 Diperbarui: 11 Mei 2016   21:50 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: swanson-media.com

Selama tiga dasawarsa lebih menghuni bumi, saya tak pernah ke dokter gigi karena tak pernah sakit gigi. Hingga suatu senja, sang gigi mulai cari perhatian. Seperti gesekan biola yang mendengking naik lima oktaf. Ngilunya itu memilukan. Mata terpicing menahan nyeri hingga mulut mendesis.

Cenat-cenut itu timbul, hilang, timbul, hilang, timbul lagi seperti gelombang yang tak bosan menerpa pantai. Rekan kerja saya menyarankan minum air garam. Puihhh...nggak manjur. Makin perih, makin ngilu, dan bonus rasa asin pahit.

Gawat nih. Besok saya harus ke Jakarta. Gigi ini tak boleh menggagalkan rencana. Dengan pasrah saya datangi klinik gigi dekat pasar Jayapura, di ujung Jalan Diponegoro. Kliniknya sepi. Hanya seorang perempuan di ruang tunggu, dengan suara lembut dan tatapan sendu. Apa semua pegawai klinik gigi bertampang sendu kayak gitu? Biar kelihatan simpati, gitu?

Lelaki setengah baya, rambut dan kumisnya nyaris putih merata, berkemeja dengan jas putih khas dokter menyambut saya. Diiringi senyum tipis, saya diminta duduk di kursi pasien. Sebuah kursi santai setengah telentang, berwarna hitam dengan sandaran tangan berlapis kulit imitasi. Lampu sorot kecil dengan kaca kusam dan seperangkat alat berbahan stainless steel terletak di sisi kanan dan kiri kursi santai ini.

Tanpa banyak bicara, saya tiduran dengan mulut menganga, terbuka selebar-lebarnya. Berbekal dua alat di tangan, dokter tua ini mulai mengorek, menggoyang, dan mengetuk-ngetuk gigi saya.

Saya kontan menjerit, ”Dzzok…zangan zigezok zong, zakik izu…!”

Nggak ngepek. Si dokter malah menjawab santai, ”Giginya berlubang nih, sudah retak, dicabut aja ya.” Eeebuzzettt....

“Dok, saya baru kali ini sakit gigi, masa’ langsung main cabut aja. Nggak mau ah....” jawab saya setelah tidak ada alat di rongga mulut.

“Ya sekarang ditambal dulu, kalau sudah tidak sakit baru dicabut.”

“Kalau udah nggak sakit berarti sembuh dong,” bantah saya.

Dokternya hanya sekilas menatap saya dengan raut muka datar, lalu memberi kode agar saya membuka mulut. Cara jitu membungkam pasien cerewet. Mangap....

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun