Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Mencerna Logika Ahok

26 Agustus 2015   21:44 Diperbarui: 26 Agustus 2015   21:44 10120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sumber Gbr: Fajar"][/caption]Sekali waktu, saya menuliskan status di akun facebook, yang berisikan kalimat kira-kira, "Jika saya diminta memilih antara seorang Habib yang menikmati dirinya yang dipuja-puja dengan Ahok yang tak peduli dengan pujian, maka saya memilih yang kedua!".

Ya, status facebook itu sempat membuat saya menjadi sasaran "tembakan" alias bully beberapa kalangan, tak terkecuali dari sebagian di antaranya yang terbilang teman dekat.

Ada di antaranya yang berprinsip, seburuk apapun seorang pemimpin asalkan berasal dari agama kita sendiri, masih jauh lebih baik dibandingkan pemimpin terbaik yang datang dari luar agama kita. Itu juga yang sempat disodorkan kepada saya, seperti mendesak saya agar mengubah sudut pandang dan memilih untuk menggunakan baju dikotomi "seagama atau tidak".

Jelas, Ahok bukanlah figur seagama dengan saya dan mayoritas penghuni Jakarta. Ia juga kerap disebut-sebut sebagai orang non-pribumi alias seseorang yang hanya "nyasar" ke Nusantara ini.

Parahnya lagi, mereka yang setia dengan dikotomi pribumi-nonpribumi, mayoritas-minoritas, memiliki amunisi terlalu banyak untuk memberikan alasan. Bahkan mereka memiliki alasan untuk membenarkan peristiwa pembantaian pada etnik tertentu pada 1998 lalu.

Hawa permusuhan lantaran perbedaan latar belakang itu kembali diungkit-ungkit saat terjadi penggusuran Kampung Pulo, yang menjadi salah satu kebijakan Ahok. Ekses dari itu juga, banyak yang terkesan mengompori agar melawan, dan meniup terompet perang, melibas mereka yang "hanya dari kalangan minoritas". Ada kesan, hanya dengan cara itu, mereka yang di posisi sebagai mayoritas merasa menang.

Padahal, soal pembenahan Jakarta bukan soal ini kepentingan minoritas dan itu kepentingan mayoritas. Sementara berharap kepada yang mayoritas pun, hanya membawa masyarakat pada mimpi indah yang berisi bisikan merdu, membuai, dan ingin tertidur lebih lelap. Ini sudah sangat kerap terjadi.

Dalam kasus penggusuran, ini masih terus diembuskan sebagai kebijakan yang tak bijak yang telah dilakukan seorang Ahok! Ini tentu saja tuduhan yang sulit dikatakan sebagai sesuatu yang lebih bijak dari kebijakan itu.

Ya, mungkin saja mereka ingin berempati pada pada masyarakat yang menjadi "korban" penggusuran. Mereka ingin menunjukkan keberpihakan kepada masyarakat biasa. Sebab, memang tak semua yang menolak kebijakan Ahok sebagai orang yang tidak benar.

Mungkin lagi merekapun hanya berusaha melihat fenomena itu dengan nurani, dengan mata hati.

Tapi jika ingin proporsional dan melihat lagi, apa yang sesungguhnya dibutuhkan Jakarta seraya melihat juga apa saja persoalan yang terjadi di sini, saya raya tak cukup hanya berlandas kepada tega-atau tak tega.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun