Perjalanan Bandung -- Yogyakarta, menyita waktu 15 jam, berkendara roda empat. Beberapa titik longsor dijumpai, sepanjang pagi hingga siang hari selama perjalanan, akibat hujan lebat sebelumnya.
Bersama seorang kawan, berbagi celotehan tentang orang-orang yang bertugas sebagai pengatur jalan, mengharuskan lewat bergantian, karena sisi lain sedang diperbaiki, Sabtu (27/04/19).
Sewajarnyalah mereka mendapatkan imbalan, meski sekadarnya. Mungkin lelah, tak semua pengatur jalan menebar sikap ramah. Bahkan, seperti robot, tangan kanan menyodorkan kaleng bekas, sedangkan tatap wajahnya entah kemana.
Ada kesal di hati, ketika lembaran lima ribu rupiah lepas pemilik, masuk kaleng sumbangan. Pasalnya, tak ada ungkapan ekspresi wajah berterimakasih dan bersyukur dari pengatur, meski lembar uangnya terlihat jelas.
Tahu begitu, tak usah kasih sumbangan, gumam kecewa dalam hati. Pengatur jalan, tak lagi mampu melihat sang donatur, betapa uang lima ribu rupiah cukup besar, lebih dari biaya parkir jalanan yang biasanya dua ribu rupiah.
Tak cuma sekali, peristiwa tersebut ter-alami. Mungkin saja mereka-mereka itu sibuk, melawan kepenatan dan teriknya sinar matahari.
Sumbangan kepada pengatur jalan, menuai kecewa karena diri merasa tak dihargai, memberi lima ribu rupiah.
Kasus lainnya, saat recehan cuma tersisa seribuan, beberapa lembar dua ribuan, dan dua lembar lima ribuan.
Sayang uang yang lima ribuan, akhirnya merubah keputusan jadi memberi seribuan saja. Tenang sesaat, bapak separuh baya membalas ramah dengan senyum syukur, meski cuma seribu yang terlihat.
Masalahnya, ada sebersit rasa galau, kecewa dan kesal hati, mengingat wajah si bapak dengan senyum syukurnya. Gumam sesal menyeruak di kalbu, kecewa berat mengapa tidak memberi lebih. Bahkan senilai sepuluh ribu pun tak membuat sesal.
Sesal dan kecewa memberi, mau sedikit, mau banyak ternyata bermasalah. Tanya penasaran, mengapa cuma memberi saja menyisakan galau dan kekecewaan mendalam.