Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Kenapa Nama Kartini Abadi?

21 April 2017   22:37 Diperbarui: 22 April 2017   20:00 554
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Kartini menunjukkan bahwa pikiran baik itu bisa abadi - Gbr: ragamseni.com"][/caption]Bukan perempuan biasa. Itulah kalimat paling mewakili terkait dengan Kartini, perempuan yang telah menjadi perbincangan dunia hingga jauh dari masa ia hidup. Saat ia berpulang, ia meninggalkan hal penting yang bahkan dapat mengubah sudut pandang dunia; bahwa ada kekuatan terpendam pada perempuan.

 Di masanya perempuan dipandang hanyalah makhluk lemah, yang hanya menjadi pelengkap, dan hanya berada di bawah laki-laki. Pandangan itulah yang membuatnya gelisah, hingga status sebagai istri bupati pun tak membuatnya dapat menikmati segala yang diberi dan tersaji. Ia tak sepenuhnya menerima itu, meski jika mau dapat saja ia hanya menghabiskan hidup meniru gaya para permaisuri. Kartini memilih gelisah, bukan tentang apa yang dapat menyenangkan diri sendiri, tapi atas apa yang bisa menyelamatkan kaumnya; perempuan, mereka yang melahirkan anak-anak dunia, anak-anak yang dapat menjadi penentu nasib dunia. Perlawanan Kartini memang jauh dari kegagahan selayaknya srikandi yang memilih terjun ke medan tempur. Perlawanan Kartini pun jauh dari mesiu hingga anyir darah atau penjara. Kehidupannya bahkan dapat dibilang lebih dari cukup dibandingkan kehidupan yang dialami atau diinginkan sebagian perempuan. Menjadi istri pejabat, terbiasa mendapatkan hormat, namun itu justru membuatnya gelisah karena ia berpikir adalah bagaimana agar kaumnya hidup terhormat. Ia memilih menuangkan isi kepalanya ke dalam surat demi surat, dengan para sahabatnya di Eropa. Ia menyampaikan apa yang menjadi kegelisahannya dan mengutarakan bagaimana kehidupan perempuan paling ideal di matanya. Jadi diutarakanlah apa saja yang menjadi impiannya. Dari bagaimana agar perempuan yang oleh tradisi ditempatkan di posisi kelas dua dapat berpikir dan berbuat dengan kepercayaan diri bahwa semua setara; bagaimana agar potensi perempuan tak terpenjara; bagaimana perempuan tak lagi dihina dan mata dunia dapat terbuka bahwa kaumnya dapat menjadi penentu. Memang, dia bukan satu-satunya perempuan yang berani berpikir melampaui zamannya, dan mengabadikan pemikiran yang melampaui batas pendidikannya. Banyak perempuan lain yang bahkan juga terjun ke medan perang, berkeringat, atau bahkan berdarah-darah. Kartini memilih untuk tidak terlibat dalam sejarah yang kerap menggambarkan heroisme dengan darah. Ia memilih sejarah yang jauh dari aroma darah, atau permusuhan. Ia memilih mengajak dunia melihat perempuan sebagai kekuatan yang mendamaikan, yang menghidupkan, yang menguatkan. Ini juga yang tampaknya membuat seorang Pramoedya Ananta Toer, tokoh penting dalam merekam sejarah lewat literasi di negeri ini, terkagum-kagum dan "jatuh cinta" kepada Kartini. Jangan heran jika Anda menyempatkan buku demi buku yang dilahirkan Pram, ada banyak gambaran yang menyiratkan kekagumannya kepada Kartini. Tetralogi Pulau Buru, yang dapat dibilang masterpiece-nya Pram, termasuk buku yang mengabadikan kekaguman penulisnya atas sosok Kartini. Tak hanya itu,  ada beberapa buku lain pun terkesan adanya pembelaan kuat Pram atas mahalnya perjuangan Kartini. Untuk ini, buku-buku seperti Gadis Pantai dan Perawan Remaja dalan Cengkeraman Militer, mengisyaratkan dengan tegas kekaguman sosok Pram atas Kartini. Terlepas, iya secara garis besar, terutama buku Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer lebih berbalut realita tragis perempuan Indonesia di era Jepang, yang menggambarkan realitas bagaimana perempuan dinista dan dihancurkan martabatnya oleh kekuatan maskulin yang diwakili serdadu Nippon. Setidaknya, rekaman Pram yang menyiratkan pembelaan kepada perempuan tak lepas dari kekaguman dan pengakuannya atas apa yang dilakukan Kartini. Sebab, menurutnya, kekuatan yang ada pada perempuan ketika mereka tercerahkan dan terdidik, akan membawa keuntungan sangat besar dalam membantu lebih banyak orang. Jadi, itu menjadi bagian alasan kenapa yang dilakukan Kartini akhirnya tak dapat disederhanakan. Sebab, lewat tangannya, Kartini telah bekerja membantu mentransfer pencerahan itu kepada sekelilingnya. Selain ia juga menyiram kegundahan dan impiannya atas bagaimana perempuan masa depan. Ada pesan besar di sana, bahwa perubahan ke arah yang lebih baik tak melulu soal seberapa besar kehancuran yang harus diciptakan lebih dulu. Sebab, sudut pandang itu yang sering kali menjebak dunia larut ke dalam anggapan primitif bahwa hanya dengan perang sajalah barulah semua bisa diubah. Kartini menolak itu, hingga ia bekerja lewat pena yang telah dikawinkan dengan pikirannya. Sebab, baik buruk dan maju atau hancurnya dunia, tak lepas daripada apa yang ada dalam pikiran; tempat di mana rencana membawa kebaikan atau keburukan bekerja menemukan strategi untuk menang. Setidaknya itulah yang tergambar dari surat-surat Kartini yang ditujukan kepada sahabatnya, Estell Zeehandelaar. Sebab, menurutnya dengan pendidikan yang baik sajalah maka berbagai kemungkinan baik dapat terciptakan; bukan hanya untuk perempuan tapi juga bagi siapa saja. Ya, Kartini tidak berperang, dia pun tak pernah menumpahkan darah, tapi Kartini telah meninggalkan pesan penting bahwa dunia lebih baik tercipta lewat pikiran-pikiran baik yang dirawat dan dikembangkan hingga melahirkan aksi-aksi yang mengalirkan lebih banyak hal baik. Maka itu, apa yang paling penting akhirnya adalah bagaimana agar lebih banyak pikiran yang terdidik.  Di sanalah dia bekerja, dan di sanalah Kartini menghabiskan hidupnya, dan menunjukkan seperti apakah hidup yang bermakna. Sebuah hidup yang tidak sia-sia, baginya, adalah ketika hidup tak melulu hanya untuk memikirkan apa yang terbaik untuk  diri sendiri.* (Gambar: Ragamseni.com).

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun