Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Setubuh Waktu

1 Januari 2011   17:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:03 312
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Inilah persetubuhan yang terkadang tanpa keringat. Tanpa hela nafas berat. Tetapi dunia realita harus menjalani persalinan tanpa bekas darah.

Saya sering katakan pada beberapa rekan yang terkadang berlapang dada membuka kuping, untukku, pejantan yang baru menetas tadi siang. Kukatakan, kita tidak dilahirkan ibu, tetapi kita dilahirkan oleh waktu yang zalim menimpakan perih pada perempuan.

Pun, kita bukan buah persetubuhan dua manusia. Tetapi, di sini waktu berbaik hati lesakkan nikmat pada sepasang manusia yang diamuk birahi. Dan waktu juga yang sejatinya telah bersenggama. Kendati ia tidak tinggalkan gaung lenguh. Mungkin--kucoba reka--waktu lebih suka dirinya terlihat terlihat diam, namun ia berjalan. Ia tidak suka meraja palsu sehari laiknya pengantin. Namun tubuhnya terus terayun. Menerima anak-anaknya yang tidak sedikit terlahir sebagai bangsat. Sebagian lainnya terlahir sebagai keparat.

Waktu, ia adalah ibu yang terlalu baik, kukira. Sepertinya, untuk anak-anaknya yang memilih menjadi bangsat atau keparat, ia cukup bijaksana membiarkan anak-anak itu menciptakan hukuman untuk diri sendiri. Ia tidak perlu kotori tangannya menampar pipi anak yang ditetaskan lewat selangkangan perempuan pilihannya.

Ayah kita adalah waktu. Ibu kita adalah waktu.

Kita sama terlahir hari ini. Kita baru menetas siang tadi. Kusyukuri, beberapa rekanku tersadar bahwa mereka terlahir bersamaan denganku. Siang tadi, benar-benar siang tadi.

Memang mengerikan, saat waktu terlihat seperti tidak bertanggung jawab. Sebab tidak pernah keluarkan sepatah kata pun untuk ia jalin menjadi nasehat. Ia manterai untuk menjadi tombak yang bisa lobangi telinga anak-anaknya. Tidak pernah.

Dalam geraknya bersama diam. Ibu dan Bapak yang tidak pernah memberi nama untuk diri mereka sendiri--kecuali yang disematkan anaknya, waktu--membiarkan anak-anaknya memilih sendiri.

#

Membelah paha Jakarta. Ketika malam masih seperti cat dinding yang hanya dipercikkan saja.

"Bagaimana menurutmu, melihat orang yang merutuki waktu yang dipandang gagal menaburi semua yang baik-baik di kolam pribadi mereka?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun