Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Merekam Jejak PKI dari Ujung Sumatra

20 September 2017   01:38 Diperbarui: 20 September 2017   09:47 8220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Masyarakat yang dituduh PKI acap harus berurusan dengan kematian di masa lalu - Dok. Tirto.ID

"Jawa adalah kunci!" adalah kalimat yang sempat meletup dari salah satu petinggi Partai Komunis Indonesia, di ruangan dipenuhi asap rokok, di tengah beberapa pengurus inti organisasi tersebut. Tentu saja, itu hanya bagian dari adegan di film Pengkhianatan G30S. Namun juga mewakili kesan jika organisasi itu hanya meraksasa di Jawa. Sedangkan saya pribadi punya pengalaman yang bersentuhan langsung dengan orang-orang yang pernah dilabeli PKI dan serdadu yang pernah turut membantai anggota partai tersebut, yang justru berada di Aceh.

"Saat saya masih di 'dinas' dulu--untuk menyebut TNI--saya termasuk salah satu yang menjagal mereka," begitu cerita Pak Let, sapaan salah satu eks tentara era Orde Lama. "Saat mendapatkan tugas itu, yang ada di pikiran kami, ini adalah tugas dari negara dan kami sejujurnya memang menjalankan tugas itu dengan bangga."

Ya, itu pengakuan salah satu eks prajurit yang sempat terlibat dalam operasi "ganyang PKI" di era 1960-an. Kebetulan, beliau adalah tetangga saya sendiri. Bukan purnawirawan, karena beliau sendiri di masa mudanya adalah desertir alias keluar dari dinas ketentaraan secara tidak resmi. "Gaji sedikit, tugas terlalu berat. Taruhannya nyawa," begitu cerita beliau, setiap kali bercerita pengalaman masa muda beliau.

Apakah ada perasaan bersalah? Tentu saja ada. Salah satu alasan beliau akhirnya memutuskan desersi juga lantaran dihantui perasaan bersalah itu. "Saat menghajar PKI itu memang yang ada cuma perasaan bangga. Beberapa lama, ya tetap terasa, bagaimanapun mereka juga manusia dan sebagian memang kita kenal dekat, bahkan beberapa di antaranya adalah tetangga kita juga."

Perbincangan saya dengan beliau ini bukanlah perbincangan sehari dua hari. Nyaris saban waktu bersua beliau, saya mengorek ceritanya. Terutama setiap kali beliau pulang dari meurandeh--sebutan Aceh untuk ladang di kawasan pegunungan, ia bisa bercerita pengalamannya dengan mulut berbusa-busa. 

Perbincangan dengan beliau sudah terbilang sangat lama. Ya, ketika saya masih sekolah di tahun 1990-an hingga bangku kuliah, dan beliau tak jarang mengulang-ulang cerita yang sama. Terkadang terasa bosan, tapi dengan terpaksa saya dengarkan. Hanya untuk menghormatinya.

Sekarang ketika isu PKI menyeruak lagi, cerita beliau bangkit lagi di benak saya. Ya, karena di sana ada pengakuan, terlepas ketika ia turut menumpas PKI tak ada perasaan belas kasihan, namun hati kecilnya tak bisa ditutupi selamanya. Ketika beranjak usia tua, ada perasaan sedih menggelayut di hati dan merisaukan pikirannya.

"Terkadang, yang betul-betul dekat, yang kita yakini betul dia tidak terlibat, ada juga kita usahakan untuk menyelamatkan dengan berbagai cara. Termasuk menyuruhnya menghilang untuk beberapa lama ke kawasan pegunungan yang tak terendus militer," begitulah cerita beliau, dalam bahasa Aceh kental. "Sebab memang saat itu ada yang cuma pernah menerima bantuan cangkul atau parang sebagai alat kerja, justru masuk daftar merah--sebagai PKI dan harus dilenyapkan."

Menarik. Sebab rumah mantan serdadu ini sendiri justru tak terlalu jauh dari salah satu penduduk lain yang juga sempat divonis PKI, sempat merasakan penjara, namun selamat dari pembantaian--entah bagaimana caranya selamat luput saya telusuri mendalam.

Sosok yang disebut PKI ini tetap harus menerima stempel tersebut hingga anak cucunya--sebagai anak PKI dan cucu PKI. Beruntung, ia mampu membuktikan jika dirinya tidaklah seperti dituduhkan, terlebih dia pun salat, rajin ke masjid, dan anak-anaknya pun belakangan mampu menghapus dengan cara terbilang istimewa; menempuh pendidikan tinggi, hingga melampaui pendidikan kebanyakan penduduk di kampung itu.

Terlepas stempel itu tetap melekat pada sosok Cek Dawod--bukan nama sebenarnya--namun karena keberhasilan anak-anaknya di kemudian hari, tak lagi terlalu membawa pengaruh buruk kepada keluarganya. Ia masih dapat hidup normal, meski di belakangnya tak sedikit bisik-bisik bermunculan, yang tak jauh dari pengalaman masa lalunya yang dituding sebagai tokoh PKI di zaman tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun