Mohon tunggu...
Zulfikar Akbar
Zulfikar Akbar Mohon Tunggu... Jurnalis - Praktisi Media

Kompasianer of the Year 2017 | Wings Journalist Award 2018 | Instagram/Twitter: @zoelfick

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

First Travel dan Pesan yang Sering Terlupakan

24 Agustus 2017   07:11 Diperbarui: 24 Agustus 2017   17:38 1283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Para korban First Travel yang tak menemukan cara untuk mendapatkan ganti rugi - Foto: Kompas.com

Tak ada kejadian tanpa pesan penting di balik itu semua. Tak terkecuali kasus First Travel yang belakangan menghiasi berbagai media. 

Ada ribuan orang menjadi korban, dan miliaran uang lenyap tak tahu ke mana. Tak bisa disalahkan begitu saja jika kepanikan para korban membuat mereka berharap pemerintah turun tangan. Terlepas alasan mereka akhirnya juga meminta pemerintah agar memberikan ganti rugi memang sekilas terasa absurd.

Absurd itu hanya menjadi kesimpulan kita yang sedang berada di luar lingkaran korban. Sedangkan mereka di lingkaran itu sendiri, terutama para korbannya, tentu berkeyakinan tak ada yang absurd di balik permintaan itu.

Ya, ketika tak ada lagi yang dapat dipegang, ke mana saja yang memungkinkan dan diyakini dapat memberi mereka harapan, di sanalah mereka berpegang. Tampaknya itulah alasan sederhana atas kenapa akhirnya mereka mengarahkan sasaran kepada pemerintah, terlepas absurd tidaknya.

Kasus itu sendiri memang terlalu ruwet. Dari sekian miliar saja, belakangan diketahui jika di rekening pemilik First Travel hanya ada sekian juta. Lha kok bisa? Ya, bisa saja. Toh, apakah ada pencucian uang di sana atau ada langkah rahasia dari pemilik usaha traveling itu? Hanya dia dan Tuhan yang tahu, atau mungkin penyidik jika mampu mengendusnya atau paling tidak memaksanya bicara apa adanya.

Terlebih, pengakuan bahwa hanya ada sekian juta di rekening tentunya tak bisa disebut "apa adanya" di tengah ribuan orang yang mengucurkan duit kepadanya untuk "dapat bertemu Tuhan".

Satu sisi kasihan, lha mereka ingin bertemu Tuhan saja masih saja dimanfaatkan. Bagaimana lagi, toh cerita seperti ini bukan kali pertama terjadi. Jika menelisik ke masa lalu, ada berbagai cerita yang kira-kira miriplah dengan kasus ini.

Lantas kenapa yang begini masih saja terjadi? Ya, sejarah, dalam hal apa pun dapat saja terulang lagi. Setidaknya menjadi pesan, lebih baik menjaga kewarasan di tengah berbagai iming-iming yang berusaha meyakinkan ada sesuatu yang lebih aman dan lebih nyaman sekaligus lebih cepat.

Juga, lebih baik untuk menjaga diri agar dapat mengasah penciuman menjadi lebih tajam, mana yang bisa mengundang masalah atau yang tidak.

Sebab, urusan umrah dan haji, terlepas ini pada dasarnya ini adalah ranah religi, tapi di sanalah ada banyak orang yang melihatnya sebagai ladang uang. Bagi mereka ini, yang melihat anjuran berhaji dan berumrah sebagai jembatan menangguk rezeki, tetap saja keuntungan  yang mungkin dapat mereka raih jauh lebih menarik perhatian daripada apa pun; dan soal lebih cepat "bertemu Tuhan" itu hanya keinginan yang ingin ke sana saja, bukan keinginan mereka yang mencsri rezeki dari sini.

Tak semua perusahaan travel buruk, tapi kita saja yang makin tak terasah mencium yang baik dan buruk. Boleh jadi, karena kita sendiri yang terbiasa begini, baik dan buruk makin disamarkan, sehingga akhirnya semua menjadi samar hingga kita pun tak lagi berdaya melihat sejelas-jelasnya mana pelindung dan mana pemangsa.*

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun