"Bahasa menunjukkan Bangsa (?.!), Apresiasi kepada Weliam H. Boseke, penulis buku Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa (?.!)
Teman dialog saya master di bidang kimia lulusan Taiwan, program doktoralnya dibatalkannya karena tawaran mesti pulang ke Indonesia bekerja sebagai tenaga ahli. Sampai pensiun dia kerja di perusahaan tekstil khusus bagian mekanisasi pewarnaan dengan standar dan prosedur kerja dan teknik yang ketat.
Jelang bbrp tahun pensiun, dia sempat mendalami ilmu Akupuntur dan mendapatkan Ijin Praktik melalui UI. Sempat buka praktik hanya untuk kalangan kerabat dan keluarga saja. Saya termasuk yang pernah disembuhkannya setelah dua minggu menjalani perawatan dokter medis RS tidak berhasil.
Sekitar dua minggu yang lalu saya memberikan kepadanya buku Penguasa Dinasti Han Leluhur Minahasa karya Weliam H. Boseke, terbitan Pohon Cahaya, Yogyakarta, Januari 2018. Dengan harapan dia membaca dan memberi komentar dari sudut keahliannya. Karena dia juga praktisi bahasa Mandarin bahkan berpraktik sebagai penerjemah tersumpah yang diakui oleh Kedubes Tiongkok dan Kuasa Dagang Taiwan. Dia menjadi penerjemah dokumen legal formal bahasa Mandarin ke Inggris dan sebaliknya, Indonesia ke Mandarin dan sebaliknya.
***
Buku tersebut berisi hasil penelitian sepuluh tahunan oleh penulis secara mandiri. Peneliti menemukan bahwa bahasa Minahasa itu hanya satu dan berasal usul bahasa Han kuno di daratan Tiongkok.
Lebih menarik lagi penulis membuktikan temuannya dengan merujuk pada kisah dramatis perang tiga kerajaan, Sam Kok atau San Guo pada abad ketiga, sebagaimana dicatat dalam sejarah Tiongkok yang sudah diromankan oleh Luo Guan Chong. Penulis jg membuktikan bahwa legenda Toar Lumimuut itu adalah kisah sejarah, tetapi mengoreksi status anak dan ibu, karena sesungguhnya Toar atau Tou Erl adalah anak ke-enam dari raja Liu Shan (A Tou) yang adalah anak dari kaisar agung Liu Bei. Lumimuut sendiri adalah kerabat Toar.
Makin menarik karena ternyata nama-nama famili Minahasa  bukan genetik atau diturunkan sejak awal, melainkan baru mulai sejak masa pembaptisan dan pencatatan tertulis di masa kolonial. Fam Minahasa diambil dari Nyanyian Karema, Zazanian ni Karema (Kai Ren Ma De Chang), pada saat menyanyikan pujian penuh hormat pada Amangkasuruan (Han: A Mang Kai Shu Ru An atau "orang tulus jujur yang masuk dengan damai mengamankan dan mendirikan Han Shu" ). Dia tak lain adalah sang Kaisar dalam peristiwa tragis yang menyebabkan perpisahan anak-anak dari orang tua dan istana kerajaan.
Temuan ini menggemparkan karena begitu banyak nama tempat, benda, lokasi, ungkapan doa ritual, syair lagu, ungkapan bijak, dll ternyata dapat ditelusuri dalam bahasa Han, bahkan ada yang sama, mirip, atau terkait walau sudah ada perubahan bentuk dan bunyi. Melalui metode Ping Yin atau Wade/Giles (transliterasi kaligrafi Han ke Latin), penulis memperlihatkan pelbagai kesamaan, kemiripan, dan perubahan yang masih bisa ditelusuri dalam bahasa Han dan Minahasa. Misalnya Si Tou Timou Tumou Tou, "manusia hidup untuk menghidupkan sesama manusia" . Ungkapan populer ini masih mirip dalam bahasa Han: Zi Tou Tu Mou Ti Mou Tou yang artinya tunas manusia/orang bertumbuh/bertugas menjadi manusia/seseorang untuk memanusiakan tunas manusia.
***
Kembali ke teman kita. Saat itu dia hanya mengangguk-angguk saja, tanpa banyak bicara. Ya, memang sifatnya pendiam dan suka berenung bahkan sering saya menemukan dia sedang bermeditasi sambil duduk.
Pernah saya diajak mengikuti acara meditasi dan pengajaran dari seorang Rinpoche, sebutan guru biksu dari Tibet. Teman kita ini menjadi bagian dari penerjemahan pengajaran Rinpoche yang berbahasa Tibet, ke dalam Mandarin, dan terakhir ke Indonesia, selama tiga hari berturut-turut di sebuah tempat ibadah kelompok ini di kawasan Pantai Indah Kapuk.
Seminggu setelah saya berikan buku itu, saya bertemu dia dan menanyakan apakah buku sudah dibaca. Dia hanya tersenyum dan bilang belum sempat.