Mohon tunggu...
Steve Elu
Steve Elu Mohon Tunggu... karyawan swasta -

STF Driyarkara_2007; Wartawan Majalah HIDUP. Bergiat menulis puisi dan cerpen. Buku puisi pertama: sajak terakhir (Juni 2014)

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

BAB IV KONSTRUKSI PAHAM ALLAH dan KRISTOLOGI dalam KONTEKS PLURALISTIK ASIA

17 November 2011   11:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:33 902
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

PENGANTAR

Para feminis Asia menyadari bahwa hidup di tengah dunia yang beragam agama dan kebudayaannya, baik iman maupun bahasa yang mereka gunakan untuk menyebut Allah sangat dipengaruhi oleh lingkungan di sekitar mereka. Dalam beberapa budaya Asia, ada budaya-budaya tertentu yang cukup mengalami kesulitan untuk memahami konsep “Allah” yang menciptakan alam semesta sebagai pribadi yang transenden. Bagi kaum feminis Asia, kata “Allah” harus bisa mewakili pengalaman derita kemanusiaan yang mereka alami.

Hal yang sama terjadi juga pada jalan untuk memahami Yesus dalam konteks Asia. Yesus yang diyakini sebagai perwujudan Allah, menuruk Kwok, harus bisa ditampilkan sebagai pribadi yang dekat dengan perempuan Asia dan mampu memberikan pengharapan kepada mereka. Perempuan Asia berusaha mendapatkan formulasi kata yang tepat untuk menyebut Yesus, sekaligus menemukan dasar untuk konstruksi kristologi mereka.

Pada bab ini, penulis berusaha mendalami kedua pokok pikiran Kwok di atas, dengan membaginya ke dalam dua bagian. Pertama, Allah dalam kaca mata feminis Asia yang terdiri dari: sebuatan Allah yang dapat dipakai dalam konteks pluralistik Asia; seks dan bahasa yang inklusif; wajah feminin Allah dan Allah sebagai pencipta kehidupan. Kedua, Yesus sebagai model bagi kaum feminis Asia yang terdiri dari: Yesus sebagai manusia yang bebas; Yesus sebagai seorang imam Han; metafora alam dalam pewartaan Yesus; dan Yesus sebagai perwujudan prinsip feminin.

4.1 Allah bagi Kaum Feminis Asia

4.1.1 Sebutan Allah dalam Konteks Agama Pluralistik Asia[1]

Kwok mengatakan bahwa para teolog feminis Asia mengalami tantangan yang cukup berat, ketika mereka berusaha merumuskan sebutan yang tepat tentang Allah dalam konteks agama pluralistik Asia. Kwok mengutip pendapat Raimundo Panikar yang berusaha meringkaskan perjalanan sejarah Agama Kristen, terutama relasinya dengan agama-agama lain ke dalam lima tahap. Pertama, kesaksian. Selama periode awal keberadaannya, umat Kristiani mengalami penyiksaan dan penganiayaan oleh penguasa Romawi. Dalam situasi seperti ini, kesadaran pribadi untuk memberi kesaksian menjadi ciri umum.

Kedua, perubahan.Tahap ini merupakan tahap yang paling panjang hingga abad pertengahan. Ciri yang paling dominan pada tahap ini adalah banyak orang bertobat dan percaya kepada Kristus. Ada yang terpanggil untuk hidup membiara ataupun menghidupi salah satu bentuk gaya hidup Kristiani. Ketiga, Perang Salib.Suatu tahap dimana tidak ada toleransi antarumat beragama. Keprihatinan ekonomi juga menjadi salah satu pemicu peperangan. Keempat, misi.Para misionaris dikirim dengan tujuan menyelamatkan jiwa-jiwa yang tersesat. Kelima, dialog. Pada tahap ini kekuasaan kolonial Barat menjadi lemah bahkan hilang. Karena itu, usaha membangun dialog antarbudaya di Asia kiranya menjadi sebuah slogan yang harus terus dikumandangkan.[2]

Berdasarkan pandangan ini, Kwok berusaha memperlihatkan kepada kita bahwa kecuali pada tahap pertama, identitas sebagai seorang Kristiani terpusat pada perubahan, Perang Salib dan misi. Hal ini cukup berbeda dengan identitas yang diajarkan dalam Konfusianisme, Budhisme, Taoisme dan aliran kepercayaan lainnya. Mengutip pendapat Majorie Hewitt Suchocki, Kwok sangat menekankan hubungan antara imperialisme religius dan seksisme dalam Kristianitas. Imperialisme religius seperti seksisme menekankan superioritas dan inferioritas, ketika harkat dan martabat manusia mulai terabaikan.[3]

Dalam perjumpaan mereka dengan agama-agama dan tradisi-tradisi lain, kaum feminis Asia sangat berhati-hati karena pandangan umum yang mengklaim Kristianitas lebih superior dari pada agama-agama lain. Hidup berdampingan dengan agama-agama lain, kaum feminis Asia menyadari bahwa mereka harus banyak belajar tentang akhir zaman dan berbagai artikulasi yang dipakai untuk menggambarkan siapakah Allah dalam tradisi-tradisi aliran kepercayaan lain.

Dengan kerendahan hati dan keterbukaan kepada budaya-budaya lain, banyak teolog perempuan Asia dapat mengetahui keselamatan Allah yang tidak hanya terbatas pada Kitab Suci dan Tradisi Kristiani, tetapi juga dalam pengalaman religius agama lain. Pengalaman keselamatan Allah dari agama lain dapat kita temukan dalam Kitab Suci, mitos, legenda, sejarah dan simbol-simbol keagamaan mereka.

Dalam sebuah benua yang beragam agamanya, akhir zaman, misteri, dan kesucian dikenal dengan banyak nama. Banyak teolog perempuan Asia percaya bahwa perbedaan nama dalam berbagai agama dan aliran kepercayaan tersebut menunjuk pada kenyataan bahwa perbedaan secara total itu justru berasal dari paham Allah yang monoteistik (Yahweh, Elohim, Allah). Menurut pandangan mereka, ketika kita dapat belajar melalui dialog dengan agama lain, pemahaman tentang kemuliaan dari orang-orang yang beragama tidaklah sama. Akan tetapi, di sini juga terdapat pandangan yang radikal bahwa hal-hal yang bersifat ilahi adalah sebuah misteri, tidak dapat direduksi ke dalam bahasa dan ekspresi manusia.

Kwok mengatakan, baru-baru ini, Chung Hyun Kyung mencoba menyebut Allah dengan berbagai nama seperti “Kekuatan Hidup,” “Sang Ki,” dan “energi hidup.” Chung mengatakan:

Hal yang terpenting bagi perempuan Asia adalah keberlangsungan hidup dan kebebasan bagi diri mereka dan juga komunitas mereka. Bagi perempuan Asia, persoalannya bukan pada pribadi Yesus, Sakyamumi, Muhammad, Confucius, Kwan In, atau Ina, tetapi pada sumber kekuatan hidup yang memberi mereka kehidupan sebagai manusia.”[4]

Chung menulis bahwa pemberi energi hidup dikenal dengan banyak nama laki-laki, seperti: Ki, Chi, Shakti, Prana, Ruah, dan dalam Dao de jing, “misteri laki-laki,” atau Sang Roh dari kaum lemah yang tidak pernah habis. [5]

Dalam konteks agama pluralistik Asia, pandangan bahwa hanya ada satu Allah atau banyak dewa tampaknya kurang terlalu penting. Beberapa tradisi religius Asia, seperti Budhisme dan Konfusianisme tidak mempunyai padanan kata seperti dalam pandangan Kristiani yang menyebut Allah dengan “God.”

Konsep tentang Allah sebagai “yang ada” sangat dipengaruhi oleh pandangan filsafat tentang substansi, yang tidak ditemukan dalam banyak filsafat Asia. Argumen tentang satu dewa dan banyak dewa tidak dapat dipakai,jika Allah tidak dipikirkan seperti sesuatu yang dapat dihitung keberadaannya. Lebih lanjut, menurut prinsip Budhisme yang tidak menerima pandangan dualitas, melihat bahwa meskipun hanya satu ataupun banyak dewa mereka tidak saling meniadakan. Apa yang dalam pandangan kita berlawanan ternyata hanya merupakan dua perspektif tentang realitas yang sama.

Dalam tradisi agama-agama Asia, praktik hidup lebih penting dari pada hanya percaya. Agama diaktualisasikan dalam berbagai bidang kehidupan, sehingga agama bukan hanya merupakan sebuah dalil atau ajaran kepercayaan. Kiranya pendekatan teologi feminis Asia memperlihatkan bahwa sebuah teologi harus bisa memberi hal positif bagi manusia karena bagi mereka teologi harus dijalankan dalam bimbingan Roh Kudus. Tujuan teologi bukan untuk mengetahui Allah secara definitifmelainkan suatu ekspresi dari rasa kagum dan terpesona akan sebuah kehidupan di dalam kekuatan dan energi dari yang ilahi. Hal ini dapat terungkap tidak hanya dengan kata-kata belaka tetapi dalam tarian, lagu, ritual, puisi dan gerakan-gerakan.

4.1.2 Seks dan Bahasa yang Inklusif[6]

Selama beberapa dekade terakhir, para teolog feminis di Barat terus mempertanyakan seksisme dalam bahasa religius. Mereka menjelaskan bahwa bahasa-bahasa yang dipakai dalam dunia religius sangat dipengaruhi oleh pikiran, kesadaran, gambaran, sikap, dan relasi kita dengan orang lain. Sebagai contoh, jika kata yang dipakai untuk menyebut Allah adalah “God” yang dalam Bahasa Inggris mengandung pengertian laki-laki, maka orang akan dikondisikan untuk memikirkan Allah sebagai seorang laki-laki.

Dalam bahasa liturgis, ungkapan “dalam nama Bapa, Putera dan Roh Kudus,” semakin memperkuat paham androsentrik tentang Allah dan pengalaman perempuan mulai ditinggalkan. Lebih dari itu, berbagai metafora yang dipakai untuk menggambarkan Allah sebagai Raja, Tuhan, Bapa, dan pengantin laki-laki adalah gambaran yang maskulin. Para teolog feminis Barat sangat menekankan pembahasaan ulang dalam Gereja dengan berusaha menciptakan sebuah liturgi yang inklusif. Mereka menekankan partisipasi setiap orang dalam usaha menafsirkan teks-teks dan tulisan inklusif sehingga di dalamnya termasuk metafora maskulin dan feminin tentang Allah.

Pandangan seperti ini tidak semuanya dapat diterima oleh seluruh Gereja Asia seperti di Barat. Pertimbangannya adalahpertama, banyak teolog feminis Asia dan juga kaum perempuan justru memikirkan isu lain seperti neokolonialisme, militarisme dan perdagangan seks. Bagi mereka isu ini lebih penting dan menjadi prioritas mereka dari pada hanya memikirkan soal perubahan bahasa religius. Mereka agak pesimis bahwa fokus perempuan Barat pada refleksi bahasa justru menghindarkan mereka dari perhatian terhadap mayoritas perempuan yang mengalami eksploitasi di seluruh dunia.

Kedua, struktur bahasa Asia agak berbeda dengan struktur bahasa di Barat. Contohnya, di Asia, istilah yang dipakai untuk menyebut Allah tidak menunjuk pada gender tertentu, dan kata ganti Allah tidak mengandung pengertian maskulin. Ketiga, dalam konteks agama pluralistik Asia, gambaran Allah sebagai laki-laki dan perempuan sungguh berbeda dengan gambaran androsentris Allah dalam monoteisme Kristiani. Bila di Barat, menyebut Allah sebagai “Ibu” atau “Perempuan” tidak enak didengar, di Asia sebutan tersebut tidak mengganggu sama sekali dan dipandang sederajat.

Kwok mengajak kita untuk menggunakan bahasa Cina sebagai ilustrasi. Kwok mengatakan bahwa dalam bahasa Cina klasik, kata ganti seseorang tidak secara spesifik menunjuk pada subjek tertentu seperti perempuan atau laki-laki. Ketika bahasa Cina memasuki abad modern, sekitar tahun 1920-an, pemisahan kata ganti pada perempuan dan laki-laki mulai terbentuk. Bersamaan dengan itu, perbedaan pada kata Allah (“God”) kian tampak. Meskipun demikian, kata “God” tidak secara spesifik menunjuk pada gender tertentu.

Kwok mengambil contoh sebuah istilah dalam bahasa Cina yang dipakai untuk menyebut manusia yaitu ren. Kata tersebut bersifat inklusif, tidak hanya dipakai untuk kata ganti laki-laki ataupun perempuan. Lebih lanjut, dalam budaya dan aliran-aliran kepercayaan Cina yang menjadi tekanan adalah keseimbangan antara surga dan dunia, yang dan yin, matahari dan bulan, serta maskulin dan feminin.[7]

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa seksisme tidak eksis di Asia dan perdebatan soal bahasa yang lebih inklusif tentang Allah tidak pernah ada sampai hari ini. Dalam androsentrisme alamiah bahasa Cina ditemukan beberapa karakter Cina yang mengandung unsur diskriminatif. Contohnya, karakter untuk kata “slave” (budak), “cunning” (kelicikan), dan “adulterous” (berzinah) secara radikal dikenakan kepada perempuan. Penggunaan karakter dalam kata tersebut secara jelas memperlihatkan sistem subordinasi terhadap perempuan.

Kwok menjelaskan bahwa ada tiga perbedaan kata yang dipakai untuk menyebut Allah.Para misonaris menerjemahkan langsung kata “God” dimana kata tersebut paling banyak digunakan dalam bahasa Cina. Gereja Protestan menggunakan kata “Shangdi,” sebuah kata dalam bahasa Cina klasik, secara literer berarti raja. Dalam Gereja Katolik, para misonaris mengkombinasikan karakter pada kata heaven dengan karakter pada kata lord untuk menciptakan sebuah istilah baru yakni “Tianzhu,” yang berarti Raja Surgawi. Hanya kata ketiga yakni shen yang secara umum menunjuk pada dewa atau Roh: tidak menunjuk pada gender tertentu. Dalam bahasa Korea, kata God diterjemahkan dengan kata Hananim yang merupakan hasil kombinasi dua kata yakni surga dan kehormatan. Hananim adalah sebuah kata yang tidak membedakan gender. Tetapi, Gereja Korea secara perlahan-lahan sudah memasukkan kata Abuji yang berarti “Bapa.” Allah mulai digambarkan sebagai figur laki-laki.

Mengutip pendapat Stella Faria, Kwok mengatakan bahwa sebuah perubahan dalam bahasa religius harus dibarengi dengan perubahan sikap. Bahasa Kitab Suci, bacaan dan liturgi harus diteliti dengan cermat sehingga Ekaristi sungguh-sungguh menjadi sebuah kesatuan antara tanda dan sakramen. Faria mengatakan: “dalam Kristus, semua bahasa harus memiliki bias kebebasan.”[8]

4.1.3 Wajah Feminin Allah[9]

Kwok menjelaskan bahwabeberapa feminis Barat melihat gambaran Allah sebagai seorang laki-laki dalam Kristianitas berkontribusi merusak tubuh dan seksualitas kaum perempuan. Dalam dua abad terakhir, di Eropa dan di Amerika Utara, lahir sebuah gerakan yang memberi perhatian pada kelahiran dan kebangkitan kembali dewi-dewi serta berorientasikan spiritualitas dewi-dewi pula. Mereka membangun rumah-rumah altar, membuat ritual-ritual kecil, menciptakan lagu, tarian, dan berdoa untuk kesucian sang Dewi. Hal ini dilakukansebagai sebuah bentuk perlawanan untuk meruntuhkan apa yang selama ini dipraktikkan oleh kultur dan agama Barat.

Sejak 1980an, para teolog feminis Asia telah memfokuskan diri pada isu representasi feminis. Dalam dialog iman antar kaum perempuan Asia pada 1989 dan 1991 yang diselenggarakan oleh The Asian Woman’s Centre for Culture and Theology, gambaran Allah yang berwajah feminin dalam tradisi-tradisi religius Asia diangkat sebagai tema pokok dalam diskusi. Beberapa perempuan Asia berusaha mencari jalan untuk melampaui gambaran androsentrik dalam Gereja Asia dan merintis dialog dengan tradisi-tradisi lain yang berkembang di Asia.

Kwok menjelaskan bahwa pemujaan terhadap para dewi dan gambaran kekudusan perempuan memiliki sejarah yang cukup panjang di Asia, jauh sebelum zaman prasejarah. Sejak dulu, di Cina, telah berkembang pandangan yang melihat figur perempuan sebagai simbol para dewi. Di Jepang, dewi matahari diyakini menjadi nenek moyang mereka. Di Tibet, berkembang paham yang mengatakan bahwa dewi Tara sebagai nenek moyang seluruh umat manusia. Sebelum penjajahan Spanyol, legenda-legenda dan sejarah penciptaan orang Filipina menunjuk pada “Ina” sebagai ibu mereka yang pertama.

Saat ini, salah satu figur feminis terkemuka dalam dunia religus Cina adalah Guanyin (the Buddhist Bodhisattva of Mercy) meskipun Bodhisattva di India dan Tibet diilustrasikan sebagai figur laki-laki. India adalah sebuah negara yang kaya akan tradisi dan pahlawan-pahlawan perempuan yang sangat hebat pada Abad Pertengahan. Sebut saja: Sita, Durga, Kali, dan Srasvati adalah ibu, suami–istri, anak perempuan, saudari, dewa laki-laki dan dewa perempuan yang mempunyai sifat melindungi.[10]

Akan tetapi, meskipun dalam tradisi-tradisi Asia gambaran tentang dewi-dewi seperti ini sangat kuat tidak dapat mengangkat status sosial perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Gambaran seperti ini malah mendukung praktik patriarkat. Sebagai contoh, di Korea, mitologi figur perempuan yang berperan sebagai pendiri dan pelindung negara itu telah dirubah sebagai mitologi laki-laki. Guanyin dipuji karena kekuatan dan kehendaknya dalam pengertian bahwa kekuatan dan kehendak itu dilimpahkan oleh seorang anak laki-laki kepada anak perempuan. Malahan Guanyin dikenang sebagai figur seorang perempuan yang melawan kehendak ayahnya.

Menurut Kwok, ketika para teolog perempuan Asia berusaha untuk menemukan kembali gambaran yang tepat tentang perempuan dan metafora tentang Allah, mereka harus bersabar untuk mempelajari dengan cermat apa yang telah terjadi dalam sejarah. Pertama, representasi kekudusan perempuan menemukan kedalaman religiositasnya dalam keseluruhan penduduk Asia, baik itu laki-laki maupun perempuan. Para misionaris berusaha memakai devosi terhadap Santa Perawan Maria dalam Gereja Katolik Roma untuk mendukung pewartaan mereka. Bersamaan dengan itu, devosi-devosi lain seperti devosi kepada Maria dari Fatima, dan santa-santa lainnya dapat digunakan untuk menguatkan sikap tunduk dan taat dari kaum perempuan. Kedua, simbol perempuan tidak hanya dibatasi pada sifat keibuan dan pengasuh tetapi mencakup berbagai dimensi seperti kekuatan, kebijaksanaan, kuasa dan kreativitas. Ketiga, para teolog perempuan Asia harus berusaha sungguh-sungguh untuk menemukan dan melahirkan strategi-strategi baru yang bertujuan memperkenalkan bahasa dan simbol-simbol yang bersifat inklusif ke dalam liturgi dan kehidupan Gereja-gereja lokal.

4.1.4 Allah sebagai Pencipta Kehidupan[11]

Kwok berpendapat bahwa di Asia terdapat begitu banyak tradisi dan aliran kepercayaan yang sangat bersifat kosmologis. DiAsia, tidak terdapat pemisahan yang tajam antara hal-hal yang bersifat ilahi dan manusiawi atau juga hal-hal yang bersifat sakral dan duniawi. Kwok mangambil contoh. Di India, Shakti adalah penguasa, energi feminis, sumber yang memberi kekuatan bagi manusia dan segala ciptaan yang lain. Di Cina, Dao adalah prinsip dan sumber utama dan sumber yang mencakup segala sesuatu dan mendasari segala perubahan di dunia. Di Korea, Shamanisme adalah bagian spiritual yang biasanya dikombinasikan dengan unsur manusiawi melalui tarian, gendang, bel, dan ritual. Hidup dalam suatu lingkungan yang kaya akan tradisi seperti ini, para teolog feminis Asia harus berusaha untuk menemukan sifat-sifat Allah yang imanen dalam segala ciptaan.

Di Asia, surga, dunia, gunung-gunung, pohon-pohon, hujan, sungai-sungai, dan benih-benih sering dipakai sebagai motif dalam puisi-puisi ataupun berbagai lukisan. Menurut Kwok motif-motif seperti ini sering kita jumpai dalam Kitab Suci. Misalnya, nabi Yesaya melukiskan kisah eksodus baru umat Israel dengan mengatakan bahwa gunung-gunung serta bukit-bukit akan bergembira serta bersorak-sorai dan pepohonan di padang akan bertepuk tangan (Yes 15:12). Gambaran ini bukan sebuah metafora belaka dan tulisan tanpa makna, tetapi merupakan sebuah usaha untuk memahami Allah dari dimensi yang berbeda. Mereka meyakini bahwa tindakan Allah mencakup hal-hal yang bersifat alamiah dan historis.

Banyak teolog feminis Asia berusaha meninggalkan gagasan hierarkis, dualistis dan patriarkis dan mulai mengembangkan gagasan ekologis, feminis dan organis. Model hierarkis menekankan Allah yang transenden. Allah adalah yang lain dari segala sesuatu, melampaui keberadaan manusia dan segala ciptaan. Pandangan dualistik sangat menekankan pertentangan antara alam dan manusia, laki-laki dan perempuan, Allah dan dunia. Pandangan patriarkat dan model antroposentris menggambarkan Allah sebagai raja, bapa dan Tuhan,sedangkan pendekatan feminis dan ekologis melihat Allah sebagai pribadi yang inklusif dan memakai gambaran yang inklusif serta metafora-metafora feminis untuk melukiskan Allah.

Kwok mengatakan bahwa kesadaran kosmologis ini membawa banyak teolog feminis Asia untuk menerima Allah yang imanen. Allah yang imanen dapat dijumpai di tengah-tengah kita dan segala ciptaan-Nya. Pandangan panenteisme (Allah ada dalam segala sesuatu) sangat dekat dengan religiositas Asia. Kwok dengan penuh keyakinan mengatakan bahwa kita dapat mengenal Allah melalui alam dan sejarah manusia. Di sini tidak ada pembedaan antara “keselamatan spesial” yang kita ketahui secara khusus dalam sejarah Kristiani dan apa yang disebut “keselamatan universal” yang kita ketahui melalui alam dan kebijaksaan dalam budaya-budaya lain.

4.2 Yesus sebagai Model bagi Kaum Feminis Asia

Menurutmu, siapakah Aku ini? Bagi Kwok, pertanyaan yang dikemukan oleh Yesus ini perlu dijawab dari generasi ke generasi dengan tidak terlepas dari situasi penindasan yang mereka alami. Bagi perempuan Asia, pertanyaan Yesus ini membawa mereka untuk masuk pada isu yang paling penting terkait identitas mereka sebagai seorang Kristiani, seperti terungkap dalam Kitab Suci, tradisi, budaya, dosa, dan keselamatan. Para teolog feminis berusaha menemukan hubungan yang tepat antara pandangan Kristologis yang mereka terima dari para misionaris Barat, budaya Asia dan situasi nyata yang mereka alami saat ini.

Berikut ini Kwok mengajak kita untuk merancang konstruksi Kristologi dengan empat macam pendekatan, yakni dalam konteks Filipina, Korea, Cina, dan India.

4.2.1 Yesus adalah Manusia Bebas[12]

Kwok mencoba berangkat dari situasi yang dialami oleh Filipina. Kwok menggambarkan bahwa Filipina adalah sebuah negara yang dijajah oleh Spanyol lebih dari 300 tahun dan Amerika Serikat selama 50 tahun. Setelah merdeka, orang-orang Filipina tidak langsung menikmati kebebasan sebagai hasil dari kemerdekaan itu, tetapi masih harus menghadapi rezim diktator Marcos. Teologi feminis Filipina baru tampak ke permukaan sejak pemerintahan Cory Aquino pada 1986. Hampir sama dengan perjuangan teologi pembebasan di Amerika Latin, para teolog Filipina juga masih harus berjuang untuk membebaskan diri dari kapitalisme yang begitu menekan kebebasan mereka. Kenyataan ini membawa para teolog feminis Filipina untuk berbicara soal Yesus sebagai seorang manusia yang bebas.

Para teolog Filipina berusaha membangun paham Kristologi mereka dengan merujuk pada pengalaman nyata dan kehidupan perempuan Asia yang berada di tengah-tengah agama pluralis. Mengutip pendapat Mananzan, Kwok mengatakan bahwa kehidupan religius orang-orang Filipina sangat dipengaruhi oleh religiositas Spanyol. Pada masa penjajahan Spanyol, hal yang menjadi tekanan utama dalam perayaan Paskah adalah penderitaan Yesus. Tekanan pada penderitaan Yesus ini begitu kuat sehingga tampak seolah-olah penderitaan Yesus pada Jumat Agung terpisah dari perayaan paskah secara keseluruhan. Dengan penekanan lebih pada penderitaan Yesus dan spiritulitas keselamatan yang akan terjadi setelah kematian, pesan Kristiani dimanfaatkan untuk melanggengkan kekuasaan dan praktek kolonialisasi terhadap orang lain.

Berkaitan dengan hal ini, Kwok mengemukakan dua strategi yang dapat dipakaiuntuk mengurangi kecenderungan salah tafsir terhadap penderitaan Yesus. Pertama, usaha untuk mengklaim kembali aspek subversif dari kisah penderitaan Yesus sebagai sebuah gerakan revolusioner. Penderitaan, wafat dan kebangkitan Yesus dan penghakiman terakhir memberikan inspirasi kepada banyak orang beriman untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu demi pembebasan mereka.[13] Kedua, harus ada pembedaan yang jelas antara sikap “pasif” dan “aktif” dalam penderitaan Yesus. Mengacu pada pendapat Lydia Lascano, Kwok berusaha mengidentifikasikan penindasan yang dialami oleh kaum perempuan dengan klaim sifat pasif penderitaan Yesus. Hal yang menjadi tekanan utama di sini adalah bahwa Yesus bersikap aktif terhadap penderitaan yang Dia alami. Begitupun dengan kaum perempuan Filipina. Mereka harus bersikap aktif untuk memperjuangkan kebebasan mereka.[14]

Kwok mengatakan bahwa ada beberapa dimensi yang dapat membantu para teolog feminis Filipina untuk memahami Yesus sebagai pribadi yang bebas. Pertama, pemahaman akan pribadi Yesus sebagai pribadi yang bebas tidak hanya didasarkan pada penderitaan dan kematian-Nya, tetapi pada seluruh rangkaian hidup dan pelayanan-Nya. Selama hidup-Nya, Yesus bersahabat dengan mereka yang terpinggirkan dari kehidupan masyarakat luas. Bersama mereka, Yesus menentang kekuasan Romawi, ahli-ahli taurat dan imam-imam kepala yang begitu menekankan peraturan-peraturan tertentu dan mengabaikan manusia. Kedua, inti dari pesan Yesus akan sebuah kerajaan yang penuh dengan kedamaian dan ketenteraman diperuntukkan bagi setiap orang. Pesan itu tidak dieksklusifkan bagi kelompok tertentu. Ketiga, dalam diri Yesus telah dikaruniakan kebebasan yang dapat membebaskan Dia dari beban hidup, perbudakan hukum dan pengaruh untuk tunduk pada otoritas manusia. Keempat, penderitaan Yesus harus dilihat sebagai satu kesatuan dengan peristiwa kebangkitan-Nya. Kedua peristiwa itu tidak bisa dipisahkan melainkan berada dalam satu rangkaian.

4.2.2 Yesus sebagai Seorang Imam Han[15]

Kwok berusaha membandingkan paham Kristologi yang ada di Filipina dan Korea. Dari perbandingan itu, Kwok menemukan bahwa paham Kristologi di Filipina sangat berbeda dengan paham Kristologi yang ada di Korea. Negara Korea yang tidak pernah dijajah oleh negara-negara Barat, misi Kristen tidak pernah menyentuh negara itu. Korea secara kultural dan politis sangat didominasi oleh Cina. Mereka baru dijajah oleh Jepang pada awal abad 19.

Para teolog feminis Korea sangat kritis terhadap agama Kristiani, Konfusianisme dan Budhisme sebagai agama-agama impor. Mereka berpendapat bahwa pandangan agama-agama tersebut dipakai oleh para elit politik, para biarawan-biarawati dan para pendeta untuk mendukung praktik budaya patriarkat. Atas pertimbangan ini, para teolog feminis Korea kembali mengacu pada paham shamanisme,[16] sebagai dasar atau acuan konstruksi Kristologi mereka.

Kwok menjelaskan bahwa dengan mengacu pada kepercayaan-kepercayaan tradisional, Chung mengemukakan beberapa langkah dalam usaha membangun konstruksi Kristologi Korea. Pertama, kesediaan kita untuk mendengarkan kisah penindasan dan kemiskinan yang dialami oleh kaum perempuan di masa lalu. Kedua, kesediaan untuk menganalisis secara cermat situasi sosio-politik dan religio-kultural guna menemukan alasan mengapa terdapat begitu banyak orang yang hidup dalam kemiskinan dan serba kekurangan.

Ketiga, kesediaan untuk mencari dan menemukan fragmen-fragmen dan tradisi-tradisi yang dapat memberi kehidupan. Terinspirasi oleh teologi minjung[17]Chung mengemukakan kemungkinan untuk menemukan maksud penegasan hidup baru yang merupakan persatuan antara kisah hidup Yesus dan sejarah hidup manusia. Hal ini dimaksudkan agar kita dapat memberi perhatian juga kepada mereka yang belum mengenal Yesus, dan berani memperluas horizon teologi kita untuk menjangkau mereka. Keempat, secara aktif membangun komunitas yang memiliki kekuatan dan harapan untuk menopang interpretasi Kitab Suci dan tradisi agar terbebaskan dari pandangan yang diskriminatif.

Kwok melihat bahwa langkah-langkah yang dikemukakan oleh Chung ini sangat berbeda dengan pendekatan teologis tradisional lainnya. Keempat langkah ini memberikan kepada kita suatu ruang untuk memahami secara tepat bagaimana Chung dan para teolog feminis Korea membangun konstruksi Kristologi mereka. Chung mengatakan bahwa dari pada memaku diri hanya pada Kitab Suci dan dogma, kita harusnya membuka telinga dan hati kepada tangisan mereka yang mengalami penderitaan dan penindasan di sekitar kita.

Lebih lanjut Kwok mengatakan bahwa untuk menjawab pertanyaan siapakah Yesus bagi perempuan Korea, Chung mengutip sebuah istilah sentral dalam teologi minjung Korea yakni “han.[18] Chung melihat bahwa kata han dipakai dalam teologi minjung Korea untuk menentang bentuk-bentuk penindasan di bidang ekonomi dan sosio-politik. Kata han jugadipakai di kalangan perempuan untuk menentang praktik diskriminasi seksual yang mereka alami dalam masyarakat Korea. Han yang disebut juga han-pu-ri menunjuk pada tiga hal, yakni, han memberikan kesempatan kepada setiap orang untuk dapat berbicara dan mendengarkan, menamai sumber penindasan, dan secara aktif merubah situasi ketidakadilan sehingga setiap orang dapat merasakan kedamaian.[19]

Bagi para teolog feminis Korea, Yesus dilihat sebagai seorang imam han dan shaman. Pandangan ini didasarkan pada tugas dari seorang imam han dan shaman adalah memberikan penghiburan kepada mereka yang patah hati, menyembuhkan mereka yang sakit, dan menghibur mereka yang menderita. Hal yang sama pun dilakukan oleh Yesus dalam pelayanan-Nya ketika Dia masih hidup.

4.2.3 Metafora Alam dalam Pewartaan Yesus[20]

Kwok mengatakan dengan jelas bahwa sudah sejak lama ajaran Kristiani dibawa masuk ke dataran Cina, tetapi hingga saat ini populasi umat Kristen di Cina hanya mencapai satu persen. Kenyataan ini menjadi refleksi serius bagi Kwok, ketika ia berusaha membangun konstruksi Kristologinya. Sebagai seorang teolog feminis Cina, Kwok menyadari bahwa sebelum membangun sebuah konstruksi Kristologi, dia harus berdialog dengan kebudayaan Cina yang sangat kental dan cukup berbeda dengan paham Kristologi Barat.

Kwok mengemukakan contoh bahwa perdebatan cukup alot pernah terjadi dalam perkembangan refleksi teologis Gereja, khusus perdebatan sekitar paham Kristologi. Dalam Konsili Kalsedon dibahas soal apakah ‘substansi Putera sama dengan substansi Bapa atau tidak.’ Bagi Kwok, dalam budaya Cina hal ini tidak mendapat tempat untuk didiskusikan karena budaya Cina berkembang dengan filosofinya yang sangat berbeda.

Lebih lanjut, dalam ajaran Kristiani, Sang Putera menderita dan wafat di salib untuk menyelamatkan umat manusia. Dalam pandangan Konfusianisme, hal ini tidak bisa diterima. Bagi mereka anak laki-laki adalah ahli waris yang bertugas melanjutkan keturunan dalam sebuah keluarga. Karena itu, klaim Yesus sebagai korban anak domba demi keselamatan manusia hanya terdapat dalam interpretasi Barat. Bagi orang-orang Cina, sebuah penderitaan yang mengerikan seperti yang dialami oleh Yesus di salib disugestikan dengan karma yang buruk, mengganggu keharmonisan, kedamainan, dan ketenteraman dalam religiositas Cina.

Kwok menjelaskan bahwa sebelum kita merangkai sebuah teologi feminis bagi Kristologi Cina kita harusberani meninggalkan pandangan Kristologi yang selama ini kita terima sehingga dapat menemukan pendekatan-pendekatan baru. Pendekatan yang coba untuk dipakai oleh Kwok adalah pendekatan yang menggunakan metafora alam, karena mengingat bahwa dalam budaya Cina dan budaya-budaya Asia lainnya, metafora alam dalam dunia religius sangat kental.

Ketika kita mencoba melihat berbagai gambaran Yesus yang ada dalam Perjanjian Baru, di sana terdapat banyak sumber yang dapat kita jadikan sebagai dasar untuk konstruksi Kristologi dengan menggunakan metafora alam. Yesus menggunakan tanaman anggur dan ranting untuk mendeskripsikan relasi-Nya dengan Bapa dan para murid. Yesus memberikan diri-Nya sebagai Roti dan Air Hidup. Yesus juga menggambarkan keprihatinan-Nya atas kota Yerusalem seperti seekor induk ayam yang mengumpulkan anak-anak di bawah sayap-sayapnya.[21]Dengan mengambil metafora alam ini, menurut Kwok, Yesus ingin menyampaikan kepada kita bahwa cinta kasih Allah melampaui semua dan menjangkau segala sesuatu.

4.2.3.1 Yesus sebagai Sang “Sophia”

Selain pendekatan di atas, Kwok mengemukakan juga pendekatan yang dikemukakan oleh teolog feminis Elisabeth Schussler Fiorensa dan Elizabeth A. Johnson. Kedua teolog ini menyebut Yesus sebagai “Sophia” (kebijaksanaan). Pada akhir abad pertama, Yesus tidak hanya dilihat sebagai seorang pengajar atau nabi yang penuh kebijaksanaan, tetapi diri-Nya sendiri dilihat sebagai inkarnasi dari kebijaksanaan itu sendiri. Dia adalah sang “Sophia.”[22]

Yesus tampil sebagai seorang guru yang bijaksana atau sebagai personifikasi dari kebijaksanaan itu sendiri. Pandangan seperti ini, bagi para teolog feminis Asia, melahirkan kemungkinan-kemungkinan baru untuk berdialog dengan tokoh-tokoh kebijaksanaan dalam tradisi Asia.

4.2.3.2 Yesus sebagai Seorang Sage

Para teolog feminis Asia juga melihat Yesus sebagai seorang guru kebijaksanaan yang mengajar tidak dengan maksud untuk diagung-agungkan. Yesus mengajarkan kebijaksanaan-Nya dengan pribahasa dan perumpamaan sebagai mediator pesan bagi para pendengar-Nya. Gambaran pribadi Yesus seperti ini akan menjadi lebih mudah untuk diterima oleh akal orang-orang Asia, dari pada gambaran Yesus sebagai mesias atau seorang imam, atau sebagai seorang hamba yang menderita.

Meskipun pada kenyataannya para guru kebijaksanaan Asia adalah laki-laki, seperti Confucius dan Gandhi yang populer dalam tradisi Taois dan Hinduisme, perempuan seperti juga laki-laki dapat menjadi seorang guru yang bijaksana pula. Yesus sebagai guru yang bijaksana mampu menjalin relasi yang akrab dengan orang-orang di sekitarnya dan juga setiap komunitas yang berada di sekeliling-Nya.

4.2.3.3 Yesus sebagai Epiphany Allah

Kwok mengatakan bahwa Yesus sebagai epiphany (penampakan) Allah, bukan satu-satunya, tetapi satu di antara yang lain. Pendekatan seperti ini memberikan kemungkinan kepada kita untuk masuk dan menemukan perwujudan wajah-wajah Kristus dalam agama-agama lain, dalam alam dan dalam keseluruhan ciptaan Allah. Hal ini sama sekali tidak mengurangi keselamatan Allah yang ditawarkan melalui Yesus. Malahan inkarnasi Allah dapat terlihat dalam keseluruhan sejarah umat manusia (baik laki-laki maupun perempuan). Penderitaan dan kematian Yesus bukan hanya untuk sekelompok orang, tetapi tampil dalam sebuah kerangka besar yakni perjuangan Yesus untuk menyelamatkan semua: semua orang dan semua ciptaan.

Bagi Kwok, dosa membuat relasi manusia terputus dengan segala sesuatu. Dosa memutuskan matarantai kehidupan dari si pendosa dengan yang lain. Dosa mengindikasikan situasi dimana orang kehilangan cinta dan rasa belas kasih. Dosa terjadi ketika kita menutup mata dan telinga terhadap tangisan beribu-ribu orang yang kelaparan, sungai-sungai yang tercemar dan pohon-pohon yang dibalak oleh tangan-tangan tak bertanggung jawab.

4.2.4 Kristus sebagai Perwujudan Prinsip Feminin[23]

Kwok mengatakan bahwa India adalah sebuah negara yang sangat kuat spiritualitasnya, dengan kuil-kuil dan gua-gua di berbagai sudut kota untuk tempat pemujaan. Berhadapan dengan penjajahan Inggris lebih dari 150 tahun, kemiskinan dan modernisasi India harus berusaha untuk mempertahankan budaya asli sebagai identitas mereka. Para feminis India harus berjuang tidak hanya untuk melawan diskriminasi seksual, tetapi juga beberapa hal lain.

Pertama, sintem kasta yang sangat kuat di India, buta huruf, dan kekerasan terhadap perempuan yang kian meluas. Kedua, berkaitan dengan sistem mas kawin. Di India, mas kawin diberikan oleh keluarga perempuan kepada keluarga laki-laki. Keluarga perempuan harus membayar sejumlah uang kepada keluarga laki-laki. Jika keluarga perempuan tidak mampu membayar mas kawin, maka perempuan tersebut akan dipukul, dianiaya bahkan sampai dibunuh. Dalam paham tradisional, perempuan dipandang sebagai alat laki-laki. Perempuan dituntut untuk menunjukkan loyalitas mereka terhadap suami mereka.

Kenyataan ini menuntut para teolog feminis India untuk berani menyusun konstruksi Kristologis mereka sendiri, yang mampu menjawab persoalan yang mereka hadapi saat ini. Pendekatan yang dicoba untuk dipakai oleh para telog feminis Asia adalah “Shakti.[24]

Kwok mengatakan bahwa Aruna Gnanadason berusaha menjelaskan maksud dari Shakti sebagai berikut:

Shakti merupakan energi dinamik, yang merupakan sumber dan substansi dari segala sesuatu, meliputi segala-galanya. Manifestasi dari energi primordial ini disebut Prakriti (alamiah). Alamiah, baik yang bernyawa maupun tidak bernyawa merupakan ekspresi dari shakti, prinsip kreatif dan feminin dari kosmos, dalam hubungannya dengan prinsip maskulin (Purusha). Prakriti menciptakan dunia.[25]

Kwok menjelaskan bahwa konsep Shakti merupakan sebuah konsep yang dipopulerkan oleh seorang teolog eko-feminis asal India, Vandana Shiva.Bagi Shiva, prinsip feminin atau Shakti dicirikan dengan keharmonisan antara manusia dan alam, laki-laki dan perempuan, rasa hormat terhadap segala perbedaan yang ada dan saling berbagi. Shiva sangat menjunjung tinggi program pembatasan eksploitasi terhadap alam, perempuan dipandang sebagai yang melahirkan kehidupan dan bangga bahwa di Dunia Ketiga, meski berada dalam situasi tekanan, perempuan masih bisa menyediakan makanan bagi keluarganya.[26]

Kwok mengatakan bahwa penggunaan filsafat dan pengertian yang populer dari Shakti untuk menginterpretasikan Yesus telah membawa berbagai keuntungan. Pendekatan ini secara jelas membuka ruang bagi paham Kristologi yang berbasiskan spiritualitas eko-feminis di antara feminis India. Kristus, sebagai perwujudan Shakti, merupakan sumber energi bagi keharmonisan dan relasi dengan keseluruhan kosmos.

Akan tetapi satu hal penting yang menurut Kwok tidak boleh luput dari perhatian kita adalah bahwa kita harus lebih kritis dalam menilai sumbangan dari konsep Hindu ke dalam feminisme Kristiani. Banyak teolog laki-laki India sudah sejak lama berusaha menginterpretasikan iman Kristiani melalui lensa Hinduisme, tanpa memberi perhatian pada isu diskriminasi seksual yang ada dalam tradisi Hindu. Perhatian para teolog feminis harus difokuskan pada dualisme dan hierarki yang ada dalam Hinduisme, secara khusus ritual-ritual dan tabu-tabu di sekitar perempuan,sebab justru praktek-praktek ini yang mensubordinasikan kaum perempuan.

RANGKUMAN

Kwok mengemukakan satu bagian dari pemikirannya yang sangat penting terkait dengan usaha para feminis Asia untuk keluar dari ketertindasan dan kemiskinan yang mereka alami bertahun-tahun lamanya. Sadar akan identitas mereka sebagai bangsa yang kental akan budaya dan religiositasnya, kaum feminis Asia berusaha meneliti kepincangan ini mulai dari dalam yakni agama dan budaya yang selama ini menjadi identitas mereka.

Dari sudut agama, mereka melihat bahwa dalam konsep dan ritus-ritus keagamaan masih terdapat begitu banyak hal yang sifatnya meniadakan kaum perempuan. Bahasa-bahasa yang dipakai langsung menunjuk pada subjek tertentu, terutama laki-laki. Hal ini mengindikasikan bahwa peran perempuan dalam bahasa dan ritus keagamaan tertentu hanya sebagai peserta bukan merupakan subjek liturgis. Bahasa yang dipakai untuk menyebut Allah pun secara tidak langsung mengklaim bahwa Allah sebagai seorang laki-laki.

Dari sudut budaya, kaum feminis melihat bahwa untuk memahami Allah dan Yesus yang sangat Asia, mereka tidak dapat melepaskan diri dari budaya Asia yang telah mendarah daging dalam diri mereka. Karena itu, perempuan Asia berusaha membawa konsep Allah dan Kristologi ke dalam budaya-budaya Asia, sehingga mereka lebih mudah untuk mengerti siapakah Allah dan Yesus yang mereka imani. Pertanyaan Yesus, “menurutmu, siapakah Aku ini?” menjadi sebuah tuntutan bagi perempuan Asia untuk menjawabnya dari generasi ke generasi. Dalam usaha menjawab pertanyaan Yesus ini, perempuan Asia bertitik tolak dari pengalaman kemanusiaan mereka dan budaya mereka sendiri.

Paham Allah dan Yesus yang bagi mereka cukup abstrak, dicoba untuk diinkulturasikan ke dalam budaya dan bahasa mereka, sehingga dapat membantu mereka untuk memahami Allah, Yesus dan kasih-Nya yang begitu besar. Metafora alam menjadi salah satu mediator bagi perempuan Asia untuk memahami Allah sebagai pribadi yang imanen dan dekat dengan ciptaan-Nya. Allah melalui Putera-Nya, Yesus Kristus, berada bersama perempuan Asia dan berjuang bersama mereka untuk keluar dari himpitan budaya patrirkat dan bahasa androsentrisme yang telah menjadikan mereka sebagai manusia kelas dua.

[1] Kwok, Asian Feminist Theology, hlm. 66-69.

[2] Raimundo Panikar, 1987, “the Jordan, the Tiber and the Ganges,” in John Hick and Paul F. Knitter (eds.), The Myth of Christian Uniqueness: Toward a Pluralistic Theology of Religions, Maryknoll, NY: Orbis Books: 89-116, seperti dikutip dalam Kwok, Asian Feminist Theology hlm. 66.

[3] Majorie Hewitt Suchocki, 1987, “In Search of Justice: Religious Pluralism From a Feminist Perspective,” in John Hick and Paul F. Knitter (eds.), The Myth of Christian Uniqueness: 149-61, seperti dikutip dalamKwok, Asian Feminist Theology hlm. 66-67.

[4] Chung Hyun Kyung, 1990, Struggle to Be the Sun Again: Introducing Asian Woman’s Theology, Maryknoll, NY: Orbis Books, seperti dikutip dalam Kwok, Asian Feminist Theology, hlm. 68.

[5] Chung Hyun Kyung, 1996b, “Your Confort vs My Death,” in Mananzan et all. (eds.) 1996:129-140, seperti dikutip dalam Kwok, Asian Feminist Theology.

[6] Kwok, Asian Feminist Theology, hlm. 69-71.

[7]Greer Ann Wenh-In Ng, 1997, “Inclusive In Asian North American Churches: Non-Issue or Null Curriculum,” Journal of Asian and Asian American Theology, 2.1:21-26, seperti dikutip dalam Kwok, Asian Feminist Theology, hlm. 70.

[8] Stella Faria, 1988, “On Language and Sexism,” In God’s Image (December): 52-55, seperti dikutip dalam Kwok, Asian Feminist Theology.

[9] Kwok, Asian Feminist Theology, hlm. 72-74.

[10] Choi Man Ja, 1991, “A Feminist Theology of Korean Goddesses,” in AWRC, seperti dikutip dalam Kwok, Asian Feminist Theology, hlm.73.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun