Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Membaca Lagi Wasiat Romo Mangun

27 Februari 2017   09:11 Diperbarui: 27 Februari 2017   10:28 938
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosok Romo Mangun yang mengasah jiwa sastranya dari gereja ke kehidupan rakyat jelata - Gbr : Yussak Anugrah

Romo Mangun. Begitulah ia akrab disapa. Februari menjadi bulan kepergiannya, setelah puluhan tahun mewarnai dunia kepenulisan di Indonesia. Dia penulis ternama, tapi lebih menyukai untuk menyebut dirinya sebagai seorang amatir.

Ia memang terkenal sebagai figur yang tak suka hal-hal biasa-biasa saja. Salah satunya, termasuk saat banyak penulis merasa mulia karena bekerja sebagai penulis, dan tak sedikit mendudukkan diri sebagai cendekia elite, Romo Mangun memilih merendah. 

Itulah kenapa di banyak kesempatan dia acap melabeli dirinya sebagai penulis amatir. Padahal hampir semua penggila baca pasti mengenalnya.

Sejak 1970-an ia sudah muncul dengan berbagai karyanya. Roro Mendut menjadi salah satu karya fenomenal sastrawan kelahiran 6 Mei 1929 tersebut. 

Tapi Roro Mendut sendiri baru muncul belakangan, karena baru sampai ke publik pada 1983.Jauh sebelumnya ia sudah muncul dengan Puntung-puntung Roro Mendut dan Burung-burung Manyar. 

Tapi di era itu juga ia banyak mendapatkan penghargaan. Selain Hadiah Sastra dari Dewan Kesenian Jakarta pada 1983, juga Hadiah Sastra ASEAN setahun setelahnya. 

Dari berbagai penghargaan pernah dia dapat, dua penghargaan itu cukup menunjukkan seperti apa pengakuan atas diri penulis berlatar belakang mahasiswa Institut Filsafat dan Teologi di Yogkarta itu. 

Tapi dia juga pernah mengaku menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk sebuah karya. Sebut saja Burung-burung Manyar, membutuhkan waktu hingga tujuh tahun. 

Kenapa bisa begitu? "Novel yang matang dalam isi dan mantap dalam bentuk membutuhkan waktu. Sebab, novel pun tak berbeda dari segala yang manusiawi," begitu pendapatnya. "Harus hidup, karena kehidupan pula ada fase benih ke ke bunga, ke buah yang matang untuk dipetik."

Burung-burung Manyar itu, menurut pengakuannya, harus berkali-kali ia tulis, baca lagi, tulis lagi. Ia utak-atik selama bertahun-tahun. 

Apa yang membuatnya membuang waktu lama untuk sebuah karya, tak lain karena tak suka jika orang yang membacanya tak menemukan dirinya di dalam karya itu melainkan orang lain. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun