Mohon tunggu...
Money Pilihan

Negeri Maritim Dilanda Krisis Garam

29 Juli 2017   12:07 Diperbarui: 30 Juli 2017   06:21 363
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

INDONESIA adalah negara yang memiliki bentangan laut seluas 96.079,15 km persegi, bahkan tercatat sebagai negara yang memiliki laut terluas ke tujuh se-dunia. Artinya jika dilihat dari sumber daya alam yang ada, seyogyanya negeri maritim ini mampu menciptakan swasembada garam bukan malah sebaliknya.

Kenyataan tak bisa ditampik, saat ini hampir seluruh perusahaan yang memproduksi garam beryodium untuk konsumsi rumah tangga kolaps akibat kesulitan mendapatkan bahan baku. Pun karyawan produsen garam konsumsi dikabarkan akan dirumahkan karena sudah stop produksi. Puluhan ribu orang yang bergantung terhadap produsen garam akan menganggur. Akibatnya stok garam dalam negeri terus menipis. Hampir semua elemen masyarakat mengeluhkan langkanya keberadaan garam beryodium di negeri ini. Disusul harga penyedap rasa ini dipasaran melonjak tinggi hingga 300 persen.

Produksi garam dalam negeri belum bisa mengimbangi tingginya permintaan pasar, hanya baru bisa mencapai 1,8 juta ton per tahun. Sedangkan kebutuhan garam untuk konsumsi maupun industri mencapai 4,3 juta ton per tahun. Wacana impor garam pun santer digaungkan untuk memenuhi kebutuhan garam baik untuk konsumsi maupun untuk industri. Untuk memudahkan mendapatkan garam, pemerintah pun memutuskan izin impor garam tak mesti menunggu rekomendasi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan. Langkah ini diambil sebagai jalan keluar dari menipisnya garam industri dalam beberapa bulan terakhir. Fakta ini tentu sangat kontradiktif lantaran Indonesia memiliki laut dan garis pantai  lebih banyak dibanding sebagian besar negara di dunia. Padahal, kita tahu, hanya dengan menguapkan air laut yang tergantung tiga komponen itu, garam bisa dibuat.

Jika saja pemerintah lebih jeli membaca tanda-tanda bakal darurat garam, itu sebenarnya sudah terlihat jauh-jauh hari dan semestinya bisa diantisipasi. Sebagai contoh, sejak Lebaran harga garam nyaris tidak pernah turun lagi seperti biasanya. Harganya malah terus melambung dan kini sudah naik empat kali lipat. Atau, lihat saja tanda-tandanya dari angka kebutuhan dan produksi garam nasional.

Lucunya, kondisi cuaca dijadikan alasan mengapa Indonesia yang wilayahnya dua pertiga lautan ini mengalami krisis garam. Disebutkan bahwa sepanjang tahun ini sinar matahari tidak sebanyak biasanya, sementara industri garam dalam negeri mengandalkan matahari untuk menguapkan air laut. Rasanya tak adil jika serta merta hanya menyalahkan cuaca, sebab seharusnya pemerintah bisa belajar dari kesalahan masa lalu seperti yang terjadi di tahun 2010 silam, yang mana situasinya sama dengan situasi saat ini. Dimana pada saat itu, produksi garam nasional hanya 30.600 ton. Ini tentu tak sebanding dengan produksi garam tahunan rata-rata 1,2 juta ton.

Awas Mapia Importir Garam

Dalam situasi seperti ini, pemerintah harus ekstra hati-hati dalam mengambil langkah. Sebab khawatir situasi ini sengaja diciptakan oleh sekelompok pihak yang mencari keuntungan dari derita ini, terlebih ditengah ketatnya aturan pemerintah dalam hal izin impor garam yang bisa membuat para mapia importir garam kalap. Hal bukan tanpa dasar, kejadian di tahun 2015 silam cukup menjadi perhatian, dimana oknum Pegawai dari dua instansi pemerintah, yakni Kementerian Perdagangan dan Kementerian Perindustrian diduga terlibat kasus suap perizinan dan kuota impor garam. Modus yang dilancarkan dalam kasus tersebut yaitu menurunkan kuota garam perusahaan A sehingga pemilik harus menyerahkan sejumlah uang. Hal tersebut dilakukan agar pejabat tersebut mengembalikan kuota ke angka semula. Jadi, kala itu aparat menemukan adanya dua macam pelanggaran. Pertama suap dalam bentuk uang pelicin untuk mendapatkan Surat Persetujuan Impor (SPI), agar dapat mengeluarkan barang dari pelabuhan. Kedua, uang suap untuk menambah kuota impor dari yang semestinya menjadi ketentuan.

Kasus itu membuat Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti marah besar hingga dia mengupayakan untuk mengurangi impor garam meski mendapatkan hambatan dari pihak importir. Pertemuan terakhir Susi dengan para importir garam dari asosiasi petani garam dan asosiasi importir garam belum ditemukan titik terang dan kebijakan yang tepat untuk bisa mendukung swasembada garam nasional. Nyata memang sampai hari ini keinginan untuk swasembada garam masih dalam cerita.

Sudah waktunya pemerintah membuat terobosan dalam menghadapi persoalan ini. Sebab, dampak dari kelangkaan garam ini bukan sekadar urusan makanan, tapi juga mempengaruhi banyak industri. Di Maluku gara-gara kesulitan garam banyak usaha pengolahan ikan asin tutup atau terpaksa mengalihkan bisnisnya ke ikan asap. Sementara itu, di pasar harga ikan asin yang merupakan sumber protein murah masyarakat menjadi lebih mahal 10-30 persen.

Agar krisis ini tidak terulang di kemudian hari, pemerintah harus membereskan persoalan ini. Upaya Kementerian Kelautan dan Perikanan yang tengah menyusun peraturan pengendalian impor komoditas garam harus didorong agar lebih cepat rampung dan tepat guna. Dan yang lebih penting lagi bagaimana upaya pemerintah mendorong kesejahteraan pengrajin garam serta menciptakan teknologi dan memberikan metodelogi agar pengrajin garam dapat meningkatkan produksinya himgga terciptanya swasembada garam dalam negeri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun