Mohon tunggu...
Lardianto Budhi
Lardianto Budhi Mohon Tunggu... Guru - Menulis itu Membahagiakan

Guru yang suka menulis,buat film,dan bermain gamelan

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Refleksi Hari Jadi Wonogiri ke-278: Pangeran Sambernyawa dan Jejak Perjuangannya di Wonogiri

19 Mei 2019   14:08 Diperbarui: 19 Mei 2019   15:54 140
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemerintahan. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Setelah pembuangan ayahnya ke Srilanka oleh VOC pada tahun 1727, lalu disusul kematian ibunya 3 tahun kemudian, Raden Mas Sahid bersama 2 adiknya diasuh oleh Raden Ayu Sumanarsa, neneknya. Sejak itu, Raden Mas Sahid dan kedua adiknya tinggal di Keraton Mataram Kartasura dalam situasi penuh penderitaan. Karena intrik keluarga yang terjadi pada ayahnya membuat Raden Mas Sahid dipinggirkan dari lingkungan keraton.

Memasuki usia dewasa, Raden Mas Sahid mulai menyadari keadaan keraton yang sangat dipengaruhi oleh kepentingan dagang VOC. Sebagaimana ditulis dalam berbagai literatur sejarah, Sunan Pakubuwono II membiarkan VOC campur tangan terlalu dalam terhadap urusan keraton. Hal ini yang membuat Raden Mas Sahid tidak terima. Maka, atas penyikapannya terhadap situasi keraton yang kehilangan kemerdekaan itu, Raden Mas Sahid berfikir untuk mengembalikan kewibawaan keraton Mataram Kartasura dari pengaruh kompeni Belanda. 

Pada Mei tahun 1741 Raden Mas Sahid memutuskan keluar dari keraton Mataram menuju Nglaroh, sebuah dusun kecil yang masuk dalam kawasan Wonogiri. Raden Mas Sahid memilih tinggal di Dusun Nglaroh, Selogiri sebagai tempat untuk memulai mengorganisir strategi perjuangan dan membangun kekuatan dengan mengumpulkan dukungan rakyat sebesar-besarnya. Keputusan tinggal di Dusun Nglaroh, Selogiri, Wonogiri bukanlah sebuah kebetulan tapi dengan mempertimbangkan aspek historis dan psikologis.

Sebagaimana diketahui bahwa Mas Ayu Karoh atau Raden Ayu Sumanarsa yang merupakan nenek Raden Mas Sahid merupakan istri dari Amangkurat IV berasal dari Nglaroh, Selogiri, Wonogiri. Dengan mempertimbangkan aspek historis ini, Raden Mas Sahid berfikir akan lebih cepat mendapatkan dukungan dari rakyat. Dan memang benarlah, di Nglaroh, Wonogiri cita-cita Raden Sahid disambut dengan dukungan penuh rakyat. Disinilah kemudian Raden Mas Sahid mendidik rakyat dengan berbagai macam pengetahuan dan kerampilan. Rakyat digembleng lahir dan batin untuk mempersiapkan diri melakukan perlawanan kepada Sunan Pakubuwono II dan VOC yang menguasai Mataram.

Kemudian Geger Pecinan pecah pada tahun 1742. Mas Garendi yang didukung oleh orang-orang Tiongkok melakukan pemberontakan terhadap VOC dan Sunan Pakubuwono II. Raden Mas Sahid bergabung bersama Mas Garendi dan rakyat untuk merebut Mataram. Sunan Pakubuwono II lari ke Ponorogo ketika benteng keraton jebol dan Mas Garendi menguasai istana keraton Mataram. Mas Garendi naik tahta sebagai raja kerajaan Maratam sedangkan Raden Mas Sahid diangkat sebagai panglima perang. Tapi, kekuasaan Mas Garendi atas Mataram Kartasura tidak berlangsung lama. Baru sekitar 4 bulan bertahta, pada bulan November 1742, Sunan Pakubuwana II menyerang Mas Garendi untuk merebut kekuasaan Mataram kembali.

Sunan Pakubuwana meminta bantuan Pangeran Cakraningrat dai Madura dan VOC. Akhirnya kekuasaan Mas Garendi atas Mataram yang baru seumur jagung itu runtuh. Raden Mas Sahid dan Mas Garendi lari dari keraton dan meneruskan perlawanan terhadap Sunan Pakubuwono II secara bergerilya. Raden Mas Sahid kembali ke Nglaroh, Selogiri sebagai pusat perlawanan terhadap Mataram dibawah Sunan Pakubuwono II, sementara Mas Garendi meneruskan pelarian dan bergerak kearah Surabaya.

Selama kurang lebih 16 tahun Raden Mas Sahid melakukan perlawanan secara bergerilya. Atas kelihaiannya dan kecerdikannya dalam menjalankan siasat peperangan, Raden Mas Sahid mendapat julukan Pangeran Sambernyawa. Raden Mas Sahid menggelorakan semangat perlawanan rakyat dengan slogan Tiji Tibeh, yakni akronim dari Mati Siji Mati Kabeh, Mukti Siji Mukti Kabeh. (Satu Mati, Semua Mati. Satu Sejahtera, Semua Sejahtera).

Perjuangan yang dilakukan Raden Mas Sahid akhirnya mendapatkan hasil dengan diberikannya sebagian wilayah Mataram sebagai wilayah otonom dan Raden Mas Sahid diizinkan mendirikan trah Mangkunegaran. Ketika itu, Wonogiri merupakan daerah Kawedanan Gunung yang merupakan daerah kekuasaan Mangkunegaran, meliputi Keduang, Honggobayan, dan Nglaroh.

Saat kekuasaan Mangkunegara VII, terjadi peristiwa penting yakni tetedakan Mangkunegara VII yang memutuskan Wonogiri berubah status dari daerah Kawedanan Gunung menjadi Kadipaten. Tetedakan yang dilakukan oleh Mangkunegara VII ini merupakan bentuk kesadaran sejarah sekaligus penghormatan dan penghargaan terhadap keberadaan Wonogiri selama perjuangan Raden Mas Sahid atau Pangeran Sambernyowo sehingga berhasil mendirikan trah Mangkunegaran.

Pada peristiwa tetedakan Mangkunegara VII ini, pusaka Raden Mas Said saat menjadikan Nglaroh sebagai basis perjuangan melawan VOC dan kekuasaan Mataram diputuskan untuk disimpan Wonogiri. Tempat penyimpanan pusaka tersebut berupa Tugu Batu yang berada di Jalan Raya Wonogiri-Solo. 

Sementara itu kedatangan Raden Mas Sahid pada Tanggal 19 Mei 1741 diabadikan dengan Prasasti Nglaroh, berupa Batu Gilang yang dipelihara oleh masyarakat sebagai monumen untuk mengenang perjuangan Raden Mas Said sekaligus menandai lahirnya sistem pemerintahan di Wonogiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun