Mohon tunggu...
Supartono JW
Supartono JW Mohon Tunggu... Konsultan - Pengamat
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Niat berbagi

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Selamat Berjuang Kembali KPCDI, Semoga MA Masih Berpihak

20 Mei 2020   14:09 Diperbarui: 20 Mei 2020   14:28 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: m.ayosemarang.com

Kembali mewakili dan membela rakyat Indonesia, Komunitas Pasien Cuci Darah Indonesia (KPCDI) resmi mendaftarkan uji materi atas Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 64 Tahun 2020 tentang Perubahan Kedua atas Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan ke Mahkamah Agung (MA), Rabu (20/5/2020). 

Sebelumnya, KPCDI telah memenangi gugatan tentang kenaikan iuran BPJS di MA, namun kemenangan hanya berlaku dari April, Mei, dan Juni 2020, hanya 3 bulan, dan Presiden Jokowi kembaki menaikkan iuran BPJS kembali per 1 Juli 2020. 

"Setelah kami melakukan kontemplasi untuk menemukan pencerahan bagi kepentingan masyarakat, hari ini kami mendaftarkan uji materi ke MA," ujar Kuasa Hukum KPCDI Rusdianto Matulatuwa dalam keterangan tertulisnya, Rabu (20/5/2020).

Menurut KPCDI,  kenaikan iuran BPJS Kesehatan Jilid II ini sangat tidak memiliki empati terhadap keadaan yang serba sulit bagi masyarakat saat ini. Selain itu, juga tidak sesuai dengan apa yang dimaknai dalam Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dan Undang-Undang BPJS. 

Yang menarik, menurut Rusdianto, ketika ketidakadilan berubah menjadi suatu hukum yang dipositifkan, maka bagi kami selaku warga negara yang melakukan perlawanan dimuka hukum tentu menjadi sesuatu hal yang diwajibkan, karena apa yang kita lakukan ini untuk mengontrol kebijakan menjadi suatu kebutuhan dan bukanlah karena suatu pilihan semata. 

Apa yang diungkap Rusdianto ini, kata kunci yang memang wajib dipahami adalah "ketika ketidakadilan berubah menjadi suatu hukum yang dipositifkan". Apa maknanya? 

Mungkin masyarakat mahfum, bahwa iuran BPJS ini, kini menjelma menjadi semacam upeti di zaman kerajaan dahulu. Setiap rakyat secara individu wajib membayar iuran BPJS, sakit tidak sakit bayar, tidak bayar, maka akan dihitung nunggak dan hutang bertumpuk, plus denda keterlambatan. 

Terlebih, hal ini menyasar kepada rakyat "pekerja mandiri". Sementara golongan ini, tak harus saat pandemi corona seperti sekarang ini, sebelumnya saja, jangankan untuk membayar iuran BPJS, untuk makan sehari-hari saja susah. 

Sudah begitu, penghasilan sebagai pekerja di sektor informal hasilnya tidak menentu, membayar iuran BPJS pun wajib berdasarkan per kepala, bukan per Kartu Keluarga (KK) Bayangkan, iuran RT saja, hitungannya per KK, ini iuran BPJS per kepala. 

Jadi, bila dalam satu keluarga ada 3/4/5/lebih kepala lalu dikalikan iuran per kepala, sungguh berat bagi kelompok pekerja mandiri ini. Belum lagi, membayar tanggungan lain yang juga wajib. Sebut saja bila tempat tinggal masih ngontrak, biaya apa saja yang wajib di tanggung pekerja mandiri. Sedang bila rumah sudah milik sendiri saja, tagihan bulanan yang wajib juga menumpuk. Tagihan ini, itu, biaya pendidikan anak, sandang, pangan dll. 

Luar biasa "mumet" rakyat golongan pekerja mandiri ini. Pahamkah  Presiden dan pemerintah?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun