Mohon tunggu...
Subari
Subari Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Penyiaran

Praktisi Penyiaran tinggal di Batam, Kepulauan Riau. Ngompasiana sebagai ikhtiar mencari kebenaran. The first obligation of journalism is to the truth.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pelacur Berjilbab

14 November 2009   20:04 Diperbarui: 26 Juni 2015   19:20 10100
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_25437" align="alignleft" width="202" caption="Illustrasi"][/caption] Telepon genggam di meja tiba-tiba berbunyi ketika saya tengah duduk santai usai makan siang bersama keluarga.”Tolong buka email dan segera meluncur ke lokasi. Kalo ada yang belum jelas hubungi kantor,” tulis pesan pendek di telepon saya yang ternyata berisi penugasan liputan dari kantor. Komputer di kamar pun langsung saya hidupkan untuk membuka internet. Email terbaru dari kantor ternyata berisi informasi adanya seorang tukang becak yang mangadu ke kantor redaksi kami di Jakarta karena telah kehilangan anak gadisnya yang masih berusia 18 tahun. Tukang becak itu mengaku anak kesayangannya itu telah menjadi korban penipuan dan sudah sepekan lebih dipekerjakan sebagai pelacur di sebuah tempat hiburan malam. Berbekal data berupa foto dan ciri-ciri sang gadis sesuai yang dikirim via email itu, saya langsung berkemas-kemas. Seperti biasa, setiap liputan ke luar kota saya ditemani Hamid, jurnalis media lokal yang sering menjadi partner saya liputan. Setelah berlayar menggunakan jasa penyeberangan kapal ferry selama satu setengah jam, saya tiba di pelabuhan laut kota “K”, kota kecil yang memiliki sejumlah tempat hiburan malam karena sering dikunjungi wisatawan dari Singapura dan Malaysia. Karena misi kami tidak hanya liputan, kami sengaja memilih menginap di hotel yang berlokasi di tengah kota. Sambil menunggu malam tiba, sore itu kami melakukan survey pendahuluan dengan meluncur ke lokasi diskotik “G” , berjarak sekitar tiga kilometer dari tempat kami menginap. Tak lupa kami mengontak teman dekat, seorang anggota TNI, untuk melaporkan misi kami sekaligus minta bantuan pengamanan jarak jauh. Bantuan pengamanan ini kami perlukan karena mucikari sekaligus pemilik diskotik yang bakal menjadi sasaran kami, dikenal sangat ‘galak’ , berduit banyak dan tak takut dengan polisi. Pernah suatu ketika, sang mucikri wanita itu berurusan dengan polisi karena terindikasi tindak pidana. Saat datang ke kantor polisi, sang mucikari bertubuh gendut itu bukannya memberi keterangan terkait kasus yang disangkakan, malah mencak-mencak petentengan memaki-maki anggota polisi yang memanggilnya. *** Malam pun tiba. Usai makan malam di pujasera, kami meluncur ke diskotik “G” yang dikenal sebagai diskotik terbesar di kota itu. Selain tempat disko yang dilengkapi dengan layanan aneka jenis minuman keras, tempat dugem ini juga menyediakan para pramuria untuk melayani pengunjung. Sudah menjadi rahsia umum, pramuria di tempat ini berprofesi ganda. Melayani para pengunjung untuk berdisko, sekaligus bisa juga melayani para tamu untuk berhubungan intim alias pelacur. “Saya minta jus wortel aja,” kata saya menjawab seorang pelayan yang menyodorkan famlet berisi daftar aneka minuman dan makanan kecil. “Kalo butuh cewek silakan pilih sendiri bang,” kata pelayan itu sambil menunjukkan sebuah ruangan dengan kaca tembus pandang. Di dalam ruangan itu, duduk berjajar puluhan pramuria dengan dandanan menor dan siap melayani tamu. Malam itu, kami memilih duduk di satu meja dengan tiga kursi di pinggir arena disko, persis di depan ruangan etalase yang memamerkan kemolekan para pramuria . Sementara di arena disko, nampak puluhan pasang muda mudi asyik berjoget di bawah gemerlap lampu diskotik dengan dentuman musik yang memekakkan telinga. Saya tak menghiraukan alunan musik itu. Saya terus terngiang dengan wajah Aliya (bukan nama sebenarnya), anak tukang becak korban penipuan yang dipekerjakan sebagai pelacur di diskotik ini. Sambil minum just wortel dan kentang goreng, mata saya terus melirik ke deretan pramuria yang tengah menunggu tamu sambil nonton televisi. “Nah, itu dia,” bisik saya kepada Hamid sambil mengingat ciri-ciri dan foto wajah Aliya. Lewat bantuan pelayan, pramuria itu kami panggil Setelah kami ajak ngobrol sambil minum di meja, pramuria ini memang benar Aliya, anak tukang becak itu. “Abang dari Jakarta ya. Terima kasih bang,” bisik Aliya kepada saya setelah kami saling berkenalan. Aliya mungkin merasa perlu berterima kasih karena ada orang yang akan memberi pertolongan setelah sepekan lebih terjebak dalam genggaman mucikari. Lewat bantuan telpon genggam yang dimpinjam dari tamunya jualah, beberapa hari lalu Aliya menelpon orang tuanya di Jakarta memberi tahu bahwa dia telah menjadi korban penipuan dan dipekerjakan sebagai pelacur di tempat ini. Seperti prosedur yang harus ditempuh para tamu diskotik pada umumnya, untuk bisa membawa pramuria ke luar, harus boking dengan tarif 300 ribu rupiah per malam. Setelah semua persyaratan kami penuhi, kami berhasil memboyong Aliya keluar diskotik dan langsung kami sembunyikan di kamar hotel. “Kalo mau makan langsung pesan dari kamar aja, gak usah makan diluar, bahaya.” pesan Hamid kepada Aliya yang memang belum paham situasi di kota itu. Kami pun langsung meninggalkan Aliya untuk kembali ke kamar hotel tempat kami menginap. *** Usai sarapan pagi, kami kembali menemui Aliya untuk wawancara tentang kisah perjalanan panjang yang ia alami, sejak meninggalkan Jakarta hingga terperangkap ke pelukan mucikari diskotik “G”. Saat wawancara tengah berlangsung, kami dikejutkan dengan suara seorang wanita berteriak lantang sambil marah-marah di halaman hotel. Dari jendela kamar, nampak wanita itu dikawal sejumlah body guard menuju lobby hotel.. “Mana wartawan itu, mana wartawan itu,” ujar wanita itu dengan lantang. Kami semua terbelalak ketakutan melihat kedatangan wanita yang ternyata mucikari diskotik “G” itu. Dengan mata pelototan kesana-kemari, mulut mucikari itu terus ngomel dengan menyebut sederetan penghuni kebun binatang. Meski merasa ketakutan dan berkeringat dingin, saya terus berusaha menangkan Aliya yang juga ketakutan. Sedangkan Hamid terus menghubungi tentara teman dekat kami untuk mendapat pengamanan jarak jauh. “Kita disuruh nunggu disini aja, tidak perlu khawatir” kata Hamid menirukan pesan temannya dari luar. Dalam kondisi terancam dan panik, kami harus cepat mengambil keputusan. Kalau sempat salah mengambil keputusan, bisa-bisa mucikari dan bodyguardnya itu masuk ke kamar kami dan pasti akan terjadi keributan. Jangankan menghadapi kami, melawan polisi pun mucikari itu tidak ada rasa takut. Setelah diskusi sejenak, kami putuskan telpon minta bantuan rekan tentara untuk meminjam satu set busana muslimah milik istrinya, lengkap dengan jilbab penutut kepala. Lewat kurir pelayan hotel, busana muslimah dan jilbab pinjaman itu pun tiba di kamar hotel. Tanpa mencopot baju dan celana yang dipakainya, Aliya langsung kusuruh memakai busana muslimah dan mengenakan jilbab di kepalanya. Bekas make up wajahnya yang masih nampak menor, saya minta agar dihilangkan dan diganti make up yang lebih natural. Dengan tampilan barunya ini, sosok Aliya nampak berubah total meski hanya berdandan dalam waktu beberapa menit. Sementara Hamid, teman saya, meski juga harus berdandan, tapi tak perlu waktu lama. Tak seperti wartawan umumnya yang terkadang tak menghiraukan penampilan. Setiap keluar rumah, Hamid pasti berpenampilan necis. Selalu mengenakan baju dan celana formal yang diseterika licin. Bahkan ia sering hati-hati meniup abu rokok yang kadang jatuh di lengan bajunya. Mengenakan kacamata hitam sebagai penyamaran, Hamid mengajak Aliya keluar kamar. Dengan langkah santai, keduanya turun tangga ke lantai satu, kemudian keluar menuju pintu belakang hotel. Sang mucikari masih nampak duduk-duduk di lobby hotel. Melihat Hamid dan Aliya melintas di jalan samping tempat duduknya, sang mucikari hanya memandang sekilas. Entah apa yang terlintas di benaknya. Tak ada reaksi berlebihan. Maklum, meski suku melayu asli, postur tubuh Hamid tinggi dan besar. Wajahnya mirip orang arab. Berambut keriting dengan kumis melintang. Kami sering menyebutnya sebagai raja minyak. Karena penampilan itulah, mungkin sang mucikari mengira Hamid dan Aliya sebagai turis asal Timur Tengah yang sedang berlibur bersama anaknya.. “Alhamdulillah,” itulah kalimat yang saya ucapkan setelah menerima telpon dari Hamid yang mengabarkan dirinya dan Aliya telah lolos dari “terkaman” mucikari dan sudah berada di tempat persemunyian yang aman. Setelah meminta bantuan teman kenalan untuk membereskan administrasi hotel, saya pun ikut menyusul mereka yang ternyata bersembunyi di rumah rekan tentara yang baik hati itu. Di rumah itulah akhirnya Aliya bercerita panjang lebar tentang nasib buruk yang nyaris merampas masa depannya. Selama sepekan lebih bekerja di diskotik “G” misalnya, ia mengaku telah kehilangan kegadisannya . Tiap malam ia diharuskan melayani para lelaki hidung belang dengan bayaran 300 ribu rupiah sekali boking.Sayangnya, uang itu tidak sepeser pun dinikmatinya karena semuanya diminta sang mucikari. “Katanya saya sudah memiliki hutang banyak. Mulai pengganti biaya transportasi, penginapan hingga makan sehari-hari,” jelas Aliya menirukan sang mucikari ketika menjelaskan alasan dirinya terjerat hutang. Cerita Aliya yang menyayat hati itu, membuat istri tentara yang mendengarnya tak mampu membendung air mata. Berulang kali ia menyeka air matanya saat mendengarkan Aliya mengisahkan nasib sial yang menimpanya. Akhirnya, ketika Aliya hendak berpamitan pulang, istri tentara itu merelakan busana muslimah kesayangannya yang dipinjamkan kepada Aliya, agar tetap dikenakan Aliya untuk pulang ke Jakarta. Bahkan ia menambah lagi kenang-kenangan sebuah jilbab putih yang baru saja dibelinya plus uang saku. “Hati-hati di jalan ya Aliya, anggap keluarga kami sebagai keluargamu juga,” pesan istri tentara itu saat melepas jabat tangan Aliya sambil sesenggukan menahan tangis. Kami pun berpamitan pulang sekaligus mengantar Aliya ke bandara. *** Keesokan harinya, saat saya sudah di rumah bersama keluarga, saya istirahat di depan televisi. Hati saya terharu dan senang sekali ketika menyaksikan tayangan berita Aliya sedang berpelukan dengan keduaorang tuanya setibanya di Jakarta. Kedua orang tua Aliya menyambut kedatangan anak kesayangannya dengan derai airmata yang tak habis-habisnya. Anakgadis yang sempat menghilang lebihsepekan kini kembali dipelukannya. Meski badannya mungkin masih kelelahan setelah kerja rutin mengayuh becak, perjumpaan bapak-anakitu menampakkan sorot mata sukacita yang terkira sebelumnya. Kini setelah sepuluh tahun lebih peritiwa dramatis itu berlalu, saya hanya bisa berharap semoga Aliya bisa melupakan masa lalunya yang kelam dan bisa membangun masa depan lebih baik bersama keluarganya. Tentu dengan harapan tetap terus konsiten mengenakan busana muslimah dan jilbab, busana yang menambah anggun penampilannya dan pernah mengecoh mucikari yang pernah menjeratnya itu. Berbahagialah Aliya*** Imam Subari Salam Kompasiana

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun