Mohon tunggu...
Slamet Bowo Sbs
Slamet Bowo Sbs Mohon Tunggu... Jurnalis - Sarana Berbagi

Bukan siapa-siapa namun bertekad memberikan yang terbaik untuk sesama, pernah 7 tahun menjadi "pekerja" media . Saya bisa dihubungi di wa/call 085245208831, email : slametbowo83@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Nature

Banjir Selalu Datang Dari Hulu

30 Desember 2012   09:09 Diperbarui: 24 Juni 2015   18:48 398
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1356858219144280590

[caption id="attachment_232321" align="aligncenter" width="452" caption="SINTANG BANJIR. Sejumlah warga melintas di depan masjid yang tergenang banjir, dengan menggunakan perahu, di Kampung Alai, Kelurahan Tanjung Puri, Kecamatan Sintang, Kabupaten Sintang, Kamis (5/8). Banjir yang terjadi akibat meluapnya Sungai Kapuas dan Sungai Melawi selama seminggu terakhir tersebut, mengakibatkan ratusan rumah di sejumlah titik Kota Sintang terendam dan melumpuhkan akses jalan darat. FOTO ANTARA/Sugeng Hendratmo"][/caption] Akhir-akhir ini, dunia selalu dikejutkan dengan berbagai bencana yang erat kaitanya dengan masalah lingkungan hidup. Mulai dari Badai Sandy memporak-porandakan sebagian besar negara bagian di negara yang mengaku Adidaya yakni Amerika Serikat hingga Topan Bopha yang menerpa wilayah Filipina dan menewaskan sekitar 1 000 orang.

Belum cukup dengan itu semua, Topan Wukong kembali melanda wilayah di Filipina dan menewaskan puluhan orang. Tidak kalah dahsyat, badai salju jelang tahun 2013 melanda sebagian besar wilayah Eropa, yang konon diklaim dihuni manusia-manusia hebat yang mengusai dunia, total korban meninggal dunia sudah lebih dari 200 orang.

Bencana demi bencana yang terjadi sudah disadari oleh penduduk dunia yang saat ini jumlahnya sudah mencapai tujuh miliar jiwa. Mereka sadar betul bahwa bencana tersebut diakibatkan oleh pemanasan global yang terus terjadi beberapa dasawarsa terakhir. Luas daratan salju juga terus berkurang seiring dengan pemanasan yang terjadi tersebut.

Tidak berbeda jauh, di dalam negeri, dari tahun ke tahun kita diresahkan oleh bencana alam yang datang silih berganti. Mulai dari banjir yang sudah menjadi langganan sebagian besar wilayah di Indonesia, kekeringan, hingga bencana lain yang lebih dasyat seperti gunung berapi dan tsunami yang terjadi di Aceh delapan tahun silam.

Bahkan Ibukota negara kita Jakarta, menjadi kawasan paling rawan banjir diseluruh Indonesia jika dibandingkan wilayah-wilayah lain yang juga menjadi langganan banjir. Beberapa ahli geologi bahkan sudah memprediksi, sekitar tahun 2025 Jakarta akan tenggelam, mengingat saat ini ketinggian permukaan air di Jakarta sudah lebih tinggi di bandingkan daratan.

Semua itu mestinya membuat kita sadar bahwa “Banjir Selalu Datang Dari Hulu”, mungkin sebagian orang bertanya, ah masak iya?. Mari kita coba analisa mengapa kesimpulan itu saya ungkapkan.

Seperti kita ketahui, dari jaman dahulu banjir yang merendam wilayah Jakarata dan sekitarnya, merupakan banjir kiriman dari Jawa Barat yang dikirim melalui Sungai Ciliwung. Kondisi sama juga terjadi di Pontianak, Kalimantan Barat. Dalam beberapa jam saja hujan deras terjadi di Kota Khatulistiwa ini, maka jalan-jalan protokol dan kawasan lain akan terendam banjir termasuk di antaranya kantor Gubernur Kalbar yang berada di Jl A Yani Kota Pontianak.

Yang membedakan antara kedua wilayah, jika Jakarta banjir yang terjadi kiriman dari Jawa Barat dan sekitarnya, banjir besar yang terjadi di Kota Pontianak setiap tahun biasanya diakibatkan oleh banjir kiriman dari wilayah perhuluan yang meliputi Kabupaten Kapuas Hulu, Melawi, Sekadau, Sintang, dan Kabupaten Sanggau.

Mengapa Jakarta dan Pontianak mudah sekali mengalami banjir ketika hujan terjadi?, jawabanya jelas karena kedua wilayah sama-sama tidak memiliki kawasan resapan air yang cukup. Kawasan resapan air sendiri biasanya merupakan kawasan terbuka hijau yang ditumbuhi pohon-pohon dan tanaman penghijauan yang berfungsi menyerap air.

Idealnya, semua kota yang sebagian besar didominasi oleh perumahan, kawasan perdagangan dan kawasan industri, layaknya Jakarta dan Pontianak memiliki kawasan terbuka hijau sekaligus kawasan resapan air yang mencukupi. Dengan begitu, air baik yang berasal dari hujan yang datang beberapa jam maupun air kiriman dari perhuluan bisa diserap dengan maksimal sehingga banjir bisa teratasi.

Siapa Yang Salah?

Ketika banjir sudah terjadi, kita mulai kelimpungan dan mulai menduga-duga siapa yang salah dalam bencana yang ada. Pertanyaan yang terbersit juga dipemikiran orang-orang barat bahkan sejak beberapa tahun silam. Yang membedakan mereka langsung mengetahui apa penyebabnya dan solusinya, sementara di Indonesia kita lebih memilih pasrah dengan kondisi yang ada.

Bahkan pemerintah yang dijadikan pemimpin baik pusat maupun daerah, sebagian besar juga tidak memiliki konsep yang jelas untuk menangani bencana yang ada khususnya banjir. Meskipun Jokowi sebagai gubernur Jakarta yang baru sudah mulai mencari jalan keluar, meskipun langkah yang diambil masih jangka pendek.

Sementara mereka yang tinggal di Eropa, Amerika dan seterusnya sadar betul kawasan resapan air yang masih ada di dunia harus dijaga agar bencana lebih besar tidak terjadi. Mereka kemudian menggagas agar wilayah yang masih banyak memiliki hutan seperti Indonesia terus menjaga hutanya agar tidak rusak.

Mereka juga menyadari sepenuhnya, bahwa Kalimantan merupakan paru-paru dunia, selain menjadi kawasan penyeimbang kerusakan lingkungan. Kawasan ini juga dipercaya menjadi penyuplai (suplyer) oksigen yang dikonsumsi masyarakat dunia setiap hari. Tanpa kawasan paru-paru dunia ini, maka bisa dipastikan masyarakat dunia akan mengalami keracunan karena terlalu banyak menghirup karbondioksida, dampakya tentu jangka panjang.

Eropa kemudian mewacanakan, akan membayar negara penghasil oksigen di dunia layaknya Indonesia, dengan menghitung jumlah oksigen yang dihasilkan setiap tahun dari pohon-pohon yang masih ada. Namun anehnya, hingga kini wacana yang sudah disuarakan lebih dari 10 tahun silam tersebut tidak juga terwujud.

Padahal, wacana tersebut pernah menggiurkan masyarakat Indonesia kala itu, bagaimana tidak masyarakat akan mendapatkan penghasilan tambahan dari pohon yang mereka tanam dan rawat hingga besar. Pemerintah Indonesia juga terus menyuarakan gerakan penanaman sejuta pohon sebagai bentuk keseriusan menindaklanjuti wacana barat.

Masyarakat Indonesia, tentunya sangat berharap, wacana Eropa dan barat ini tidak putus pada wacana. Karena jika masyarakat Indonesia memutuskan tidak mau tahu dengan wacana paru-paru dunia yang didengungkan Eropa, masalah lebih serius akan dialami masyarakat dunia. Bukan hanya Jakarta dan Pontianak yang akan terendam banjir lebih lama. Negara-negara barat mungkin dalam waktu sekejap akan segera tenggelam, mengingat mereka lebih dekat dengan kawasan salju Artik dan minim hutan resapan air.

Saya teringat perkataan seorang diantara Dosen Pengantar Ilmu Kehutanan (PIK) ketika masih duduk di bangku semester 4 di Univesitas Kapuas (Unka) Sintang dulu M Chandra, beliau mengatakan mungkin akan lebih baik jika Indonesia melakukan pembabatan hutan habis untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Baru setelah semua rata dengan tanah layaknya kawasan Afrika, baru dilakukan penanaman kembali. Karena lebih mudah menanam kembali daripada mempertahankan yang sudah ada.

“Pertanyaanya, mengapa kita yang ada di Indonesia khususnya Kalimantan Barat selalu disalahakan jika melakukan penebangan pohonatau hutan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari?. Sementara mereka orang-orang barat hanya bisa menentang pembabatan tersebut tanpa pernah memberikan bukti yang diwacanakan,” ujar Dosen saya dalam satu pertemuan.

Mencari Solusi

Tentu apa yang disampaikan dosen saya tersebut tidak bisa dibenarkan, karena menghancurkan kawasan hutan yang ada, berarti kita merusak habitat dunia. Itu artinya kita sedang berhadapan dengan bencana besar yang bisa datang kapanpun, banyak bencana jika kerusakan alam dibiarkan terjadi, mulai dari banjir, angin topan, badai dan masih banyak yang lainya.

Namun apa yang dilakukan dosen saya tersebut tentu bukan sesuatu yang salah, karena pasti beliau berfikir secara terbalik untuk kasus ini. Jika orang berkampanye untuk melakukan penanaman besar-besaran, beliau berfikir mari kita tebang semua sampai habis agar kita merasakan apa dampak penebangan itu bagi kehidupan. Dengan begitu kita akan sadar bahwa menjaga lingkungan sangat penting.

Belajar dari hal tersebut, sebenarnya mencari solusi bencana besar yang akhir-akhir ini terjadi sudah mulai tampak. Kuncinya yakni menjaga kondisi alami lingkungan khususnya di wilayah perhuluan, namun demikian, tugas untuk menjaga lingkungan tersebut bukan hanya tugas mereka yang tinggal di wilayah perhuluan, melainkan menjadi tugas bersama.

Khususnya dengan merubah pola pikir, yang awalnya tidak mau peduli dengan apapun yang dialami oleh masyarakat perhuluan. Menjadi sedikit lebih peduli, pemerintah daerah yang berpotensi menjadi korban bencana khususnya banjir bisa memberikan subsidi kepada daerah perhuluan agar kondisi alam yang alami tetap terjaga.

Mengutip pernyataan Bupati Kapuas Hulu Abang Tambul Husin 2010 lalu yang menyatakan, masyarakat perhuluan juga tidak akan peduli menjaga kelestarian hutan mereka. Jika apa yang mereka lakukan tidak dihargai sedikitpun, bahkan cenderung dianaktirikan khususnya dalam hal pembangunan. Padahal, selama ini wilayah tersebut dikenal sebagai daerah mata air utama Sungai Kapuas yang membentang dari Kabupaten Kapuas Hulu hingga Kota Pontianak dengan panjang lebih dari 800 kilometer.

“Wilayah hilir satu per satu sudah menyerahkan lahannya untuk perkebunan sawit, jika kami tetap memilih menjaga kelestarian alam yang ada, kami tidak akan dapat apapun. Maka jangan salahkan kami jika kami juga menjual wilayah kami untuk perkebunan. Kalaupun ada bencana, kita rasakan sama-sama,” ujarnya kala itu.

Apa diungkapkan Bupati Kapuas Hulu kala itu tentu bukan alasan, jalan rusak, pertumbuhan ekonomi yang lamban, perkembangan wilayah yang stagnan menjadi alasan utama keputusasaan yang terjadi. Tidak heran, jika kemudian Pemerintah Kabupaten Kapuas Hulu “menjual” wilayahnya kepada perusahaan perkebunan PT Sinar Mas. Tentu dengan berbagai iming-iming dan janji, khususnya meningkatnya pendapatan daerah dan pendapatan elite yang ada di daerah.

Dampaknya, tidak menunggu 10, 20 bahkan 30 tahun kemudian, karena pada 2011 terjadi banjir besar yang merendam ibukota Kabupaten Kapuas Hulu Putusibau, ketinggian banjir kala itu mencapai 2 hingga tiga meter dan diklaim menjadi banjir terbesar sepanjang 30 tahun terakhir. Tak kalah hebat tentu banjir yang terjadi di Kota Pontianak dan sekitarnya.

Apa yang terjadi mestinya menjadi pembelajaran bagi kita semua dan masyarakat dunia tentunya, bencana alam yang terjadi di seluruh penjuru dunia baik Eropa, Amerika, Australia dan wilayah lainya pasti ada hubunganya secara langsung dengan kerusakan alam yang terjadi di Indonesia dan wilayah-wilayah konservasi alam lainya. Jika semua sadar, tentu bencana lebih besar bisa diatasi sejak dini. Jika tidak maka bersiaplah bencana lebih besar akan terjadi, mungkin cerita dalam film “Dunia Yang Hilang” yang menceritakan hilangnya daratan bakal benar-benar terjadi.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun